Berita Viral

Duduk Perkara Norma Emak-emak Nekat Cegat Kapolda Riau, Mohon Bantuan Tanahnya Diduga Dirampas Mafia

Terungkap duduk perkara aksi nekat Norma, emak-emak yang cegat Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan saat Herry kunjungan kerja.

Tribunnews
KAPOLDA RIAU DICEGAT - Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan yang dicegat emak-emak untuk adukan masalah tanahnya diduga dirampas mafia. 
Ringkasan Berita:
  • Norma menghadang Kapolda Riau untuk menyerahkan dokumen laporan soal dugaan mafia tanah.
  • Suaminya, Eramzi, pernah dipenjara 1,5 tahun akibat laporan tandingan dari H.
  • Norma menilai tanda tangan di surat jual beli tanah telah dipalsukan.

 

SURYA.co.id - Terungkap duduk perkara aksi nekat Norma, emak-emak yang cegat Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan saat Herry kunjungan kerja di Selatpanjang, Kepulauan Meranti, Riau, Selasa (18/11/2025).

Norma (50) mendadak menghadang Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan ketika sang jenderal melakukan kunjungan kerja di Selatpanjang, Kepulauan Meranti, Riau, Selasa (18/11/2025).

Langkah nekat itu ia lakukan demi mencari keadilan atas sengketa tanah keluarga yang diduga diambil seorang warga berinisial H alias A memakai surat jual beli palsu.

Masalah tersebut sebelumnya membuat suaminya, Eramzi (58), sempat ditangkap dan dihukum 1 tahun 6 bulan penjara.

Ia dituduh memalsukan surat dan mencuri batang sagu di lahan yang diklaimnya sebagai tanah milik keluarga. 

“Pada 18 November 2025, Pak Kapolda Riau datang ke SMA 3 Selatpanjang, acara nanam pohon. Sekitar jam 09.00 WIB, saya menunggu dia di gerbang sekolah,” ujar Norma saat diwawancarai Kompas.com melalui telepon, Sabtu (22/11/2025).

Datang seorang diri, Norma hanya membawa dokumen laporan polisi yang mereka buat pada Februari 2025 terkait dugaan pemalsuan tanda tangan oleh H.

Ia mengaku sangat gugup saat berdiri di depan Kapolda sambil menyodorkan dokumen itu.

“Pas Pak Kapolda mau naik mobil, saya datang ke dia sodorkan surat bukti laporan polisi, sambil bilang, ‘tolong, Pak, suami saya jadi korban mafia tanah’. Pak Kapolda ambil surat itu dan bilang, ‘iya, Bu’. Surat laporan itu dibawa sama Pak Kapolda. Waktu itu saya sangat gugup," tuturnya.

Meski hanya bertemu beberapa detik, Norma merasa beban beratnya sedikit terangkat.

“Setelah ambil surat itu Pak Kapolda langsung pergi. Saya merasa senang dan bersyukur karena Pak Kapolda mau tanggapi saya. Semoga beliau bantu kami,” ucapnya.

Norma berharap laporan suaminya diproses dengan benar. Ia menilai suaminya justru dikriminalisasi.

Menurutnya, laporan tandingan yang dibuat H lahir dari dokumen yang tidak sah.

“Karena mafia tanah itu membuat laporan tandingan di Polda Riau, dan malah suami saya yang diperiksa polisi,” katanya.

“Harusnya dibuktikan dulu laporan suami saya. Tapi kenapa suami saya yang diproses hukum, apakah ada oknum (polisi) yang bermain di balik masalah ini. Mohon bantu kami Pak Kapolda,” imbuhnya.

Duduk Perkara

Kuasa hukum Eramzi, Herman, menjelaskan bahwa masalah bermula pada 7 Juli 2019 saat kliennya memanen sagu di kebunnya.

Di tengah proses panen, H datang menghentikan kegiatan tersebut.

“Terlapor menghentikan penebangan batang sagu dan menyuruh pekerja berhenti. Pelaku bilang tanah klien saya ini milik dia,” kata Herman.

Setelah kejadian itu, H melapor ke polisi pada 28 Agustus 2019 dengan tuduhan pemalsuan surat dan percobaan pencurian batang sagu.

Laporan tersebut membuat Eramzi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kepulauan Meranti.

“Klien saya tidak pernah melakukan pemalsuan surat. Tulis dan baca saja dia tidak tahu, apa lagi memalsukan surat," tegas Herman.

Ketika menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Riau, penyidik menunjukkan SKGR yang memuat nama Eramzi sebagai penjual dan H sebagai pembeli.

Eramzi langsung terkejut karena merasa tidak pernah menjual tanah tersebut kepada siapa pun.

“Klien saya kaget dan langsung meminta foto copy surat tersebut. Tapi penyidik tidak mau memberikan. Klien saya bilang tidak pernah menjual tanah kebun sagu kepada H alias A, tapi kok bisa data tanda tangannya. Jelas itu dipalsukan,” ungkap Herman.

Mediasi sempat dilakukan tiga kali namun selalu buntu, karena nilai ganti rugi yang ditawarkan H disebut jauh dari wajar.

Proses hukum pun terus berjalan hingga akhirnya Eramzi divonis 1 tahun 6 bulan penjara pada 2022, meski kini ia telah bebas.

Dalam persidangan, kata Herman, terungkap bahwa transaksi jual beli tanah itu sebenarnya tidak pernah terjadi.

Namun H tetap membawa SKGR sebagai bukti kepemilikan.

“Harusnya kan H alias A yang diproses hukum sesuai Pasal 263 ayat (2) KUHP. Karena dia telah menggunakan SKGR tersebut sebagai alat bukti pada saat pemeriksaan di kepolisian dan dipersidangan. Nah ini yang kita jadi tanda tanya besar, ada apa?" ujarnya.

Ia berharap penyidik menuntaskan laporan yang mereka buat di Polda Riau.

“Hukum harus ditegakkan. Equality before the law, jadi setiap warga negara sama di hadapan hukum," ucap Herman.

Herman menyebut gelar perkara terakhir dilakukan pada 5 Agustus 2025, namun hingga kini hasilnya belum mereka terima.

Sementara itu, Direktur Reskrimum Polda Riau Kombes Asep Darmawan saat dikonfirmasi hanya memberi jawaban singkat bahwa perkara tersebut tetap diproses.

“Sudah ditangani Subdit II,” tulisnya melalui pesan WhatsApp, Sabtu.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved