Citizen Reporter
Cinderamata dari Ubud untuk Dunia
berbagi energi, berbagi kreativitas, dan tulisan, inilah oleh-oleh dari Ubud Writers and Readers Festival 2015...
Oleh: M. Nurfahrul Lukmanul Khakim
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
SEKITAR 160 penulis dari 25 negara di dunia berkumpul di Ubud, Bali. Bukan hanya membawa buku dan ilmu, mereka datang mengusung perdamaian serta keberagaman.
Walau sebagai peserta, sebagai delegasi dari Tripanzee dan Gagasmedia, saya berpartisipasi aktif dalam Ubud Writers and Readers Festival 2015 yang digelar pada 29 Oktober – 1 November 2015. Energi untuk berbagi dan berarti melalui sastra menjadi poros pembicaraan utama di antara 20 acara yang digelar setiap hari dalam lima hari berturut-turut.
Udara panas tidak menyurutkan semangat wisatawan lokal maupun internasional untuk berpartisipasi dalam festival yang mengusung tema 17,000 Island of Imagination. Saya merasakan atmosfer kebersamaan dan kesetaraan yang luar biasa dalam setiap sesi acara. Hari pertama mengikuti diskusi tentang Journalism is My Religion dengan narasumber Andreas Harsono, bertempat di Museum Neka.
Diskusi ini menarik karena memandang kebebasan jurnalisme. Pemberitaan yang jujur dan aktual dapat memengaruhi wacana masyarakat untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Diskusi selanjutnya yang saya ikut adalah Why Write? Okky sebagai wakil Indonesia dalam diskusi ini berbagi motivasi menulis untuk kemanusiaan.
Film-film Indonesia juga mengisi acara diskusi malam hari. Salah satunya adalah film Cahaya dari Timur yang ditampilkan dalam forum diskusi Imagine Maluku, dengan pengisi acara Glenn Fredly. Karya dari M. Irfan Ramli itu memantik kesadaran semua orang bahwa olahraga bisa menyatukan segala harapan sekaligus perbedaan di Maluku.
Festival ini memang banyak berbicara tentang Indonesia. Hari kedua dalam panel diskusi bertema An Imagined Country yang diisi oleh Ali Syamsudin, Raditya Dika, Eka Kurniawan, dan Raedu Basha. Budaya asli Indonesia yang mulai goyah di tengah derasnya arus globalisasi menjadi topik pembicaraan yang cair. Fenomena keragaman kepercayaan dan gaya hidup Indonesia mulai dari Kalimantan hingga Madura disampaikan secara jenaka namun tetap santun.
Hari berikutnya, panel diskusi Humanimals yang diisi oleh Chigozie Obioma, Anna Krien, dan Dwi Ratih Ramadhany menyampaikan pesan cinta lingkungan dan merawat alam agar ekologi manusia dengan bumi seimbang.
Diskusi paling menarik tentang ke-Indonesia-an justru ada pada hari terakhir. Melalui judul Papua, diskusi ini diramaikan oleh para panelis di antaranya, Aprilia Wayar dan Nia Dinata.
Aprilia menyuarakan borok-borok pedih kehidupan Papua yang tidak pernah diliput media mana pun. Aprilia prihatin sekaligus berjuang membangun kembali wacana tentang Papua agar tanah leluhurnya itu bisa lebih sejahtera.
Sutradara Nia Dinata, juga menyayangkan kesulitan perizinan ketika dia membuat film yang jujur tentang Papua.
Semua acara dalam festival ini dikemas serius namun tetap menghibur dan inspiratif.
Saya kagum sekaligus bimbang melihat betapa banyaknya wisatawan mancanegara, bahkan lebih banyak dari wisatawan lokal, yang antusias mengikuti setiap panel diskusi dalam festival ini.
Mereka bukan hanya penasaran tentang Indonesia, tetapi juga turut merayakan keberagaman Indonesia. Saya belajar pada tiap sesi diskusi, bahwa setiap cinderamata sesungguhnya dari setiap perjalanan adalah hikmah. Jangan biarkan hikmah itu untuk dirimu sendiri dan biarkan orang lain ikut merasakan hikmahnya, agar harapan selalu menyala untuk menghadapi dunia.