Hikmah Ramadan
BERSYUKUR YANG SESUNGGUHNYA
syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah SWT yang disertai dengan ketundukan kepadanya
Maka kemudian seseorang mau bersyukur kepadanya atas karunia nikmat yang diterimanya, atas dirinya, keluarganya, dan anak-anaknya.
Menurut para Ulama’, bersyukur kepada Allah itu ada tiga cara, yaitu
1. Bersyukur dengan hati, ialah dengan cara membentuk keyakinan dan keinginan dalam diri untuk menjalani kebajikan-kebajikan yang telah diperintahkan dan tidak gampang memperlihatkan bentuk nikmat yang telah Allah berikan kepadanya terhadap setiap orang.
2. Bersyukur dengan lisan, yaitu dengan memperbanyak puji syukur kepada Allah sambil membaca Alhamdulillah.
3. Bersyukur dalam sikap perilaku (Perbuatan), dalam bentuk sikap tingkah laku dan perbuatan adalah dengan menjadikan nikmat-nikmat yang telah Allah SWT berikan padanya sebagai sarana amal ibadah serta menjaga diri sedapat mungkin dari maksiat.
Menurut Imam Al-Ghazali, yang menjadi sebab seseorang tidak mau bersyukur kepada Allah SWT adalah kebodohan dan kelalaian seseorang terhadap nikmat yang diterimanya.
Oleh karenanya, seseorang tidak boleh bodoh dan lalai untuk mengetahui tentang nikmatnya. Dan, ketika seseorang itu faham dari mana datangnya nikmat, maka lisannya akan berucap Alhamdulillah.
Yang juga perlu disertai dengan mentasarufkan segala nikmat di jalan Allah SWT. Dalam Surat Ibrahim, Allah SWT berirman:
(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kalian mau bersyukur kepadaku maka niscaya aku tambah nikmatmu, tetapi apabila kalian kufur atas nikmatku maka adzabku sangat pedih. (QS. Ibrahim, ayat 7).
Dengan demikian, bersyukur merupakan amalan sederhana yang dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan yang sempurna. Tentu bersyukur yang dimaksud adalah bersyukur secara hakiki dan tidak kufur atas nikmat Allah SWT.
Dalam kitab Ihyaa ‘Uluum ad-Diin dijelaskan bahwa seseorang tidak dikatakan bersyukur selagi belum mampu menjadikan nikmat yang telah ia terima sebagai sarana untuk mahabbah (mencintai Allah SWT), dan bukan untuk kesenangan-kesenangan yang bersifat pribadi.
Bila ia menjadikan nikmatnya justru sebagai sarana terhadap hal-hal yang Allah SWT murkai, maka sesungguhnya ia benar-benar telah mengkufuri nikmat-Nya sebagaimana ia menganggurkan nikmat tersebut.
Karena artinya ia telah menyia-menyiakan kesempatan yang telah Allah SWT berikan padanya untuk menggapai kehidupan bahagia. Wakil Sekretaris MUI Jatim, Dr H Fauzi Palestine, M Ag.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.