11 Tahun Dolly Surabaya Ditutup

Perjuangan Jarwo & Para Perintis UMKM eks Dolly Hilangkan Stigma Negatif Kampung Putat Jaya Surabaya

Jarwo bersusah payah berjibaku mengubah 'image' kampung Putat Jaya Surabaya menjadi kampung yang lebih baik di mata masyarakat.

Penulis: Luhur Pambudi | Editor: irwan sy
Luhur Pambudi/TribunJatim.com
PERINTIS UMKM DOLLY - Jarwo (45) saat membersihkan kacang kedelai untuk membuat tempe saat ditemui di kediamannya kawasan Sawahan Surabaya, pada Rabu (19/11/2025). Jarwo adalah perintis UMKM Tempe Bang Jarwo, pascapenutupan Dolly Surabaya. 
Ringkasan Berita:
  • Jarwo berhasil merintis UMKM Tempe Bang Jarwo setelah belajar membuat tempe saat pelarian dari polisi tahun 2014.
  • Ada 20 UMKM rintisan warga eks Dolly (makanan, tas, batik) yang berjuang mengubah image Putat Jaya menjadi kampung mandiri dan aman.
  • Gerak ekonomi UMKM melesu karena berkurangnya kunjungan wisata edukasi dan minimnya pendampingan dari Pemkot.
  • Jarwo menduga lesunya aktivitas positif menyebabkan munculnya praktik prostitusi terselubung skala kecil oleh oknum pendatang.

 

SURYA.co.id, SURABAYA - Jarwo (45) mengakui dirinya beserta beberapa pentolan penggerak UMKM di perkampungan eks Dolly Surabaya bersusah payah berjibaku mengubah 'image' kampung Putat Jaya menjadi kampung yang lebih baik di mata masyarakat.

Bukan cuma sekadar aman serta ramah anak tanpa praktik terselubung prostitusi, melainkan juga menjadi perkampungan yang warganya mandiri dari segi ekonomi.

Baca juga: Cerita Sutrisno Bertahan Jalani Usaha Batik di Eks Dolly Surabaya

Warga asli Putat Jaya tersebut berhasil melepas ketergantungan gerak roda ekonomi dari praktik prostitusi terselubung.

Menurut Jarwo, ada sekitar 20 UMKM yang dirintis oleh warga eks Dolly berkat fasilitas Pemkot Surabaya, pascapenutupan Dolly sejak 2014 silam.

UMKM tersebut terdiri dari perintis usaha olahan jajanan minuman dan makanan.

Ada juga pembuatan asesoris, tas dan sepatu, termasuk pembuatan kain serta pakaian batik asli Surabaya.

Tak ketinggalan, UMKM olahan tempe dan jajanan berbahan tempe seperti yang diinisiasi oleh Jarwo sendiri.

Para pelaku UMKM tersebut berada di lingkungan utama 'Ring 1' dari Gang Dolly yang dulunya sempat menjadi area prostitusi terbesar se-Asia Tenggara.

Bahkan, beberapa waktu lalu, Jarwo sempat menjadi Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung eks Dolly.

Tugasnya menyediakan fasilitas perjalanan edukasi bagi para pengunjung atau masyarakat yang ingin mengenal dan mengetahui kondisi bekas kampung Dolly yang sekarang sudah terus berbenah.

Nama program yang dikelolanya saat menjadi ketua pokdarwis di permukiman tersebut adalah Trip Edukasi Wisata Kampung Eks Dolly.

Masyarakat atau para pengunjung yang tertarik dengan sejarah masa lalu kampung Dolly, akan diajak berkeliling untuk melihat UMKM yang dirintis oleh masyarakat di permukiman eks Dolly.

Pengunjung juga diajak untuk melihat kondisi aset-aset tempat hiburan yang menjamur di Gang Putat Jaya atau eks Gang Dolly itu diambil alih oleh Pemkot Surabaya dan difungsikan sebagai pusat mengembangkan UMKM yang dirintis oleh masyarakat.

Salah satunya Gedung Wisma New Barbara yang kini telah dirombak untuk menjadi pusat pembuatan alas kaki dan bed cover hotel, dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) Mampu Jaya.

"Sudah 1 dekade kami berusaha penuh untuk mengubah image kampung Putat Jaya," kata Jarwo. 

Namun sayang, ungkap Jarwo, program trip edukasi kampung eks Dolly wilayah tersebut, belakangan sudah jarang memperoleh kunjungan wisata dari masyarakat atau instansi kelembagaan lain.

Situasi yang semacam itu terjadi bersamaan juga saat dirinya memutuskan berhenti menjadi ketua pokdarwis untuk digantikan oleh warga yang lain di permukiman tersebut.

Tak ayal, berkurangnya jumlah kunjungan wisatawan tersebut, tak menyebabkan juga penurunan daya beli yang tentunya berimbas pada omzet pendapatan yang diperoleh para UMKM rintisan warga eks Dolly.

Kondisi tersebut juga dirasakan langsung oleh Jarwo dalam bisnis UMKM tempe bermerek 'Tempe Bang Jarwo'.

Biasanya produksi tempenya itu bisa menghabiskan sekitar 20-30 kg kedelai untuk menghasilkan sekitar 2.000 hingga 3.000 pak tempe.

Namun seiring berlalu, situasi penurunan tersebut menyebabkan jumlah produksi tempenya menurun menjadi sekitar 15 kg tempe untuk menghasilkan 1.000 pak tempe.

Jarwo cuma bisa mempertahankan produk tersebut dari beberapa produk yang pernah ia buat.

Padahal, proses produksi beberapa olahan jajanan dan makanan berbahan tempe tersebut dapat menyerap banyak partisipasi tenaga dari belasan orang tetangganya.

"Kalau olahan-olahan, saya enggak produksi dulu. Saya fokus pada usaha tempe saya dulu," ungkapnya.

Lantas apa penyebab lesunya gerak ekonomi para UMKM rintisan warga eks Kampung Dolly, Jarwo memperkirakan penyebabnya begitu komplek dan banyak aspek yang berkelindan saling mempengaruhi.

Selain perkembangan dan situasi zaman pascapandemi Covid-19 beberapa tahun lalu, diakuinya juga merubah banyak aspek dari gerak ekonomi masyarakat, sehingga berdampak pada penurunan daya beli UMKM.

Ada juga faktor teknis, seperti makin menurunnya penjualan produk, misalkan minimnya ajakan pameran UMKM yang diselenggarakan Pemkot Surabaya.

"Kalau pemkot beda sih, jalurnya. Kalau paling dinas koperasi memunculkan UMKM baru. Akhirnya UMKM-UMKM lama enggak ada pendekatan. Padahal sudah digarap serius sebelumnya. Pendampingannya yang kurang. Kalau munculnya UMKM baru ada pendampingan. Kalau UMKM Bang Jarwo, Arumi, Samijali, sekarang ya enggak kayak dulu, bergerak sendiri," terangnya.

Jarwo tidak menutup mata jika memang masih ada oknum-oknum masyarakat pendatang yang masih nekat berbisnis layanan jasa esek-esek terselubung menyewa rumah warga di permukiman tersebut.

"Cuma intinya itu skala kecil aja ya. Jangan sampai menyimpulkan Dolly bangkit lagi. Nanti kasihkan anak-anak. Iya akhirnya namanya sudah yang selama ini dipendam-pendam. Yang selama ini sudah berani mengatakan Dolly sudah bebas Dolly saiki sudah berubah. Dolly saiki sudah itu berubah ini ada ini nanti takutnya dampaknya," jelasnya.

Malahan Jarwo menduga munculnya praktik prostitusi terselubung di permukiman warga eks Dolly itu, dipengaruhi oleh menurunnya aktivitas positif yang dulu pernah terselenggara secara masif melibatkan UMKM masyarakat; salah satunya Trip Edukasi Wisata Kampung Eks Dolly dan semacamnya.

Karena, menurut Jarwo, ketika banyak aktivitas kunjungan wisatawan dari masyarakat atau instansi terkait; kelembagaan kampus serta sekolah yang mengikuti trip edukasi dengan blusukan ke permukiman bekas kampung Dolly.

Hal itu akan membuat perkampungan tersebut akan tampak selalu ramai dan sibuk, sehingga situasi tersebut tentunya membuat tidak nyaman oknum-oknum warga pendatang yang berniat negatif untuk membuat bisnis negatif yang terselubung dan tentunya haram.

"Kalau ada trip edukasi wisata kayak dulu. Kan enak. Membuat orang warga sekitar yang mau berbisnis negatif jadi takut. Karena sekarang sudah jarang kegiatan pemerintah, ya mereka berani. Jadi, itu pengaruh, mengada trip edukasi. Cukup aja jalan-jalan di sana, itu sudah buat mereka yang masih begitu enggak berani," katanya.

Ide Usaha Muncul saat Pelarian dari Polisi

Jarwo kini membuka lapak dagangan dengan memanfaatkan gerobak menjajakan minuman ringan seperti kopi, jajanan serta minuman kemasan, hingga rokok.

Bisnis tersebut dikelola bersama anggota keluarganya, yakni dua orang kakak Jarwo, juga turut mendulang untung berjualan dengan cara serupa di kawasan Gang Dolly itu.

Momen penting penutupan Dolly itu dideklarasikan oleh pembacaan janji dari 91 eks PSK dan muncikari di Gedung Islamic Center, Rabu (18/6/2014) silam.

Nah, beberapa bulan sebelum hari deklarasi itu, ia menjadi satu di antara belasan aktor penggerak massa dari ratusan warga Dolly yang getol menolak penutupan.

Cara menyulut api amarah warga sekitar; PSK, dan muncikari di sana, kala itu, mudah saja.

Bermodal argumen; seiring dengan penutupan Dolly, penghasilan hidup mereka bakal hilang.

Ratusan orang yang sejatinya kebingungan dengan situasi saat itu, langsung naik pitam.

"Ada penutupan Dolly, kami menolak penutupan Dolly lah. Setelah itu kami diburu sama Polisi, soalnya aku bagian UMKM; PKL-PKL Dolly. Saya koordinator," ungkap Jarwo.

Puncaknya, ketika aparat kepolisian mulai melakukan penangkapan terhadap sejumlah nama-nama orang yang dianggap sebagai provokator aksi penolakan penutupan Dolly.

Peristiwa itu terjadi pada medio sebelum dan sesudah Lebaran tahun itu.

Seingat Jarwo, ada sembilan orang yang ditetapkan sebagai tersangka karena bertindak sebagai provokator.

Jarwo sempat kabur dua bulan.

Selama pelarian menghindari pengejaran aparat, Jarwo acap berpindah-pindah tempat, mulai dari bersembunyi di rumah teman-temannya hingga kediaman sanak famili lain yang berkenan menampungnya.

Mulai dari bersembunyi di Kecamatan Kenjeran, kemudian berpindah ke Kabupaten Malang.

Hingga akhirnya menetap cukup lama di Sidoarjo, yakni kediaman kakak iparnya.

Namanya pelarian, pasti juga butuh uang agar tetap bisa bertahan menghadapi kehidupan.

Jarwo yang masih paranoid dengan pengejaran aparat itu, mulai memberanikan diri turut membantu bisnis pembuatan tempe yang dirintis kakak iparnya.

Selama membantu, ia memperoleh sedikit demi sedikit ilmu dan keterampilan membuat tempe dari bahan kacang kedelai.

Ternyata, keterampilan itu menjadi bekal baginya untuk kembali ke rumahnya di Jalan Kupang Gunung.

Sekembalinya ke rumah. Jarwo mulai mempraktikkan keterampilan pengolahan tempe itu untuk menjadi peluang usaha.

Awalnya, memanfaatkan tiga kilogram bahan kedelai hasil pemberian dari kakak iparnya, ternyata uji coba pembuatan tempe dari tangannya sendiri berhasil.

Ratusan paket tempe berukuran selebar telapak tangan orang dewasa itu, dibagikan cuma-cuma kepada para tetangga.

Alhasil, produk tempe bikinan Jarwo menuai respon positif.

Nah, pada momen itulah Jarwo mulai menemukan tujuan hidupnya yang baru.

Ia bertekad membangun rumah produksi tempe miliknya sendiri.

"Akhirnya saya diburu, sampai dari kejaksaan P21 yang selesai, akhirnya kami berani pulang. Kami sembunyi di Sidoarjo, lalu untuk belajar tempe (sama kerabat). Nah, setelah itu kami itu sudah aman kasusnya. Aku bikin tempe, bikin apalagi kalau Dolly kayak kota mati gitu," terangnya.

Perjalanan Jarwo memulai bisnis pembuatan Tempe itu, juga tidak melulu berjalan mulus.

Modal pertama yang digunakan untuk membeli bahan baku tempe dari kacang kedelai hanya Rp180 ribu.

Uang itu juga bukan uangnya sendiri. Melainkan diberi oleh teman-teman dan anggota keluarganya selama pelarian. Karena merasa iba dengan nasib Jarwo yang terlunta-lunta menjadi buronan.

Jumlah uang itu pun tentunya belum cukup membeli bahan mentah untuk proses produksi.

Beruntung, sang kakak ipar masih mau membantu.

Jarwo diberi pasokan kacang kedelai yang cukup untuk produksi tempe, pertama kali.

Mulai saat itu, ia menggunakan istilah nama 'Tempe Dolly' sebagai brand dari produk UMKM yang baru dirintisnya, sebagai warga kawasan eks lokalisasi.

Jarwo menjualnya secara berkeliling mengendarai sepeda angin, mulai pukul 15.00 -17.00 WIB.

Meski bisnisnya itu, sudah mulai berjalan. Jarwo mengaku masih sempat merasakan perasaan gamang dan frustasi.

Karena, ia mulai menjumpai sejumlah kendala. Jarwo selalu kelelahan setiap mengupas kulit kacang secara manual, dengan cara menekan-nekan butiran kedelai.

Menghadapi situasi tersebut, Jarwo mengaku nyaris menyerah dengan keadaan tersebut.

Hingga sampai pada suatu jawaban bahwa solusi dari masalahnya itu, dapat diatasi dengan bantuan Pemkot Surabaya.

Apalagi saat itu, Pemkot Surabaya memberikan sejumlah pelatihan UMKM kepada warga Putat Jaya yang merasakan dampak ekonomi semenjak penutupan Gang Dolly.

Kesempatan itu, tak cuma dimanfaatkan Jarwo untuk menambah ilmu pengetahuan seputar pengembangan bisnis UMKM bagi produksi tempe rumaha miliknya.

Malahan, ia meminta bantuan alat penggilingan pengupas kulit kacang kedelai agar memudahkan kerjanya memproduksi tempe, dan ternyata permintaan itu dikabulkan oleh pihak Pemkot Surabaya.

"Nah, setelah itu kami ada pelatihan itu, saya ikut. Langsung aku bilang ke pak Camat; Pak Camat Yunus, aku minta minta bantuan mesin giling. Akhirnya disurvei di tempat, dan akhir dibikin, dikasih mesin giling," jelasnya.

Selain diberikan bantuan alat produksi. Jarwo juga diberi pendampingan usaha dari pihak dinas terkait dan para mahasiswa yang melakukan praktik kerja lapangan di permukiman eks Dolly, kala itu.

Dari situlah, akhirnya ia mulai mengubah nama brand penyebutan produk tempenya itu menjadi 'Tempe Bang Jarwo'.

Ternyata, brand tersebut dianggap membawa keberuntungan.

Selain karena penyebutan terdengar lebih gaul dan membumi, nama itu seperti sekaligus menjadi simbol melepas stigma negatif dari kata Dolly yang terlanjur melekat kuat diingatan masyarakat di luar kawasan Putat Jaya.

"Akhirnya dapat pendampingan dari dinas Pemkot Surabaya, bersama mahasiswa GEMA untuk membantu untuk dipasarkan mulai promosi, media digital, itu ada pelatihan. Akhirnya mandiri sampai hingga sekarang," pungkasnya. 

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved