BPJS Kesehatan Selamatkan Suyanto dari Jeratan Pasung Selama 22 Tahun

Berkat pengobatan yang dibiayai lewat BPJS Kesehatan, pasien ODGJ di Kabupaten Tulungagung, Jatim, akhirnya sembuh dan terbebas dari pasungan. 

Penulis: David Yohanes | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/David Yohanes
MEMERIKSA KESEHATAN - Petugas medis memeriksa kondisi kesehatan pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebelum dikirim ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dr Radjiman Wediodiningrat Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada 26 Februari 2025. Dari 2.045 pasien ODGJ berat di Kabupaten Tulungagung, 915 dirujuk ke RSJ dengan pembiayaan dari BPJS Kesehatan. 

SURYA.CO.ID, TULUNGAGUNG - Suyanto (55) warga desa Wates, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur (Jatim), pernah merasakan sakitnya dipasung selama 22 tahun. 

Berkat pengobatan yang dibiayai lewat BPJS Kesehatan, pasien ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) ini, akhirnya sembuh dan terbebas dari pasungan. 
 
Menurut adiknya, Sringatin, dulu Suyanto berubah agresif dan mengamuk jika melihat pamannya.
 
Bahkan, Suyanto akan menyerang sang paman seolah dilanda kebencian.
 
“Karena dianggap membahayakan orang lain, waktu itu dibuatkan rumah terpisah. Setiap hari kebutuhan makannya dipenuhi, tapi dia terkurung,” kisah Sringatin.
 
Sebenarnya keluarga sudah berulang kali membawa Suyanto berobat, namun sering terputus karena keterbatasan biaya.
 
Setelah 22 tahun dalam kurungan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Tulungagung menjangkau Suyanto, membebaskannya dari kurungan dan memberinya pengobatan.
 
Ia dimasukkan dalam daftar Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, agar proses pengobatannya tak memberatkan keluarga.
 
Kini setelah serangkaian pengobatan, dia mampu mengurus diri sendiri, seperti mandi, mencuci pakaian dan disiplin minum obat.
 
“Hasilnya positif sekali, sudah patuh, tidak mengamuk lagi dan bisa diajak komunikasi. Sampai sekarang pengobatannya masih ditanggung BPJS Kesehatan,” ungkap Sringatin.
 
Ismanto (58), pasien ODGJ lainnya dari Desa/Kecamatan Ngantru, juga pernah dikurung selama 19 tahun.
 
Dia sempat dikurung sejak tahun 1998 oleh keluarga, karena dianggap membahayakan diri sendiri.
 
Ismanto sering berlarian di jalan raya hingga membuat keluarga khawatir dia kecelakaan. 
 
“Pertama kali dibebaskan pemerintah saat itu tahun 2017. Sejak saat itu diikutkan BPJS  untuk proses pengobatan,” ungkap Suryanto, saudara kandung Ismanto.
 
Lanjut Suryanto, proses pengobatan berjalan cukup lama dan ditanggung sepenuhnya BPJS. 

Sekarang, Ismanto jauh lebih baik, karena sudah bisa hidup mandiri dan bisa diajak komunikasi.
 
Ia juga sadar akan keselamatan diri sendiri, tak lagi keluyuran.
 
Setiap hari dia bisa menjaga kebersihan individu, mencuci pakaian, buang air dengan benar dan sadar minum obat secara rutin.
 
Pengiriman ODGJ
 
Menurut Sub Koordinator Kesehatan Jiwa Dinkes Tulungagung, Heru Santoso, Pemerintah Kabupaten (Pemkab Tulungagung) telah mengirim 915 ODGJ ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dr Radjiman Wediodiningrat di Kabupaten Malang.
 
Mereka bagian dari 2.045 ODGJ berat, yang didata lewat penjangkauan puskesmas di seluruh Tulungagung.
 
Seluruh program pengobatan ODGJ yang membutuhkan rujukan ini, dibiayai lewat kepesertaan BPJS Kesehatan.
 
“Total sudah 915 kuota dalam 31 pengiriman sejak 2024 sampai pertengahan 2025 ini. Memang ada sejumlah orang yang dikirim ulang, bisa 2 atau 3 kali,” jelas Heru.

Sampai saat ini, ada 1.100 ODGJ yang sudah mengakses layanan sistem kesehatan jiwa di puskesmas.
 
ODGJ yang dikirim ke rumah sakit jiwa (RSJ), adalah yang membutuhkan rujukan sesuai hasil asesmen tim medis.
 
Tahap awal, sekitar 90 persen pembiayaan ditanggung BPJS Kesehatan, 10 persen ditanggung program Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin (Biakes Maskin) Provinsi Jawa Timur.
 
“Sekitar 10 persen ini yang belum ikut dalam BPJS Kesehatan. Karena rata-rata ODGJ ini dari keluarga miskin, mereka ditanggung Biakes Maskin Pemprov Jatim,” ungkap Heru.
 
Untuk mendapat layanan Biakes Maskin, tiap penerima layanan menyertakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Dinas Sosial (Dinsos), surat pernyataan miskin dari Dinkes, dan surat pernyataan penetapan mendaftar ke Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID).
 
Setelah 1 bulan sejak layanan Biakes Maskin, ODGJ yang menggunakan layanan ini akan otomatis masuk kepesertaan BPJS Kesehatan PBID.
 
Kini, seluruh ODGJ yang dirujuk ke RSJ Lawang, seluruhnya dibiayai oleh BPJS Kesehatan.
 
“Kami selalu berusaha 100 persen BPJS Kesehatan karena biaya pengobatannya cukup mahal,” katanya.
 
Heru mengungkapkan, biaya untuk 1 hari sekitar Rp 500.000, sementara lamanya perawatan di RSJ rata-rata 14 hari.
 
Biaya ini sudah termasuk makan, ruang perawatan, obat, tindakan medis dan tenaga kesehatan.
 
Sementara ODGJ yang mengalami komplikasi, lama pengobatan bisa molor sampai 1 bulan.
 
“Untuk keluarga kurang mampu, biaya pengobatan ke RSJ pasti sangat memberatkan. Di sini BPJS Kesehatan sangat membantu,” ucap Heru.
 
Data di BPJS Kesehatan Cabang Tulungagung, selama tahun 2024 ada 1.284 ODGJ yang melakukan rawat inap.
 
Di luar mereka yang ikut dalam program Dinas Kesehatan, ada pula yang melakukan secara mandiri.
 
Total pembiayaan untuk rawat jalan selama 2024 sebesar Rp 3.623.447.800.
 
Selain pasien rawat inap, ada 1991 ODGJ yang mendapatkan layanan rawat jalan selama 2024, dengan total pembiayaan sebesar Rp 621.380.700.
 
Sementara, Januari-Mei 2025, ada 47 ODGJ yang melakukan rawat inap dan 537 yang melakukan rawat jalan.
 
Biaya untuk pasien rawat inap sebesar Rp 186.391.800, sedangkan untuk biaya rawat jalan sebesar Rp 158.855.800, sehingga total Rp 345.247.600.
 
Prosedur Pengobatan

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Tulungagung, Fitriyah Kusumawati, mengatakan bahwa BPJS Kesehatan menjamin pengobatan pasien ODGJ atau Skizotrenia sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan sesuai dengan kebutuhan medis pasien.
 
Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, rawat inap khusus pasien ODGJ berat tidak termasuk dalam sarana prasarana kompetensi Puskesmas.
 
Lalu Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI 2012), Skizofrenia, Gangguan Waham Menetap, Psikosis Akut dan Skizoafektif termasuk dalam kompetensi 3A.
 
“Kompentensi 3A ini, lulusan dokter yang mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat,” jelas Fitri.
 
Gangguan jiwa berat dan gaduh gelisah pada umumnya merupakan kasus gawat darurat, sehingga perlu dilakukan rujukan spesialistik ke RS, khususnya ke psikiater atau dokter spesialis jiwa.
 
Ada sejumlah prosedur yang berlaku untuk penjaminan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), untuk layanan kejiwaan ini.
 
Rujukan pasien dilakukan secara daring melalui aplikasi Pcare/bridging, setelah mendapatkan asesmen dari dokter Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
 
Selanjutnya, pasien melakukan validasi biometrik untuk memastikan eligibilitas peserta sesuai data kepesertaan yang terdaftar di JKN.
 
Validasi biometrik bisa menggunakan sidik jari atau pengenalan wajah (face recognition), dilakukan di pelayanan rawat jalan maupun rawat inap di rumah sakit.
 
Menurut Fitri, ada pasien yang terkendala validasi biometrik, seperti kondisi disabilitas atau pasien yang mengamuk.
 
Untuk kondisi ini, validasi eligibilitas peserta dapat dengan surat keterangan dari Dokter penanggung jawab pasien.
 
“Dokter penanggung jawab bisa menyatakan, pasien sudah datang berkunjung ke rumah sakit dan karena alasan ada kendala tidak dapat melakukan validasi biometrik,” paparnya.
 
Jika kondisi klinis  pasien dinyatakan stabil dan memenuhi kriteria 3B-PRB (Benar Diagnosa Jiwa, Benar Kondisi Klinis Stabil dan Benar obat jiwa ada di apotek PRB), maka peserta dapat dilakukan Program Rujuk Balik (PRB) ke FKTP.
 
Selanjutnya, evaluasi perkembangan kondisi peserta dapat dilakukan oleh dokter umum di FKTP.
 
Sedangkan pengambilan kebutuhan obat kronis jiwa bulan berikutnya di apotek PRB.
 
“Pasien dapat dirujuk kembali ke FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan) apabila membutuhkan penanganan spesialistik, seperti kondisi klinis tidak stabil atau konsul psikiater,” tandas Fitri. 

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved