Berita Viral

Ngaku Ditekan 2 Tokoh Nasional di Kasus Korupsi Riza Chalid, Inilah Rekam Jejak Karen Agustiawan

Simak sosok dan rekam jejak Karen Agustiawan, mantan Dirut Pertamina yang ngaku ditekan 2 tokoh nasional di kasus korupsi Riza Chalid.

kolase Tribunnews
DITEKAN - Kolase foto Karen Agustiawan (kiri) dan Riza Chalid (kanan). Karen mengaku ditekan 2 tokoh nasional di kasus korupsi Riza. 

SURYA.co.id - Simak sosok dan rekam jejak Karen Agustiawan, mantan Dirut Pertamina yang ngaku ditekan 2 tokoh nasional di kasus korupsi Riza Chalid.

Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, mengungkapkan adanya tekanan dari dua tokoh nasional agar memberikan perhatian terhadap perusahaan milik Riza Chalid, terkait proyek penyewaan Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Merak.

Fakta ini muncul ketika Karen hadir sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk kilang Pertamina, yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (27/10/2025).

Ia memberikan kesaksian untuk tiga terdakwa, yakni Kerry Adrianto Riza, anak Riza Chalid sekaligus Beneficial Owner PT Tangki Merak dan PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo, serta Dimas Werhaspati, yang juga menjabat di sejumlah perusahaan terkait.

Dalam persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Karen yang berisi pengakuan tentang pertemuannya dengan dua tokoh nasional.

"Bahwa dalam suatu acara pernikahan pejabat yang saya hadiri, yang saya tidak menyebut namanya pada sekitar awal 2014, bertempat di Hotel Dharmawangsa, Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terdapat dua tokoh nasional yang menghampiri saya dan menyampaikan agar Tangki Merak diperhatikan," ujar jaksa membacakan keterangan Karen di pengadilan, dikutip dari Tribunnews.

Jaksa kemudian menanyakan apakah tekanan tersebut berkaitan dengan upaya intervensi pihak luar untuk mendorong kerja sama antara Pertamina dan Tangki Merak.

Karen menjelaskan bahwa dirinya sering mendapat berbagai permintaan selama menjabat sebagai direktur utama.

“Jadi kalau misalnya dibilang agar diperhatikan, itu menjadi cambuk bagi saya untuk menekan supaya harus benar-benar taat kepada TKO (Tata Kerja Organisasi),” jawabnya.

Selanjutnya, jaksa menyinggung nama Irawan Prakoso, yang diketahui membawa proposal kerja sama TBBM Merak kepada Pertamina.

Namun, saat ditanya apakah ia pernah mendapat laporan dari Hanung Budya Huktyanta, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina kala itu, Karen menjawab tegas bahwa ia tidak tahu.

“Saya tidak pernah mendapatkan informasi itu,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, jaksa menyebut seharusnya seorang direktur utama mengetahui langkah bawahannya.

Namun, Karen menilai tidak semua urusan operasional perlu sampai ke level dirinya.

“Tidak semua yang kaitannya dengan operasional itu diketahui oleh Dirut. Kecuali kalau misalnya terkait dengan kontrak jangka panjang maupun investasi,” jelasnya.

Dalam sidang sebelumnya, Hanung Budya mengaku sempat menandatangani persetujuan penunjukan langsung PT Oiltanking Merak untuk kerja sama penyimpanan dan penyerahan BBM.

Ia menyebut keputusan itu diambil karena tekanan dari atasannya, Karen Agustiawan.

“Apabila saya tidak melaksanakan untuk menandatangani persetujuan penunjukan pemenang langsung yaitu PT Oiltanking Merak, saya akan dicopot karena tekanan dari Riza Chalid,” kata jaksa membacakan BAP Hanung.

Menurut Hanung, tekanan semakin jelas setelah Irawan Prakoso, yang dikenal dekat dengan Riza Chalid, menyampaikan rasa kecewa atas lambatnya proses kerja sama dengan PT Oiltanking Merak.

Hanung menafsirkan hal itu sebagai perintah yang harus ia jalankan.

“Artinya ini saya menafsirkan perintah dari pimpinan saya, kalau saya tidak melaksanakan maka bisa diartikan sebuah pembangkangan,” tuturnya.

Kasus ini menyeret nama Riza Chalid yang diduga menjadi beneficial owner dari PT Tangki Merak dan PT Orbit Terminal Merak.

Bersama anaknya Kerry Adrianto Riza dan Gading Ramadhan Joedo, Riza diduga menekan Pertamina untuk menyewa terminal milik PT Oiltanking Merak.

Tujuan mereka, agar aset tersebut dapat diakuisisi dan dijadikan jaminan kredit bank.

Sayangnya, kerja sama itu tidak memenuhi kriteria pengadaan yang berlaku dan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 285 triliun.

Atas tindakan tersebut, para terdakwa dijerat dengan Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Rekam Jejak Karen Agustiawan

Melansir dari Wikipedia, Karen Agustiawan lahir 19 Oktober 1958.

Ia adalah Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014. Pada tahun 2011, Forbes memasukkan dia sebagai yang pertama di dalam daftar Asia's 50 Power Businesswomen.

Setelah mengundurkan diri dari PT Pertamina, Karen menjadi "Visiting Scholar" di Harvard Kennedy School of Government. University, Massachusetts, Amerika Serikat.

Karen Agustiawan lahir di Bandung, Jawa Barat pada 1958.

Dia adalah anak perempuan dari R. Asiah dan Dr. Sumiyatno, utusan pertama Indonesia di World Health Organization dan presiden terdahulu dari Biofarma, perusahaan farmasi.

Pada tahun 1983, ia lulus dari Institut Teknologi Bandung pada jurusan Teknik fisika. Ia menikah dengan Herman Agustiawan, seorang mantan pegawai di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang sekarang bekerja di Dewan Energi Nasional. Ia mempunyai 3 orang anak.

Lulus dari Fakultas Teknologi Industri (jurusan Teknik Fisika), Institut Teknologi Bandung tahun 1983, Karen memulai kariernya sebagai profesional di Landmark Concurrent Solusi Indonesia sebagai business development manager (1998-2002), dan Halliburton Indonesia sebagai commercial manager for consulting and project management (2002-2006).

Berkarier di PT Pertamina (Persero) sebagai staf ahli direktur utama PT Pertamina (Persero) untuk bisnis hulu (2006-2008), kemudian dipercaya menjabat sebagai direktur hulu sejak 5 Maret 2008 hingga ia di tunjuk oleh pemegang saham untuk memimpin Pertamina sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero) pada 5 Februari 2009.

Dalam era kepemimpinannya visi Pertamina saat ini menjadi perusahaan energi kelas dunia dan champion Asia pada 2025 dengan aspirasi energizing Asia.

Karen Agustiawan resmi berhenti dari jabatannya sebagai CEO PT Pertamina tertanggal 1 Oktober 2014 dan menjadi dosen guru besar di Harvard University, Boston, AS.

Pada tanggal 25 Juni 2024, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta terhadap mantan Direktur Utama PT Pertamina tsb.

Dalam amar putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa yang bersangkutan, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina pada 2011—2014.

Karen telah terbukti memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG di Amerika Serikat tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas, dengan hanya memberikan izin prinsip pada 2013, tanpa didukung analisis teknis dan ekonomis serta tidak meminta tanggapan secara tertulis dari dewan komisaris PT Pertamina (Persero) maupun rapat umum pemegang saham.

Menurut majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, tindakan Karen memenuhi unsur perbuatan yang merugikan keuangan negara. Corpus Christi Liquefaction diperkaya 113,83 juta dollar AS, sementara negara mengalami kerugian sebesar 113,83 juta dollar AS. Kerugian ini terjadi karena semua kargo yang dibeli Pertamina tidak terserap pasar domestik, ditambah dengan kondisi pandemi Covid-19 sehingga PT Pertamina mengalami kelebihan pasokan LNG. Padahal, produk LNG bukan komoditas yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Akibatnya, Pertamina menjual rugi LNG-nya sebanyak 8 kargo dan membayar suspension fee untuk 3 kargo lainnya.

Berdasarkan putusan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta, Karen divonis lebih ringan daripada tuntutan jaksa KPK karena ada beberapa hal yang meringankan. Diantaranya, Karen bersikap sopan di persidangan, tidak memperoleh hasil tindak pidana korupsi, memiliki tanggungan keluarga, serta telah mengabdikan diri pada Pertamina.

Kemudian, pada Februari 2025, majelis kasasi Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari pihak Karen dan memperberat hukuman Karen menjadi 13 tahun penjara, ditambah denda Rp 650 juta subsider 6 bulan kurungan. [3] Menanggapi putusan MA tersebut, penasihat hukum Karen mengklaim bahwa terbukti ada penerimaan negara atau keuntungan dari penjualan LNG tersebut.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved