Eksklusif 40 Hari Musibah AirAsia
Tiga Hari Cari Sidik Jari Jenazah Korban QZ8501 Tanpa Jari
Dalam kondisi itu sangat mungkin ia menutup wajah di tangan atau bersedekap dan lain-lain.
SURYA.co.id | SURABAYA - Tim dari luar negeri geleng-geleng. Mereka pun heran melihat alat-alat canggih kesulitan membaca identitas korban.
Namun, orang-orang bondo nekat (bonek) dalam tim Indonesia justru berhasil melacak identitas jenazah para korban AirAsia QZ9501.
Satu di antara personel yang bekerja ala bonek itu adalah Pudji Hardjanto.
Kemampuan itu pula yang mengantarkan anggota Polrestabes Surabaya tersebut direkrut Tim Disaster Victim Investigation (DVI) Mabes Polri untuk menangani korban kecelakaan AirAsia QZ8501.
Pria yang biasa dipanggil Pudji itu mengaku sebenarnya ia tidak alergi alat-alat canggih.
Putra Kalidami Surabaya ini bahkan percaya alat-alat canggih diperlukan untuk memudahkan mengungkap identitas jenazah.
Bedanya dengan anggota tim lainnya, terutama tim dari luar negeri, Pudji tidak mau bergantung keampuhan teknologi. Ia percaya, dalam kondisi tertentu, kerja manual dibutuhkan.
Pudji lalu menceritakan seputar kondisi jenazah AirAsia, yang umumnya sudah berubah, bahkan tidak utuh.
Lamanya terendam dalam air menjadi penyebab. Ciri fisik rusak, jari-jari misalnya.
Alat canggih, pembaca finger print menjadi tidak ampuh lagi untuk digunakan.
Kalau sudah begitu, Pudji yang ketiban sampur. Ia harus mengerahkan kemampuan kerja manualnya, menggantikan kerja alat-alat canggih.
“Ada yang mengingat kerja saya beresiko. Jenazah yang membusuk itu mengandung bakteri. Tapi alhamdulillah, sampai hari ini kami sehat-sehat saja,” ujarnya.
Pudji mengaku dirinya tertantang mengerahkan kemampuan kerja berbahayanya karena tidak tega melihat keluarga korban.
“Melihat mereka (keluarga korban), saya tergugah. Sisi manusia saya terusik dan ini menjadi motivasi saya untuk mengungkap identitas korban,” ujar pria 41 tahun tersebut.
Kerja mengenali korban AirAsia ini merupakan pengalaman kedua Pudji bersama tim DVI Mabes Polri.
Kerja untuk kasus kecelakaan luar biasa sebelumnya dijalani anggota Automatic Fingerprints Identification System (INAFIS) Polrestabes Surabaya ini tahun 2011 lalu.
Kala itu kapal pengangkut imigran gelap tenggelam di Pantai Selatan Jawa, tepatnya di perairan Trenggalek.
Bintara berpangkat Aiptu itu mengakui cukup berat, terutama fisik dan psikis dalam menjalankan operasi panjang seperti ini.
Kondisi mayat korban semakin lama semakin sulit diidentifikasi. Dia dan tim khusus finger print harus bekerja lebih dari tiga hari untuk menemukan sidik jari korban.
Jenazah tanpa jari-jari, terus ia pelototi. Ia cari kemungkinan bekas sidik jari menempel di wajah, dada, dan bagian-bagian lain.
Logikanya yang digunakan sederhana. Seorang yang mengalami kecelakaan biasanya histeris.
Dalam kondisi itu sangat mungkin ia menutup wajah di tangan atau bersedekap dan lain-lain.
”Pola kerja di sini memang tidak menentu. Lama tidaknya proses identifikasi tergantung kondisi jenazah yang dikirim ke kita. Tapi bagaimana pun kondisinya, kami pastikan akan bekerja keras menemukan identitas para korban. Kami di sini merasa lega ketika jenazah korban diterima keluarganya,” kata Pudji. (idl)
Baca selengkapnya di Harian Surya edisi besok
LIKE Facebook Surya - http://facebook.com/SURYAonline
FOLLOW Twitter Surya - http://twitter.com/portalSURYA