SURYA Kampus

Kisah Perjuangan Robith, Pemuda Mojokerto yang Lolos SNBP 2025 Kedokteran Unesa di Usia 16 Tahun

Kisah perjuangan Robith Najachil Umam dalam meraih cita-citanya memang sangat menginspirasi. Lolos SNBP 2025 Kedokteran Unesa di Usia 16 Tahun.

Dok Unesa
MAHASISWA KEDOKTERAN TERMUDA - Robith Najachil Umam, usia 16 tahun lolos SNBP 2025 masuk Prodi Kedokteran Unesa. 

SURYA.co.id - Kisah perjuangan Robith Najachil Umam dalam meraih cita-citanya memang sangat menginspirasi.

Robith berhasil masuk Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surabaya atau Unesa jalur SNBP 2025 (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi).

Menariknya, Ia menjadi mahasiswa baru termuda pada jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2025.  

Remaja kelahiran Mojokerto, tahun 2009 ini diterima di Prodi S1 Kedokteran, FK Unesa pada usia 16 tahun 1 bulan.

Hal ini bisa terwujud berkat prestasi akademik, kedisiplinan, serta nilai-nilai keagamaan yang ia jalankan sejak di pondok pesantren.

Pemuda yang akrab disapa Robith itu dikenal sebagai siswa berprestasi di berbagai ajang akademik.

Ia berhasil meraih semifinalis Olimpiade Kedokteran di Unusa, semifinalis Olimpiade Biologi di PGRI Adi Buana, serta dua medali emas dari Pusat Kejuaraan Sains Nasional (Puskanas).

“Saya sangat bersyukur bisa mencapai semua ini. Prestasi yang saya raih bukan hanya karena usaha pribadi, tetapi juga karena doa orang tua, guru, serta para kyai yang selalu membimbing saya,” ujarnya, dilansir dari laman Unesa.  

Menjadi mahasiswa kedokteran di usia muda bukan hal yang mudah.

Keberhasilan Robith tak lepas dari keputusannya untuk mengikuti program akselerasi sejak SMP dan SMA. 

Dengan sistem ini, ia mampu menyelesaikan pendidikan menengahnya hanya dalam waktu empat tahun, lebih cepat dibandingkan siswa pada umumnya.

“Saya menjalani akselerasi dengan ritme belajar yang padat. Jika biasanya satu semester ditempuh enam bulan, saya harus menyelesaikan dalam tiga bulan saja. Itu tantangan besar, tetapi juga pengalaman yang sangat berharga,” ungkapnya.

Menurutnya, ketaatan kepada kyai (KH. Asep Saifudin) dan kebiasaan mengamalkan ibadah rutin di pesantren menjadi bagian penting dari perjalanannya.

Ia terbiasa melakukan salat tasbih seminggu sekali, membaca Yasin empat kali, serta mengikuti istighosah apel pagi setiap hari.

“Saya selalu diajarkan bahwa keberkahan ilmu datang dari adab kepada guru. Selain itu, saya dan teman-teman di pondok dibimbing untuk salat malam secara rutin,” ceritanya.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved