SURYA.co.id, Banyuwangi - Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali menyisakan kisah pilu dari para korban selamat. Salah satunya adalah Riko, pria 28 tahun asal Banyuwangi, yang menjadi saksi hidup dari insiden mencekam tersebut.
Riko merupakan anak buah kapal (ABK) yang telah bekerja selama lima tahun di kapal tersebut. Ia menjadi satu dari 16 orang yang berhasil selamat dan mencapai pesisir Pantai Pebuahan, Desa Banyubiru, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali.
Kisahnya dimulai saat ia sedang beristirahat di dalam kapal pada Rabu malam (2/7/2025), sekitar pukul 23.30 WIB. Saat itu, ia tengah tidur karena bersiap untuk giliran jaga pada pukul 01.00 WIB.
“Saya tidak begitu mengetahui (kejadiannya) karena saya istirahat tidur karena aplus jaga karena jam 01.00 WIB mau jaga,” tutur Riko seperti dikutip dari Tribun Bali
Namun, tidurnya terganggu oleh perasaan tidak biasa. Ia merasakan kapal mulai miring ke arah kanan, sesuatu yang tidak lazim terjadi dalam pelayaran malam itu.
“Saya langsung merasa ada yang aneh. Sekitar setengah 12 malam, udah kerasa kayak miring ke kanan,” ungkapnya.
Riko segera bangun dan mengambil handphone. Ia tahu bahwa dalam situasi darurat, mencari posisi tertinggi adalah langkah pertama untuk bertahan hidup.
“Saya langsung bangun ambil handphone langsung cari posisi tertinggi. Kapal ke kanan saya lari ke kiri karena jika posisi terendah ikut kapal tenggelam,” kenangnya.
Baca juga: Profil dan Spesifikasi Kapal KMP Tunu Pratama Jaya yang Tenggelam di Selat Bali, Dibangun Tahun 2010
Kondisi kapal semakin tidak stabil. Tak lama setelah itu, kapal mengalami blackout total. Semua sistem mati. Lampu padam. Kepanikan mulai menyelimuti seluruh awak dan penumpang.
“Setelah miring, kapal blackout. Gelap semua. Saya langsung berpikir harus keluar dari dalam kapal,” ujarnya.
Riko kemudian memutuskan untuk melompat ke laut. Ia tahu bahwa tetap berada di dalam kapal yang miring dan gelap hanya akan memperbesar risiko.
“Saya lompat ke laut. Saat itu saya tidak tahu siapa yang ikut. Saya hanya berpikir harus selamat dulu,” katanya.
Di tengah laut yang gelap dan bergelombang, Riko berusaha memanggil penumpang dan kru lain yang terlihat olehnya. Ia ingin memastikan tidak ada yang tertinggal.
“Saya panggil semua orang yang saya lihat. ABK, penumpang, siapa saja. Kami harus kumpul,” ucapnya.
Setelah beberapa orang berhasil dikumpulkan, mereka menemukan life raft—perahu karet berwarna oranye yang menjadi alat penyelamat darurat.
Baca juga: Daftar Crew Kapal KMP Tunu Pratama Jaya yang Tenggelam di Selat Bali, Pencarian Terkendala Ombak