Lepas Gurami Dan Lele Karena Pakan Mahal, Warga Tulungagung Tangkap Permintaan Lobster Air Tawar

Saat ini permintaan pasar lobster air tawar sangat terbuka, namun jumlah pembudidaya terbatas sehingga produksi jauh dari permintaan.

Penulis: David Yohanes | Editor: Deddy Humana
surya/david yohanes
RAMAH PAKAN - Budi Tri Satyo memamerkan salah satu lobster air tawar besar hasil budidayanya di Desa Doroampel, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Rabu (5/11/2025). Budi beralih dari pembudidaya gurami dan lele karena pakannya mahal, dan memilih lobster air tawar karena biaya pakannya hampir nol. 
Ringkasan Berita:
  • Potensi lobster air tawar di Tulungagung sangat besar karena permintaan tinggi namun produksi masih terbatas.
  • Pembudidaya lele dan gurami terbebani mahalnya harga pakan sehingga beralih ke lobster air tawar karena menjanjikan keuntungan ekonomi lebih besar.
  • Lobster air tawar tidak memerlukan pakan khusus karena bisa mengkonsumsi sisa makanan atau hasil budidaya ikan yang tidak terpakai.

 

SURYA.CO.ID, TULUNGAGUNG - Mahalnya harga pakan masih menjadi salah satu penyebab kegagalan pembudidaya ikan. Hal itu pula yang mendorong Budi Tri Satyo, beralih membudidayakan lobster air tawar karena biaya pemeliharaan lebih murah.

Warga Desa Doroampel, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung itu semula adalah pembudidaya ikan gurami dan ikan lele.

Tetapi suatu saat harganya jatuh sehingga biaya pakan yang dikeluarkan lebih besar dibanding penjualan hasil panen.

Kendala utamanya, pakan ikan gurami dan lele harus beli berupa pelet produk pabrikan. “Saya bahkan sempat rugi Rp 15 juta saat itu. Karena pakannya dari pabrik sudah mahal,” kata Budi, Kamis (6/11/2025).

Lantas Budi memilih beralih ke budidaya lobster air tawar dengan alasan biaya pemeliharaan jauh lebih murah dan harga jual lebih mahal.

Saat ini permintaan pasar lobster air tawar sangat terbuka, namun jumlah pembudidaya sangat terbatas sehingga produksi jauh dari permintaan.

Budi mulai tertarik dengan lobster air tawar ini karena tidak membutuhkan pakan khusus. Saat mulai ramai pandemi Covid-19 di tahun 2021, ia mulai rintisannya dengan 400 ekor lobster.

Namun dari semua benih yang dimasukkan dalam kolam, setengahnya mati. “Waktu itu sempat kepikiran, setengahnya mati. Tetapi sisanya saya pelihara terus di dalam kolam,” tuturnya.

Sisa benih yang selamat ini berkembang sangat cepat, karena lobster air tawar gampang bereproduksi. Sejak saat itu lobster air tawar hasil budidaya sendiri ini terus berkembang.

Pakan Lobster Nol Rupiah

Untuk pakan tidak perlu membeli produk pabrikan, cukup memanfaatkan limbah di sekitarnya. Kebetulan Desa Doroampel adalah salah satu sentra perikanan darat dan peternakan di Tulungagung.

Dari kolam gurami, patin atau lele yang mati, Budi memintanya untuk diberikan ke lobster. Demikian juga ayam yang mati dari peternakan juga diminta, dicacah untuk pakan lobster.

“Untuk pakan sama sekali tidak beli, ikan atau ayam sisa lauk di dapur bisa dijadikan pakan. Pokoknya semua sisa makanan bisa menjadi pakan,” ungkapnya. 

Bahkan ada pembudidaya yang menggunakan ikan hias sortiran untuk pakan. Ikan jenis koi atau koki yang tidak laku dijual karena cacat atau jelek, dipotong dan dimasukkan ke kolam lobster. 

Lamanya pemeliharaan lobster tergantung dari asupan pakan berprotein yang diberikan. Namun rata-rata untuk bisa mencapai ukuran permintaan pasar, setelah pemeliharaan 6-8 bulan. 

Dan lobster air tawar memang tidak bisa mencapai ukuran lobster laut. Untuk bisa diserap pasar, ukuran rata-rata 1 KG berisi 10 ekor.

“Masalahnya permintaan lobster untuk indukan sekarang meningkat. Banyak yang menjual sebelum mencapai ukuran pasar,” jelas Budi.

Saat ini Budi menggandeng sejumlah mitra, namun yang benar-benar besar ada 4 pembudidaya. Yang lain masih banyak yang menjual lobster kepada para pembudidaya baru sebagai indukan, dengan ukuran yang lebih kecil.

Penjualan kepada sesama pembudidaya ini sudah memberi keuntungan kepada para mitra. Budi sebenarnya punya pembeli dengan permintaan 3 kali kirim selama 2 minggu sebesar 250 KG. 

Namun dengan keterbatasan mitra dan produksi dengan ukuran pasar, permintaan ini belum bisa dipenuhi. Biasanya Budi membeli lobster mitra dari grade kecil Rp 150.000 per KG, sampai grade A Rp 200.000 per KG.

“Kalau dari segi harga jauh sangat menguntungkan dari gurami. Sementara permintaan pasar yang bisa dipenuhi masih sedikit,” jelasnya.

Ia mengakui, ada anggapan bahwa lobster air tawar ini susah dijual dan diserap pasar. Namun Budi menegaskan, anggapan ini keliru karena ikan sepat di sungai pun bisa dijual dan punya harga, apalagi lobster yang lebih punya nilai ekonomis.

Sementara saat ini banyak kolam ikan yang dikeringkan karena harga patin atau gurami yang terlalu murah.

Budi membayangkan, jika kolam-kolam itu dipakai untuk memelihara lobster tentu hasilnya akan lebih menguntungkan. Ia bahkan menawarkan untuk memberikan benih, dengan sistem bagi hasil.

“Jika bisa memenuhi permintaan pasar secara reguler, lobster air tawar akan jadi menu yang familiar,” tandasnya. ****

 

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved