Penilaian Praktisi Hukum Soal Warga Jombang Dituduh Curi Listrik dan Didenda Rp 7 Juta

Praktisi hukum di Kabupaten Jombang, Jatim, menyoroti dugaan pelanggaran prosedur dalam kasus Nur Hayati yang dituduh curi listrik dan kena denda

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Anggit Puji Widodo
LISTRIK DIPUTUS - Nur Hayati saat dikonfirmasi di kediamannya dan menunjukkan surat tagihan PLN di Dusun Kejombon, Desa Dapurkejambon, Kecamatan/Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada Kamis (9/10/2025). Praktisi hukum, Beny Hendro menilai tindakan PLN yang langsung memutus aliran listrik tanpa pemeriksaan bersama dan tanpa pemberitahuan lebih dahulu, merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip due process of law. 

Kasus ini bermula pada Agustus 2025, saat listrik di rumah Nur Hayati mendadak terputus. 

Setelah itu, ia diminta datang ke kantor PLN Jombang dan diberitahu bahwa terdapat lubang di bagian bawah penutup kWh meter rumahnya.

PLN kemudian mengkategorikan hal tersebut sebagai pelanggaran golongan 2, atau setara dengan pencurian listrik, dan menuntut denda sebesar Rp 6.944.015 atas dugaan pelanggaran yang disebut terjadi sejak 2017. 

"Saya tidak tahu siapa yang buat lubang itu. Selama ini saya selalu bayar listrik rutin dan tidak pernah ada masalah," tutur Nur Hayati.

Karena tak sanggup melunasi denda secara penuh, Nur Hayati diminta membayar uang muka Rp 2,2 juta, dan sisanya dicicil melalui tagihan bulanan. 

Uang muka tersebut ia peroleh dengan cara berutang. 

"Kami keluarga sederhana. Rasanya tidak adil dituduh mencuri listrik," ujarnya lirih.

PLN Klaim Sesuai Prosedur, Praktisi Hukum Desak Tempuh Jalur Hukum

Di sisi lain, Manajer PLN ULP Jombang, Dwi Wahyu Cahyo Utomo, memastikan bahwa seluruh langkah yang diambil pihaknya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

"Pelanggan sudah menandatangani berita acara dan menyetujui skema pembayaran. Semua tindakan sudah mengacu pada prosedur dari kantor induk PLN Mojokerto," jelas Dwi.

Namun, Beny Hendro mendesak agar Nur Hayati tidak menyerah dan menempuh jalur hukum. 

Ia menyarankan pelaporan ke Ombudsman RI serta pengajuan gugatan perdata dan pidana. 

"Kerugian yang dialami bukan hanya finansial, tapi juga psikis. Bahkan saya dengar ibunya jatuh sakit dan meninggal setelah kasus ini mencuat. Negara tidak boleh diam," tegasnya.

Beny menutup pernyataannya dengan mengingatkan pentingnya penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu. 

"PLN memang lembaga negara, tapi bukan berarti kebal hukum. Hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas," pungkasnya.

Sumber: Surya
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved