Pengamat Sosial UM Surabaya: Larangan Total Sound Horeg Bukan Solusi, Regulasi Adil Lebih Relevan

Pengamat sosial menilai pendekatan larangan total sound horeg justru berisiko memunculkan konflik baru di tengah masyarakat.

Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: irwan sy
IST/Dok Pribadi
SOUND HOREG - Pengamat sosial dan budaya dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, M Febriyanto Firman Wijaya MSos. Febriyanto menilai pendekatan larangan total sound horeg justru berisiko memunculkan konflik baru di tengah masyarakat. 

SURYA.co.id | SURABAYA — Pengamat sosial dan budaya dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, M Febriyanto Firman Wijaya MSos (Riyan), menilai pendekatan larangan total sound horeg justru berisiko memunculkan konflik baru di tengah masyarakat.

Fenomena sound horeg kembali menjadi sorotan publik usai Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik hiburan yang identik dengan dentuman musik keras tersebut.

“Sound horeg itu bukan sekadar hiburan. Ia adalah ekspresi budaya, identitas komunal, dan bagian dari ekonomi kreatif warga. Melarang secara mutlak justru bisa memicu resistensi dan memperkeruh situasi sosial,” ujar Riyan, Senin (28/7/2025).

Menurutnya, fenomena ini mencerminkan ketegangan antara dua hak mendasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan hak publik atas ketenangan.

Dalam konteks negara hukum dan masyarakat majemuk, kedua hak tersebut tidak bisa dipertentangkan secara biner.

“Kita tidak bisa memilih salah satu dan mengabaikan yang lain. Prinsip keadilan sosial justru menuntut negara untuk menyeimbangkan keduanya,” katanya.

Ia menegaskan negara harus hadir bukan sebagai pemihak terhadap salah satu kelompok, melainkan sebagai penengah yang mengatur secara adil dan proporsional.

Febriyanto menekankan bahwa negara dan pemerintah daerah memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi warga dari dampak negatif kebisingan, terutama kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan masyarakat yang sedang beribadah.

“Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Jadi, pembatasan terhadap aktivitas semacam sound horeg memang dibenarkan, asal tujuannya legitimate, tidak diskriminatif, dan tetap memberi ruang bagi ekspresi budaya,” tegasnya.

Ia mengkritisi pendekatan larangan mutlak yang dinilai tidak menyentuh akar persoalan sosial-budaya.

“Fatwa memang punya kekuatan moral, tetapi tidak serta-merta menjadi solusi menyeluruh. Kalau tidak diiringi dengan edukasi dan dialog, yang terjadi justru perlawanan dan praktik-praktik ilegal yang lebih sulit diawasi,” ujarnya.

Menurut Febriyanto, solusi yang lebih konstruktif adalah regulasi berbasis partisipasi publik dan pengelolaan dampak.

Ia menyebut perlunya pengaturan batas desibel, jam operasional, serta zonasi tertentu agar pelaksanaan sound horeg tidak mengganggu ketertiban umum.

“Pemerintah bisa mendorong pelaku sound system untuk menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan menyesuaikan dengan standar kebisingan. Ini soal inovasi, bukan hanya soal pelarangan,” ungkapnya.

Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan banyak pihak dalam perumusan regulasi tersebut.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved