Berita Viral

3 Pihak yang Tak Setuju Siswa Nakal Dimasukkan ke Barak Militer, Dedi Mulyadi Beri Sindiran Menohok

Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi memasukkan siswa nakal ke barak militer menuai pro dan kontra. Siapa saja yang tak setuju?

Kompas.com/Faqih Rohman
SISWA NAKAL - Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi usai kegiatan Hari Pendidikan Nasional di Rindam III Siliwangi, Jalan Menado, Kota Bandung, Jumat (2/5/2025). Sejumlah pihak tak setuju kebijakan Dedi memasukkan siswa nakal ke barak militer. 

SURYA.co.id - Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi memasukkan siswa nakal ke barak militer menuai pro dan kontra.

Bagi yang kontra dengan kebijakan tersebut, mereka mengkritik habis-habisan Dedi Mulyadi.

Namun, tampaknya Dedi Mulyadi tak ambil pusing dengan hal itu.

Ia malah melayangkan sindiran menohok kepada pihak yang tak setuju dengan kebijakannya itu.

Berikut beberapa pihak yang tak setuju siswa nakal dimasukkan ke barak militer.

  1. Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana

Politikus PDI-P itu berpandangan bahwa tidak semua persoalan, termasuk persoalan terkait siswa-siswa bermasalah, serta merta bisa diselesaikan oleh tentara.

"Tidak semua problem harus diselesaikan oleh tentara, termasuk persoalan siswa bermasalah," ujar Bonnie dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/4/2025), melansir dari Kompas.com.

Baca juga: Mirip Gebrakan Dedi Mulyadi Kirim Siswa Nakal ke Militer, Cak Eri Sebut Surabaya Punya Program Ini

Bonnie menekankan bahwa rencana tersebut masih perlu melewati kajian yang matang.

Sebab, terdapat banyak cara untuk membangun atau memperkuat karakter siswa, tidak harus menggunakan cara-cara militeristik yang menurutnya hanya cara instan.

"Penguatan karakter bukan selalu berarti mendidik siswa bermasalah dengan cara militeristik.

Penanganan siswa bermasalah harus dipahami secara holistik dengan menelaah keluarga, lingkungan pergaulan, dan aktivitas di sekolah," kata Bonnie. 

"Cara instan menyelesaikan problem kenakalan remaja tidak akan bisa menyelesaikan masalah hingga ke dasarnya, yang seringkali berakar ke problem sosial," imbuh dia.

Menurut Bonnie, pendekatan psikologis lebih tepat untuk menangani siswa yang dianggap bermasalah, daripada mengirim mereka ke barak militer.

Dia pun mengingatkan bahwa setiap anak memiliki karakter dan latar belakang berbeda yang membuat perilakunya menjadi bermasalah.

“Karena penyebab mereka bermasalah juga tak sama. Bisa jadi karena inner child mereka, kekurangan perhatian, atau akibat lingkungan maupun hanya sekadar ikut-ikutan. Jadi tidak bisa disamaratakan seperti itu,” kata Bonnie.

“Harus ditemukan pola yang paling tepat untuk memperbaiki sikap mereka sesuai dengan kebutuhan anak-anak ini seperti apa.

Kalau seperti ini dengan gaya militeristik, kayaknya malah jadi ke mana-mana,” ujar dia.

Bonnie menambahkan, akan lebih baik jika penanganan siswa bermasalah dilakukan dengan memfasilitasi serta menyalurkan minat dan bakat mereka di bidang tertentu.

Baca juga: Sosok Anggota DPRD yang Dukung Dedi Mulyadi Kirim Siswa ke Barak, Malah Minta Mereka Dilatih Tinju

Dengan demikian, aktivitas siswa bisa lebih diarahkan ke hal-hal yang positif dan terhindar dari tindakan-tindakan yang mengarah ke kriminal.

“Penyediaan fasilitas olahraga dan kesenian juga seharusnya bisa dilakukan pemerintah agar siswa-siswa bermasalah bisa menyalurkan energi dan kreativitasnya,” ucap Bonnie.

2. Prof Cecep Darmawan

Prof Cecep Darmawan, pakar kebijakan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mengkritik kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akan mengirim siswa nakal mengikuti pendidikan militer.

Prof Cecep Darmawan bahkan menyarankan Dedi Mulyadi untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. 

Menurut Cecep, untuk mengatasi masalah siswa nakal tidak harus diserahkan ke institusi lain. 

Siswa nakal tetap harus ditangani oleh internal sekolah maupun keluarga karena persoalan setiap siswa berbeda-beda. 

"Anak nakal itu tidak bisa diseragamkan masalahnya, beda-beda, dan TNI bukan obat dari segala penyakit," ujar Cecep saat dihubungi, Selasa (29/4/2025).

Meski begitu, Cecep mengapresiasi upaya baik dari Dedi Mulyadi yang ikut turun tangan menyelesaikan permasalahan siswa nakal atau yang tidak bisa dibina. 

Sebaiknya, kata dia, pola pembinaan terhadap siswa nakal bukan dengan cara militeristik, tetapi dengan menerapkan pendidikan bela negara semisal mengadopsi Resimen Mahasiswa (Menwa). 

Pola pendidikan tersebut bahkan telah diamanatkan oleh pemerintah pusat melalui Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

"Di situ dijelaskan ada Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) namanya, mungkin maksudnya (Dedi Mulyadi) ke situ. Bukan pendidikan militer pada siswa tetapi seperti Menwa," kata Cecep. 

Cecep sangat setuju apabila Gubernur Jabar menerapkan pola PPBN untuk mendidik siswa nakal.

Cara tersebut bisa diikuti oleh seluruh murid, bukan hanya untuk siswa nakal saja.

Dia meyakini, pola PPBN akan lebih berdampak pada perubahan perilaku siswa dapat lebih disiplin. 

Namun untuk siswa nakal adanya kurikulum khusus dalam penerapannya.

Teknisnya bukan hanya unsur militer saja yang terlibat dalam pola PPBN tersebut, tetapi mencakup sejumlah pihak semisal agamawan, guru bimbingan dan konseling (BK),psikolog, OSIS dan lain sebagainya.

"Bukan untuk siswa nakal. Tetap seluruh siswa terprogram dibuat road mapnya desainnya sampai kapan, dan anak itu diinapakan dimana seperti boarding school, di kamp militer, luar ruangan, gunung dan lainnya," tuturnya. 

Cecep berharap, Gubernur Jabar bisa mempertimbangkan saran terkait pola PPBN di sekolah di Jabar.

"Mudah-mudahan maksudnya Pak Dedi itu (bela negara) saya setuju 1.000 persen. Kalau pendidikan semisal militer syaratnya tidak sembarangan karena itu untuk komponen cadangan," pungkasnya.

3. Psikolog Stephani Raihana Hamdan

Sementara Psikolog Stephani Raihana Hamdan menyebut, pendidikan militer bukan solusi tunggal untuk menangani remaja atau siswa SMA yang disebut bermasalah.

“Saya melihatnya penanganan itu tidak bisa cuman satu hal. Jadi kalau dikatakan ‘oh akan selesai kalau dikasih militer’, saya rasa hanya sebagian saja."

"Karena pasti ada faktor-faktor lain yang tidak terselesaikan ketika hanya dikasih pendidikan militer,” jelasnya.

Meski mengakui bahwa pendidikan militer bisa menjadi salah satu solusi, Stephani menegaskan bahwa pendekatan ini tidak bisa menjadi satu-satunya solusi dalam menangani remaja bermasalah. 

Terutama jika akar permasalahan yang dihadapi remaja tersebut berasal dari kondisi emosi yang tidak stabil atau trauma masa lalu.

“Sebagai contoh, kalau memang anaknya punya masalah emosi atau trauma, apakah cukup hanya dengan diberi pendidikan militer? Tampaknya tidak,” ujarnya.

Ia menjelaskan, pendidikan militer memang bisa bermanfaat untuk mengembangkan keterampilan sosial tertentu, seperti kedisiplinan dan kerja sama, terutama bagi anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan rumah yang terlalu bebas dan tanpa aturan.

Dalam konteks ini, pendidikan militer bisa memberi pengalaman baru yang tidak mereka dapatkan di rumah, misalnya, rutinitas yang terstruktur, tanggung jawab kolektif, dan kerja tim.

“Dalam kegiatan militer, anak tidak bisa berjalan sendiri. Mereka harus belajar bekerja sama, patuh pada aturan, dan itu bisa jadi pengalaman positif. Tapi kalau sumber masalahnya adalah trauma atau luka emosional yang dalam, pendidikan militer jelas tidak cukup.”

Psikolog anak tersebut menekankan bahwa penanganan terhadap anak-anak atau remaja bermasalah harus dilakukan secara menyeluruh.

Intervensi yang efektif harus menggali akar penyebab perilaku bermasalah dan menyesuaikan pendekatan sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.

“Artinya, kita tidak bisa hanya mengandalkan satu metode saja."

"Penanganannya harus komprehensif—melibatkan pendekatan psikologis, lingkungan keluarga, pendidikan, dan sosial secara bersamaan."

"Kita harus melihat dulu, kenapa seorang anak ini bermasalah, baru kemudian kita bisa menentukan cara terbaik untuk menanganinya.”

Dengan demikian, pendidikan militer bisa menjadi salah satu bagian dari proses pembinaan, tetapi tidak bisa berdiri sendiri sebagai solusi atas kompleksitas masalah yang dihadapi para remaja.

Lebih lanjut, Stephani menilai bahwa solusi pendidikan militer hanya menyentuh sebagian kecil dari kebutuhan perkembangan remaja.

“Kalau pendekatannya hanya disiplin militer untuk menghadapi siswa yang mengalami masalah perilaku, dampaknya mungkin hanya akan dirasakan sebagian saja."

"Ada banyak hal penting lainnya yang justru tidak mereka dapatkan,” jelas sang psikolog.

“Kadang-kala anak itu kan perlu belajar berpikir kritis, harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri gitu ya."

"Nah, apakah kemampuan berpikir rasional yang seperti itu tuh bisa terlatih di pendidikan militer?” lanjut Stephani.

Selain aspek kognitif, kebutuhan emosional anak juga menjadi sorotan.

Banyak siswa yang bermasalah sebenarnya membawa luka emosional atau trauma yang belum terselesaikan.

Dalam hal ini, keberadaan layanan konseling menjadi krusial—sesuatu yang diragukan keberadaannya dalam sistem pendidikan militer.

“Apakah ada konseling di dalam pendidikan militer?. Kalau tidak ada berarti kan itu unresolved problem juga. Jadi ada masalah yang tidak terselesaikan."

"Nah, kalau ada masalah-masalah yang tidak terselesaikan, saya khawatir ada satu nilai yang belum ada, bisa tetap kurang."

"Misalnya nilai-nilai spiritual, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai norma sosial yang mungkin bicaranya ke arah spiritual belum terlalu ditekankan misalnya gitu ya. Nah, berarti ada hal yang masih kurang, masih lag, masih masih belum didapat dalam pendidikan si anak,” jelasnya.

Lebih jauh, Stephanie juga menyoroti elemen penting lain seperti kasih sayang. Ia menegaskan bahwa kasih sayang, perhatian, dan kedekatan emosional dari keluarga sangat penting untuk menumbuhkan rasa berharga dalam diri anak. 

“Termasuk di dalamnya tadi ya mendapatkan kasih sayang. Itu bahwa dia merasa diperhatikan, merasa disayangi, merasa setiap hari ketemu sama orang-orang yang dia sayang gitu ya dalam hal dalam hal ini harusnya keluarga gitu ya."

"Nah itu misalnya hilang tuh karena kan harus keras, harus tegas misalnya di militer gitu ya."

"Enggak ada tuh ceritanya dipeluk gitu ya disayang gitu sama ibunya, dimasakin makanan yang dia sukai misalnya, enggak ada di pendidikan militer."

"Padahal seseorang itu perlu mendapatkan afeksi, mendapatkan kasih sayang yang yang cukup sehingga dia merasa dirinya tuh berharga,” kata Stepahani.

Bila dilihat jangka panjang atau jangka pendek, Stephanie menilai  pendidikan militer belum tentu akan menyelesaikan masalah.

“Jadi kalau ditanya apakah bisa menyelesaikan masalah perilakunya? Saya belum bisa bilang akan selesai hanya dengan militer begitu."

"Jadi Artinya masih perlu itu hal-hal lain di luar pendidikan militer yang diperlukan bagi anak yang punya masalah perilaku tadi. Itu ya salah satunya ya tadi."

"Ada terapinya terapi berpikir rasional."

"Ada intervensi di mana dia harus mendapatkan kasih sayang dari lingkungan gitu ya, mendapatkan afeksi yang yang cukup gitu ya, kasih sayang yang cukup atau misalnya dia juga harus belajar regulasi emosi."

"Bagaimana sih mengatur emosi yang tadi daripada dia lari ke ke ke botol minuman, dia lari ke alkohol, dia belajar untuk mengendalikan emosi dia yang sehat."

"Nah, itu kan saya yakin belum belum tentu ada. Itu yang seharusnya ada. Kalau tidak ada, berarti gangguannya akan tetap tetap tetap muncul gitu ya,” paparnya.

Tanggapan Dedi Mulyadi

Dedi Mulyadi melayangkan sindiran menohok kepada pihak yang tak setuju siswa nakal dimasukkan ke barak militer.

Sindiran tersebut ditujukan kepada pada elite.

Dedi mengatakan para elite hanya bisa mengomentari kebijakannya karena mereka tak mengurus secara langsung anak-anak yang gemar tawuran.

"Pertanyaannya, elite-elite ini ngurusin nggak anak-anak yang tawuran tiap hari? "

"Elite-elite ini ngurusin nggak anak-anak yang di kolong jembatan tidurnya tiap hari? Kan nggak ada yang ngurusin."

"Cuman komentar saja bisanya," ujar Dedi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025), melansir dari Kompas.com.

Dedi menjelaskan, kebijakannya menempatkan siswa nakal selama 6-12 bulan di barak militer harus mendapat persetujuan orangtua.

Menurutnya, di media sosial, rakyat Jabar mendukung kebijakannya itu.

Dia menyebut, mereka yang menolak hanyalah para elite-elite yang cuma bisa ngomong saja.

"Kenapa? Coba gini deh ukurannya. Kebijakan ini sangat disetujui oleh orangtua," ucapnya.

"Dicek di media sosial." 

"Siapa sih yang paling mendukung terhadap kebijakan saya? Rakyat Jawa Barat. Siapa yang menentang? Para elite," imbuhnya.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved