SURYA Kampus

Wakil Rektor UM Surabaya Radius Setiyawan Sandang Gelar Doktor, Angkat Disertasi Soal Ini

Temuan itulah yang diangkat Radius Setiyawan, Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya dalam disertasinya

Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Titis Jati Permata
Foto Istimewa Unair
SIDANG DOKRTORAL TERBUKA - Radius Setiyawan, S.Pd., MA., resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) pada Selasa (24/6/2025). Gelar tersebut diraih usai ia mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka promosi doktor yang digelar di Ruang Adi Sukadana, lantai 2 Gedung A FISIP Unair. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA – Buku pelajaran Sekolah Dasar (SD) ternyata masih menyimpan banyak bias, baik terhadap perempuan maupun lingkungan. 

Temuan itulah yang diangkat Radius Setiyawan, Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya dalam disertasinya hingga mengantarkannya meraih gelar Doktor Ilmu Sosial dari Universitas Airlangga (Unair), Selasa (24/6/2025). 

Disertasinya mengupas tuntas bagaimana narasi dalam buku teks Kurikulum Merdeka masih dipenuhi stereotip gender dan minim kesadaran ekologi.

Sidang terbuka itu dipimpin oleh Prof. Dr. Bagong Suyanto (ketua) dengan delapan anggota penguji.

Disertasi Radius yang berjudul “Ideologi Gender dan Ekologi dalam Buku Teks Kurikulum Merdeka: Kajian Ekofeminisme” membongkar bias patriarkal dan antroposentris yang masih ditemukan dalam buku-buku teks Sekolah Dasar (SD), khususnya yang digunakan di sekolah-sekolah penggerak.

“Dalam analisis saya, perempuan masih ditampilkan dalam posisi subordinatif dan peran pengasuhan, sedangkan laki-laki mendominasi ruang publik, termasuk dalam ilustrasi kegiatan upacara,” ungkap Radius.

Radius menggunakan pendekatan analisis wacana Sara Mills untuk menunjukkan bagaimana konstruksi ideologis dalam buku teks tidak hanya mereproduksi relasi antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga hubungan manusia dengan alam. 

Ia menilai banyak narasi dan ilustrasi dalam buku teks masih mengandalkan stereotip lama yang merugikan perempuan dan abai terhadap isu ekologi.

Ia juga mengkritik lemahnya proses seleksi dan kurasi penulis buku teks yang cenderung mengandalkan narasi dan ilustrasi generik tanpa sensitivitas terhadap isu gender dan lingkungan. 

“Beberapa konten hanya mengalami perubahan istilah, bukan pembaruan substansi. Ini menunjukkan adanya kekosongan refleksi kritis dalam produksi materi ajar,” tambah Radius.

Lebih jauh, Radius mengaitkan temuan-temuannya dengan keberlanjutan habitus pendidikan sejak era Orde Baru. 

Ia menyebut, buku teks SD masih berada dalam cengkeraman Ideological State Apparatus (ISA), yaitu situasi di mana institusi pendidikan digunakan untuk melanggengkan struktur kekuasaan simbolik yang bias gender dan ekologi.

Disertasinya dinilai memberikan kontribusi penting dalam pengembangan ilmu sosial, khususnya dalam kajian interdisipliner yang menggabungkan isu gender, ekologi, dan pendidikan. 

Radius juga menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar di Indonesia.

Pertama, ia menekankan pentingnya perhatian serius terhadap masih banyaknya narasi dalam buku teks SD yang mengandung bias gender dan tidak ramah lingkungan. Ia menyebut masa pendidikan dasar sebagai fase krusial dalam pembentukan karakter anak.

“Dalam fase ini, anak-anak belajar melalui pengamatan, pendengaran, bacaan, dan peniruan—termasuk dari buku-buku teks yang mereka gunakan di sekolah. Kalau buku yang dipakai anak-anak sejak dini saja masih menanamkan stereotip gender dan eksploitasi alam, maka kita sedang menanam benih ketimpangan sejak awal,” tegasnya.

Kedua, Radius tidak menyarankan penghapusan total buku-buku yang ada, namun mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap isi narasi, profil penulis, penerbit, serta lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi buku teks.

“Pemerintah bisa mengambil peran lebih aktif dalam proses kurasi dan pengawasan, agar nilai-nilai keadilan gender dan kelestarian lingkungan menjadi bagian integral dari materi pembelajaran,” jelasnya.

Ketiga, Radius menyampaikan bahwa meski penelitiannya tidak mencakup keseluruhan aspek Kurikulum Merdeka, analisis terhadap buku teks tetap penting karena buku merupakan salah satu instrumen utama dalam proses pembelajaran di hampir seluruh sekolah dasar di Indonesia.

Dengan paparan ilmiah dan argumentasi yang kuat, Radius berharap disertasinya mampu memicu diskusi lebih luas tentang pentingnya pendidikan dasar yang terbebas dari bias ideologis, sekaligus mendorong lahirnya generasi yang lebih kritis, adil, dan peduli terhadap lingkungan.

BACA BERITA SURYA.CO.ID LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved