Segera Identifikasi Tersangka Teroris, FPI Bantah Isu Terlibat
BANDA ACEH - SURYA- Laporan keberhasilan tim Polda Aceh membekuk empat tersangka teroris dari kawasan pegunungan Jalin, Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar--yang berdampak tewasnya seorang warga sipil--ditanggapi oleh Wagub Aceh, Muhammad Nazar dengan meminta pihak kepolisian segera mengidentifikasi keempat tersangka sehingga akan ada kejelasan apakah mereka anggota jaringan terorisme atau bukan.
“Mereka yang sudah ditangkap harus segera diidentifikasi sehingga akan didapat kejelasan apakah mereka benar terlibat dalam kelompok teroris, layaknya kelompok teroris yang ada di luar negeri,” kata Wagub Aceh, Muhammad Nazar dalam pidatonya ketika pembukaan Rapat Koordinasi Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) dengan Bappeda Kabupaten/Kota dan Bappeda Aceh, di Aula Bappeda Aceh, Rabu (24/2).
Menurut Wagub Muhammad Nazar, sepengatahuan pihaknya, bahkan pada masa konflik sebelum perdamaian RI-GAM, di Aceh belum ada kelompok garis keras atau radikal yang suka melakukan bom bunuh diri layaknya kelompok teroris yang ada di luar negeri. Informasi dibekuknya empat tersangka teroris oleh pihak kepolisian--dua orang berasal dari Kabupaten Pandeglang, Banten, yaitu Ismed Hakiki (40) dan Zakky Rahmatullah (27) serta dua orang dari Aceh Besar, yaitu Yudi Zulfahri (27) warga Perumnas Lambheu, Kecamatan Darul Imarah dan Rahmat (21) warga Kampung Miruek, Kecamatan Krueng Barona Jaya, menurut Nazar sangat mengejutkan masyarakat Aceh. Alasannya, pascadamai RI-GAM yang telah berjalan empat tahun, tidak pernah didengar di Aceh masuk teroris.
Dikatakan Nazar, seandainya keempat tersangka yang ditangkap itu benar terlibat dalam jaringan terorisme luar negeri yang menjadi musuh dunia, masyarakat patut memberikan apresiasi kepada tim kepolisian Aceh atas keberhasilan tersebut. Sebaliknya, lanjut Nazar, masyarakat akan bertanya-tanya bagaimana jaringan teroris bisa menjalin hubungan dengan masyarakat Aceh, karena sejarah Islam di Aceh membuktikan masyarakat daerah ini bukan penganut Islam radikal atau Islam yang suka melakukan bom bunuh diri. “Dalam ajaran Islam yang dianut mayoritas masyarakat Aceh, tindakan bom bunuh diri haram hukumnya sehingga belum ada warga Aceh yang melakukannya, baik pada masa konflik, sebelum konflik maupun saat ini,” ujar Muhammad Nazar.
Penjelasan secepatnya kepada masyarakat, menurut Wagub Muhammad Nazar bukan saja agar masyarakat Aceh tidak terus bertanya-tanya tetapi juga untuk menjaga agar citra Aceh tidak buruk di mata dunia. “Jika hal itu tidak dijelaskan secepatnya dengan rinci dan transparan kepada masyarakat (termasuk masyarakat dunia), bisa membuat Aceh menjadi suram di mata para investor yang ingin menanamkan investasinya di daerah ini. Padahal para investor telah merasakan kondisi Aceh semakin kondusif,” demikian Muhammad Nazar.
Masih mendalami
Secara terpisah, Kapolda Aceh, Irjen Pol Adityawarman mengatakan pihaknya masih mendalami kasus penangkapan empat tersangka teroris di kawasan pegunungan Jalin, Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar, Senin (22/2) malam. “Kami masih mendalami siapa, dari mana, dan tujuan kedatangan mereka. Apakah mungkin perpanjangan dari kelompok di tempat lain,” kata Kapolda Aceh menjawab wartawan usai memimpin sertijab Wakapolda Aceh dari Brigjen Pol Bambang Suparno kepada Kombes Pol Drs Surya Dharma di Mapolda Aceh, kemarin.
Kapolda menyebutkan, hingga kemarin belum ada penambahan tersangka yang ditangkap, kecuali empat orang yang sudah diamankan, yaitu Ismed Hakiki (40) dan Zakky Rahmatullah (27) keduanya asal Kecamatan Picung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Dua lainnya asal Kabupaten Aceh Besar yaitu Yudi Zulfahri (27) warga Perumnas Lambheu, Kecamatan Darul Imarah dan Masykur Rahmat (21), warga Gampong Miruek, Kecamatan Krueng Barona Jaya.
Sedangkan barang bukti yang diamankan juga masih seperti saat penangkapan, antara lain seragam PDL loreng dari luar negeri, ransel, tenda, uang, kepingan CD (salah satunya berjudul perlawanan kaum tertindas), dan sejumlah buku panduan dan perlengkapan yang dimiliki oleh kelompok teroris. “Senjata tidak ada, tapi kami tetap mendalami semua barang-barang bukti itu, apalagi yang mencurigakan,” lanjut Kapolda.
Menurut Kapolda, dalam mendalami kasus itu pihaknya berkoordinasi dengan detasemen Polri yang paham tentang terorisme. Kapolda menduga kelompok itu dari luar Aceh yang memanfaatkan kondisi Aceh yang sudah aman. “Kelompok ini berdiri tunggal, tidak ada kaitan dengan kelompok lokal. Mereka latihan di sini dengan memanfaatkan situasi Aceh yang seakan-akan dilakukan oleh kelompok lokal,” tandas Adityawarman.
Korban warga sipil
Terhadap jatuhnya korban warga sipil pada operasi penyergapan/penangkapan tersangka teroris di kawasan pegunungan Jalin, sangat disesalkan oleh seorang anggota DPRA asal Aceh Besar, Darmuda. “Dalam melaksanakan tugas menangkap penjahat dan teroris, pihak kepolisian harusnya lebih profesional sehingga tidak menimbulkan korban masyarakat sipil. Akibat tertembaknya dua warga sipil, satu di antaranya meninggal dunia, berdampak luas di masyarakat,” kata Darmuda, kepada Serambi, Rabu (24/2).
Menurut Darmuda, warga yang meninggal itu termasuk masyarakat miskin dan kejadian salah tembak itu telah membuat anak yatim di Aceh bertambah. “Sebagai kompensasi dari salah tembak itu, pihak kepolisian harus bertanggungjawab terhadap kelanjutan pendidikan anak korban. Anak-anak korban yang masih kecil-kecil bisa putus sekolah dan terlantar. Ini perlu menjadi perhatian dari pihak kepolisian,” kata Darmuda, anggota DPRA dari Partai Aceh.
Pernyataan FPI
Majelis Tanfidh DPD Front Pembela Islam (FPI) Atjeh, menyatakan tidak terlibat dalam kegiatan latihan militer di kawasan pegunungan Jalin, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar yang digerebek tim Polda Aceh, Senin (22/2) malam. Ketua DPD FPI Atjeh, Tgk Yusuf Al Qardhawy al-Asyi menyampaikan pernyataan itu kepada Serambi sehubungan banyaknya laporan dan tudingan yang tertuju ke pihaknya yang menyebutkan FPI Aceh ikut terlibat dalam latihan militer besar-besaran di kawasan Jantho-Tangse (Jalin) menggunakan senjata api otomatis. “Perlu kami klarifikasikan bahwa isu itu tidak benar. Ada pihak-pihak tertentu yang ingin mendiskreditkan FPI supaya FPI tidak eksis di Aceh,” kata Tgk Yusuf.
Yusuf mengakui FPI memang kerap melakukan pengkaderan dan latihan setiap enam bulan sekali, tapi tidak pernah menggunakan senjata api dan biasanya dipublikasikan ke publik karena organisasi FPI legal formal yang berbadan hukum. “FPI masih setia dan patuh pada petunjuk dan arahan dari ulama-ulama Aceh dalam melakukan setiap amaliyah,” katanya.her/sal/sar/serambi Indonesia