Hikmah Ramadan
BERSYUKUR YANG SESUNGGUHNYA
syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah SWT yang disertai dengan ketundukan kepadanya
KATA syukur secara bahasa berasal dari kata 'Syakara' yang berarti membuka, sebagai lawan dari 'Kafara' (kufur) yang berarti menutup.
Sedangkan menurut istilah syara’, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah SWT yang disertai dengan ketundukan kepadanya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Imam al-Qusyairi mengatakan, ”Hakikat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah SWT yang dibuktikan dengan ketundukan kepada-Nya. Jadi syukur itu adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah sebagai pemberi nikmat."
"Karena itu, dapat dikatakan bahwa syukur yang sebenarnya adalah mengungkapkan pujian kepada Allah SWT dengan lisan, mengakui dengan hati akan nikmat Allah SWT, dan mempergunakan nikmat itu sesuai dengan kehendak Allah SWT.”
Dalam kehidupan sosial, banyak orang secara ekonomi sangat cukup bahkan di atas rata-rata pada umumnya, namun hidupnya belum sampai pada kehidupan yang tenteram dan bahagia.
Hidupnya penuh dengan keluhan, penderitaan, kegalauan, bahkan kadang ada yang sampai bunuh diri.
Ada pula orang yang secara ekonomi lemah bahkan berada di garis kemiskinan, tetapi hidupnya bahagia, tenang, dan penuh kedamaian.
Ada pula hidupnya sudah berada di garis kemiskinnan, kesehariannya juga masih jauh dari ketenangan. Seseorang yang secara fisik tak berdaya dapat berbahagia manakala tetap mau bersyukur kepadaNya.
Dari sini dapat dipahami bahwa kondisi batin tidak bisa ditentukan oleh situasi ekonomi. Maka kalau kalau diteliti lebih intensif, ternyata bersyukur dapat menentukan kehidupan seseorang.
Baik menyangkut ketenengan hidup bahkan yang kaitannya dengan meningkat dan melemahnya ekonomi.
Allah SWT telah berfirman:
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha mengetahui (QS. An-nisa’: 147)
Secara sederhana, ayat di atas dapat dipahami bahwa siksaan Allah tidak diberikan kepada hamba yang bersyukur kepada-Nya. Tentu syukur yang dilandasi keimanan.
Di saat seseorang mau mensyukuri nikmat, di situlah akan tampak syukurnya pula. Artinya, Allah SWT senantiasa memberikan balasan atas syukurnya seorang hamba.
Di dalam tafsir Al-Thabari, esensi dari ayat di atas adalah bahwa Allah tidak memberikan adzab kepada orang munafik selama mau bertaubat kepadanya, kembali pada kebenaran yang sesuai apa yang diperintahkan kepadanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.