Kuliner

20 Tahun Ibu Yati Berjualan Semanggi, Kuliner Khas Surabaya yang Melegenda

Yati (60) menjadi segelintir pedagang yang memilih tetap berjualan kuliner legendaris khas Kota Pahlawan, Semanggi,

Penulis: Nur Ika Anisa | Editor: Titis Jati Permata
Tribun Jatim/Nurika Anisa
SEMANGGI SUROBOYO - Sebungkus semanggi, kuliner khas Suroboyo. Panganan ini merupakan olahan daun semanggi yang direbus kemudian disandingkan dengan ubi jalar, kecambah dan bumbu kacang di atas pincuk daun. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Yati (60) menjadi segelintir pedagang yang memilih tetap berjualan kuliner legendaris khas Kota Pahlawan, Semanggi, di tengah gempuran jajanan siap saji.

Lebih dari 20 tahun dirinya berjualan Semanggi di sudut Kota Surabaya.

"Saya mulai (jualan) pas anak saya usia tiga tahun. Sekarang usianya sudah 25 (tahun). Berarti sudah 22 tahunan,” kata Yati ditemui di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, Senin (23/6/2025).

Dengan usia jualan lebih dari dua dekade itu, kedatangan para pelanggan setia tampak akrab memesan semanggi buatan Yati.

Tangannya cekatan membungkus rebusan daun semanggi, ubi jalar, kecambah di atas pincuk daun pisang.

SEMANGGI SUROBOYO - Yati tengah menyiapkan sebungkus semanggi, kuliner khas Suroboyo. Panganan ini merupakan olahan daun semanggi yang direbus kemudian disandingkan dengan ubi jalar, kecambah dan bumbu kacang di atas pincuk daun.
SEMANGGI SUROBOYO - Yati tengah menyiapkan sebungkus semanggi, kuliner khas Suroboyo. Panganan ini merupakan olahan daun semanggi yang direbus kemudian disandingkan dengan ubi jalar, kecambah dan bumbu kacang di atas pincuk daun. (Tribun Jatim/Nurika Anisa)

Ia juga menambahkan bumbu berbahan kacang. Sekilas nampak seperti bumbu pecel namun bahan yang dibuat sangat berbeda. Ada campuran rebusan ubi jalar dan kentang yang dihaluskan dan ditambah sedikit air.

Tambahan kerupuk puli menyempurnakan sajian panganan khas Suroboyo tersebut.

Selama sepekan, ibu empat anak ini membagi lokasi jualan. Saat sabtu dan minggu, ia menjajakan olahan semanggi tersebut ke area car free day Taman Bungkul.

“Kalau dulu saya keliling kampung, kampung ke kampung. Sembarang tak lakoni, punya toko, buruh pabrik, terakhir semanggi,” ujarnya.

Setiap senin, ia dan suami mengambil daun semanggi ke kampung semanggi daerah Benowo.

Lalu mengolahnya dengan cara dijemur sedikit layu, gunanya agar daun semanggi tidak terlalu keras dan berair. Kemudian merebusnya sesuai kebutuhan harian.

Pilihannya kepada kuliner semanggi atas dasar nasihat sang ibu. Perempuan yang saat ini telah memiliki 10 cucu tersebut merasa saran dari sang mertua tersebut adalah jalan keluar dari permasalahan ekonomi yang sebelumnya kerap dihadapi.

Berangkat dari Tandes turun ke Wonokromo, menggendong wakul keranjang menggunakan selendang lalu keliling kampung. Hingga akhirnya ia menemukan tempat berjualan.

“Dodolan semanggi ae, soro nak tapi anak bojomu renges. Mangan, sangu sekolah anak wes cukup. Nurut omongan e wong tuo. Kata ibu saya dulu begitu,” ujarnya.

Satu porsi semanggi dijual Rp10 ribu. Usaha semanggi disebut mencukupi kebutuhan keluarganya. Setiap hari ia menghasilkan Rp500 ribu dari berjualan semanggi. Sementara Sabtu dan Minggu, Yati mengaku mengantongi Rp1.5 juta.

Ia berharap usaha yang digeluti keluarganya ini dapat diteruskan oleh keluarganya.

“Sudah dari ibu saya, mertua kakak saya, kakak saya juga bergantian jualan. Paling nanti diteruskan menantu yang belum kerja, soalnya anak saya kerja,” tuturnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved