Pengusaha Sound System di Kediri Mengeluh Penyewaan Sound Horeg Turun 70 Persen Usai Fatwa Haram

Muhammad Fahrul Anwar, pengusaha sound system dari AF Production Kediri, menanggapi pernyataan sound horeg haram tersebut dengan keberatan.

Penulis: Isya Anshori | Editor: irwan sy
Isya Anshori/TribunJatim.com
SOUND KARNAVAL - Suasana pawai budaya sound system di Desa/Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri, Sabtu (26/7/2025). Pengusaha sound system di Kabupaten Kediri keberatan dengan fatwa haram sound horeg yang mengakibatkan penurunan penyewaan hingga 70-80 persen. 

SURYA.co.id, KEDIRI - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kediri bahkan secara tegas menyatakan bahwa kegiatan sound horeg haram dilakukan.

Muhammad Fahrul Anwar, pengusaha sound system dari AF Production Kediri, menanggapi pernyataan sound horeg haram tersebut dengan keberatan.

Dia menyebut istilah sound horeg sangat subjektif dan berdampak besar terhadap usaha jasa seperti miliknya.

"Saya sendiri kalau sound horeg dikatakan haram nggak setuju, karena itu kan istilah dari warga setempat. Semisal sound horeg itu yang bermuatan lebih dan kalau nggak disewa sama warga sekitar mungkin nggak ada yang bilang itu sound horeg," ucap Anwar, Kamis (31/7/2025).

Dia mengungkapkan, sejak isu keharaman mencuat, permintaan jasa penyewaan sound system menurun drastis dibandingkan tahun lalu.

"Kalau biasanya dua minggu sebelum Agustus itu sudah banyak yang tanya dan sudah ada yang booking. Namun sampai saat ini saya hanya menerima 4-5 pesanan saja. Dibandingkan dengan tahun lalu bisa sampai 20-30 pesanan, turun hingga 70 sampai 80 persen," terangnya.

Meskipun demikian Anwar menegaskan pihaknya selalu mengikuti regulasi teknis yang ditetapkan pemerintah.

Ia berharap permasalahan ini tidak disikapi secara sepihak.

"Kami sebetulnya mengikuti aturan karena memang itu aturan dibuat untuk dijalankan. Tapi kalau difatwa untuk haram, nah itu kami sebagai pengusaha sangat kaget. Saya berharap nantinya kami selalu kompak, selalu baik. Kalau ada masalah bisa dibicarakan dengan baik-baik," pungkasnya.

Sekretaris Umum MUI Kabupaten Kediri, Dafid Fuadi, menjelaskan bahwa pelarangan tersebut bukan semata pada alatnya, namun lebih kepada rangkaian aktivitas di dalamnya.

Meskipun saat ini sudah berganti nama menjadi sound karnaval, ia menekankan istilah sound horeg bukan sekadar soal suara keras, tetapi mencakup berbagai unsur yang dianggap tidak sesuai dengan nilai agama maupun norma masyarakat.

"Sound horeg ini haram hukumnya, dan pernyataan ini sudah kami sampaikan ke Polres Kediri sebagai laporan," kata Dafid.

Menurutnya, perbedaan antara sound system biasa dan sound horeg harus dipahami dengan jelas.

Yang menjadi persoalan, kata Dafid adalah aktivitas yang menyertai suara keras tersebut.

"Kalau sound horeg adalah suatu rangkaian aktivitas, yang di sana itu ada sound dengan suara yang sangat keras, dan biasanya ini yang sering kali kita lihat di masyarakat adalah di belakangnya itu ada orang yang menari dan joget, dengan pakaian yang menurut kami tidak sopan. Tidak hanya itu saja, kadang-kadang dari mereka, kadang penonton atau pemain itu sambil mabuk minum miras," bebernya.

Dafid juga menyoroti dampak gangguan yang ditimbulkan terhadap masyarakat sekitar akibat kebisingan suara.

Meskipun sebagian warga memilih diam, bukan berarti mereka tidak terganggu.

"Artinya memang sound horeg itu mengganggu orang lain. Jangankan sound horeg, dalam hadits Rasulullah itu kalau kita membaca Al-Qur’an namun orang lain terganggu, Rasulullah pernah menegur dan melarang, dan itu ada haditsnya. Apalagi dalam bentuk hiburan yang seperti itu bentuknya," tegas Dafid.

MUI juga menyebut bahwa sound horeg telah menjadi simbol atau syi’arul fusaaq yakni simbol aktivitas orang-orang fasik.

Dafid menyebut acara semacam ini rentan mengundang maksiat dan menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai religius.

"Sound horeg itu lebih mengarah kepada istilah Arabnya syiarul fusak atau simbol orang-orang fasik yang berkonotasi aktivitas orang-orang fasik yang lebih banyak berpotensi mendatangkan maksiat, artinya dalam kacamata fiqih," jelasnya.

Lebih jauh, ia menyayangkan bahwa kegiatan ini kini tidak lagi hanya muncul saat Agustusan, melainkan menjadi semacam rutinitas bulanan pada berbagai hajatan.

"Kalau kita anggap normal, sama halnya mendidik masyarakat untuk hidup hedon, bahkan seakan-akan itu adalah diskotik yang dibawa ke jalan. Yang mestinya cukup di ruangan tertutup, sekarang sudah terbuka," ucap Dafid.

Dia pun mengingatkan bahwa banyak anak-anak yang ikut menyaksikan kegiatan tersebut, yang dikhawatirkan akan ikut terpengaruh secara moral.

"Mereka mestinya fokus di sekolah, harus melihat acara sound horeg tersebut. Mau tidak mau, mereka anak-anak ini juga terpengaruh dengan cara tersebut," tambahnya.

Dafid mengajak masyarakat agar perayaan kemerdekaan diarahkan kembali pada nilai-nilai perjuangan, budaya, dan kesopanan.

"Kami mengharapkan masyarakat bisa mengangkat tema-tema terkait perjuangan. Artinya kalaupun nanti mengadakan karnaval bisa menampilkan yang sopan dan tidak menggunakan sound horeg. Sound horeg ini bukan budaya tapi hobi," tandasnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved