Berita Viral

Benarkah Ada Politisasi Hukum di Balik Kasus Hasto dan Tom Lembong? Pakar ungkap Sosok Pelakunya

Pakar hukum sebut publik wajar curiga soal amnesti Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong. Benarkah ada yang melakukan politisasi hukum?

Kolase Kompas.com dan Wartakota
POLITISASI HUKUM - Kolase foto: Menteri Perdagangan (Mendag) tahun 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025) dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto saat tiba di PN Jakpus, Jumat (25/7/2025). 

SURYA.co.id - Publik kembali mempertanyakan netralitas hukum di Indonesia.

Kali ini, sorotan tajam tertuju pada penanganan kasus yang menjerat dua tokoh nasional, Hasto Kristiyanto dan Thomas Trikasih Lembong. 

Banyak yang menyebut ada aroma politisasi hukum, terutama karena keduanya dikenal vokal terhadap kekuasaan.

Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, memberikan pandangan kritis mengenai polemik ini.

Dalam sebuah diskusi publik di Kompas Petang (Sabtu, 2 Agustus 2025), Feri menyebut wajar jika publik mengendus kepentingan politik di balik proses hukum yang berlangsung.

Ia menyoroti bahwa amnesti dan abolisi adalah hak prerogatif presiden yang rawan ditarik-tarik ke ranah politis.

Baca juga: Rekam Jejak Ray Rangkuti yang Tepat Prediksi Hasto Kristiyanto Tak Lagi Jabat Sekjen PDIP

Terlebih, pemberian amnesti biasanya terjadi dalam konteks pemberontakan atau pelanggaran berat terhadap negara.

Ketika pengampunan diberikan pada tokoh yang justru kritis terhadap kekuasaan, kecurigaan pun mencuat.

Di sinilah titik silang antara hukum dan politik kembali menjadi sorotan publik.

Menurut Feri, sejarah Indonesia mengenal amnesti dan abolisi sebagai bagian dari mekanisme pengampunan negara.

Biasanya, kebijakan tersebut menyasar mereka yang dianggap melakukan tindakan makar, kudeta, atau kejahatan luar biasa terhadap negara.

Namun dalam kasus ini, konteksnya berbeda.

Hasto, misalnya, dikenal sebagai tokoh politik yang kerap bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya.

Baca juga: 2 Tokoh Eks KPK yang Nyinyiri Kebijakan Prabowo Beri Amnesti Hasto Kristiyanto, Ada Novel Baswedan

Begitu pula Tom Lembong, yang tengah mengajukan banding atas putusan hukum yang dinilainya janggal.

"Publik wajar curiga, sebab ini soal prerogatif presiden yang bisa ditarik ke wilayah politik. Tapi justru karena itu, kita bertanya: kalau pelakunya adalah presiden sendiri, kenapa harus memberi amnesti? Logikanya tidak nyambung," ujar Feri.

Ia menduga ada kekuatan lain yang bermain di balik layar, kekuatan yang memiliki motif dan akses cukup besar untuk memengaruhi proses hukum.

Ketika ditanya siapa aktor yang paling mungkin di balik rekayasa ini, Feri menolak menyebut nama.

Sebagai pengamat hukum, ia memilih menjawab dengan kiasan.

"Mungkin yang pakai nomor punggung tujuh, David Beckham atau Eric Cantona," katanya, mencoba meredakan ketegangan dengan humor.

Di sisi lain, ia menjelaskan bahwa abolisi lebih sering digunakan sebagai alat rekonsiliasi terhadap lawan politik, terutama untuk menghentikan proses hukum yang dianggap tidak produktif.

"Tapi dalam kasus Tom Lembong, yang justru sedang memperjuangkan keadilan lewat banding, mengapa harus ada abolisi?" tanyanya retoris.

Feri juga menyinggung putusan tingkat pertama di pengadilan negeri yang dinilai publik sarat kejanggalan.

"Kalau dua orang ini kebetulan berseberangan dengan penguasa waktu itu, publik pantas curiga bahwa ada skenario yang lebih besar tengah berjalan," tutupnya.

Baca juga: Perbandingan Kekayaan 3 Hakim Penghukum Tom Lembong yang Dilaporkan ke MA dan KY, Siapa Terkaya?

Kinerja KPK dan Kejaksaan Disindir Pakar

AMNESTI DAN ABOLISI - Kolase foto Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto yang mendapat Abolisi dan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
AMNESTI DAN ABOLISI - Kolase foto Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto yang mendapat Abolisi dan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. (kolase Tribun Timur)

Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto berdampak pada sejumlah pihak.

Yakni KPK dan Kejaksaan. Mereka mendapat sindiran nyelekit dari pakar hukum UI, Chudry Sitompul.

Chudry menyatakan dukungannya terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong.

Menurutnya, kebijakan tersebut merupakan bentuk koreksi atas proses hukum yang sarat muatan politik.

Hasto, yang menjabat Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, sebelumnya dijatuhi hukuman penjara selama 3,5 tahun dalam perkara suap terhadap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Sementara itu, Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, divonis 4,5 tahun atas kasus korupsi dalam impor gula.

Chudry menilai kedua kasus itu tidak membawa kerugian langsung terhadap keuangan negara maupun kestabilan ekonomi nasional.

Ia menganggap keputusan presiden sebagai peringatan serius bagi lembaga penegak hukum agar tak menjadikan isu politik sebagai dasar penindakan hukum.

“Ini jadi pelajaran penting bagi Kejaksaan dan KPK agar tidak membawa agenda politik ke ranah hukum,” ujar Chudry saat diwawancara, Jumat (1/8/2025), melansir dari Tribunnews.

Ia bahkan menyebut kebijakan pemberian abolisi dan amnesti ini sebagai bentuk “tamparan” bagi lembaga penegak hukum.

Menurutnya, langkah tersebut menunjukkan bahwa proses hukum yang dijalankan selama ini patut dievaluasi.

“Kalau sudah begini, itu jelas tamparan. Artinya, proses yang dilakukan aparat penegak hukum harus diintrospeksi,” tambahnya.

Chudry juga membantah anggapan bahwa Prabowo tidak serius dalam agenda pemberantasan korupsi.

Ia menyebut keputusan presiden bukan berarti melemahkan hukum, melainkan memperlihatkan keberpihakan terhadap keadilan substantif.

Amnesti terhadap Hasto dikeluarkan melalui Surat Presiden Nomor 42/Pres/07/2025 tertanggal 30 Juli 2025, yang telah disetujui DPR RI dalam rapat konsultasi di Senayan pada 31 Juli. Sedangkan abolisi untuk Tom Lembong juga mendapat dukungan lembaga legislatif.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa surat presiden memuat dua permintaan: abolisi terhadap Lembong dan amnesti untuk 1.116 narapidana, termasuk Hasto Kristiyanto.

Secara hukum, amnesti menghapus seluruh akibat pidana dari perbuatan yang telah diputus, sedangkan abolisi menghentikan proses hukum sebelum putusan dijatuhkan.

Keduanya adalah hak prerogatif Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat No. 11 Tahun 1954.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa pemberian amnesti membuat Hasto tak perlu menempuh upaya banding. Sedangkan proses hukum terhadap Lembong otomatis dihentikan akibat abolisi.

“Dengan amnesti, semua konsekuensi hukum dihapuskan. Sedangkan dengan abolisi, proses penuntutan dianggap tidak pernah ada,” jelas Yusril dalam konferensi pers, Jumat (1/8/2025).

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved