Ekonom dan Ulama Ingatkan Dampak Boikot Tanpa Data, Bisa Jadi Black Campaign

Ekonom Universitas Airlangga, Gigih Prihantono menjelaskan, aksi boikot yang tidak berbasis data akurat dapat berdampak serius pada ekonomi nasional

Penulis: Pipit Maulidiya | Editor: Musahadah
Canva.com
Ilustrasi aksi boikot 

SURYA.CO.ID - Aksi boikot terhadap merek global terus menggema di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Seruan ini muncul sebagai bentuk solidaritas atas agresi militer Israel ke Gaza.

Namun, di ruang digital, daftar produk yang dianggap terafiliasi dengan Israel sering beredar tanpa data yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Pakar ekonomi dan ulama mengingatkan pentingnya bersikap bijak.

Pakar ekonomi dan ulama pun mengingatkan pentingnya bersikap bijak dan cermat dalam menyikapi ajakan boikot agar semangat solidaritas tidak berubah menjadi aksi yang kontraproduktif.

Ekonom Universitas Airlangga, Gigih Prihantono menjelaskan, aksi boikot yang tidak berbasis data akurat dapat berdampak serius pada perekonomian nasional, mulai dari penurunan omzet pelaku usaha, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga memburuknya persepsi investasi.

Ia menyebut fenomena ini bisa dikategorikan sebagai kampanye hitam (black campaign) yang bukan hanya menyasar entitas usaha yang sesungguhnya tidak memiliki keterlibatan langsung dalam konflik PalestinaIsrael namun dampaknya tidak hanya terhadap perusahaan, tetapi juga ekonomi domestik.  

"Betul bisa berimbas kepada ketenagakerjaan karena yang rugi kita sendiri sebenarnya kalau black campaign ini terus meluas," ujarnya, melalui pesan rilis yang diterima SURYA.CO.ID, Kamis (17/7/2025). 

Salah satu rujukan kredibel yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat adalah laporan resmi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa - Bangsa (OHCHR) yang dirilis pada akhir Juni 2025.

Laporan bertajuk From Economy of Occupation to Economy of Genocide tersebut mengungkap peran sejumlah korporasi yang berkontribusi langsung dan signifikan dalam mendukung pelanggaran HAM berat di Palestina.

Menurut laporan tersebut, bentuk keterlibatan dunia usaha mencakup dukungan teknologi, logistik, pendanaan, dan investasi yang memperkuat sistem apartheid, pendudukan ilegal Israel, hingga genosida.

Namun menariknya, meski banyak perusahaan yang disebut, tidak semua sektor usaha masuk dalam daftar tersebut.

Beberapa merek di sektor makanan dan minuman yang selama ini kerap menjadi sasaran utama boikot di Indonesia seperti Starbucks, KFC, dan McDonald’s justru tidak disebutkan dalam laporan itu.

Fakta ini memperlihatkan adanya ketimpangan antara persepsi publik dan data objektif, yang kemudian melahirkan gerakan boikot yang rawan salah sasaran.

Kajian Ulama: Tidak Ada Dasar Syariat yang Kuat 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved