Berita Viral

Hakim Guru Supriyani Tak Akan Punya Beban Kalau Vonis Ini, Praktisi: Sesuai Keadilan di Masyarakat

Hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang menyidangkan kasus guru Supriyani tidak akan punya beban kalau putusannya merujuk pada nota pembelaan terdakwa.

Editor: Musahadah
kolase nusantara tv/tribun sultra
Hakim kasus guru Supriyani disebut akan tak punya beban jika memvonis sesuai nota pembelaan terdakwa. 

SURYA.CO.ID - Hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang menyidangkan kasus guru Supriyani tidak akan punya beban kalau putusannya merujuk pada nota pembelaan terdakwa.

Hal ini disampaikan praktisi hukum yang juga mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi

Edwin beralasan jika hakim merujuk putusannya pada nota pembelaan kuasa hukum guru Supriyani, akan dipandang mengakomodir keadilan di masyarakat. 

Seperti diketahui, dalam nota pembelaannya, kuasa hukum menyebut guru Supriyani tidak bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan, menganiaya siswanya yang juga anak polisi Aipda WH. 

Kuasa hukum meminta guru Supriyani dibebaskan dari segala dakwaan. 

Baca juga: Telanjur Camat Baito Dinonaktifkan Imbas Guru Supriyani, Kasus Pecah Kaca Mobdin Masih Menggantung

Menurut Edwin Partogi, jika nantinya hakim merujuk putusannya pada pembelaan kuasa hukum, maka itu lebih tidak punya beban.  

"Kalau memang hakim meyakini pada fakta-fakta persidangan, bahwa fakta ini tidak bisa dibuktikan itu perbuatan Supriyani, ini lebih tidak punya beban," kata Edwin dikutip dari tayangan Nusantara TV pada Jumat (22/11/2024). 

Menurut Edwin, di persidangan ini hakim menjadi polisi lalu lintas yang mengatur pihak yang bersengketa itu untuk mencari kebenarannya. 

Hakim pada posisi juri atau wasit yang menentukan dari  pihak-pihak ini yang diyakini kebenaran materialnya karena sudah dihadirkan saksi, alat bukti lain ahli, surat, dan lain-lain. 

Hal itubisa jadi dasar hakim untuk meyakini pihak mana yang benar, apakah pihak penuntut atau pembela.

Menurut Edwin, saat ini hakim sudah memiliki keyakinan akan putusannya. 

Terkait dampak dari putusan nantinya, hakim tinggal mempertimbangkan, apakah arah pembahasan dalam ruang persidangan mengarah pada kebenaran pada tuntutan jaksa, serta apakah fakta-fakta itu yang mengarah pada permintaan bebas pada nota pembelaan pada pengacara. 

"Mungkin hakim tidak punya beban kalau itu merujuk keseuaian dengan nota pembelaan terdakwa.
Itu lebih tidak punya beban, merasakan keadilan masayrakat," tegasnya. 

Lalu, akankah hakim memutus sesuai versinya sendiri? 

Menurut Edwin hal itu bisa saja karena merujuk pada jenis-jenis  putusan pengadailan ada pemidanaan, lepas, bebas, dan hakim bisa menolak dakwaan. 

"Hakim menolak dakwaan karena tidak mempunyai syarat materiil dan formil," tukasnya. 

Prediksi Reza Indragiri

Supriyani dan Reza Indragiri. Ahli Psikologi Forensik yang Ungkap Prediksi Vonis Guru Supriyani.
Supriyani dan Reza Indragiri. Ahli Psikologi Forensik yang Ungkap Prediksi Vonis Guru Supriyani. (kolase Tribun Sultra dan Tribunnews)

Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel memberikan prediksi vonis hakim sidang kasus guru Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Menurut Reza Indragiri, kemungkinan hakim akan memberikan putusan fifty-fifty, artinya bisa sesuai tuntutan jaksa yang menuntut onslag atau lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatan guru Supriyani terbukti, namun bukan tindak pidana. 

Atau bisa juga hakim memutus sesuai dengan pembelaan kuasa hukum guru Supriyani, yakni perbuatan pidana tidak terbukti sehingga harus diputus bebas. 

"Atau jangan-jangan, hakim menempuh terobosan judicial activism. Maka keputusan hakim berbeda," kata Reza Indragiri dikutip dari tayangan Nusantara TV pada Kamis (14/11/2024). 

Judicial activism adalah pilihan keputusan yang dibuat oleh hakim dalam mewujudkan keadilan.

Baca juga: Motif Terselubung di Balik Desakan Damai Guru Supriyani dan Aipda WH Dibongkar, Demi Hapus Kesalahan

Diakui Reza, judicial activism adalah pendekatan yang masih kontroversial di Indonesia.

"Di Indonersia, apakah hakim hanya sebatas menerapkan hukum, atau punya ruang untuk menciptakan hukum. Ini masih menjadi perdebatan," kata Reza. 

Menurut Reza, tafsiran mengenai judicial activism ini sangat banyak. 

Namun menurutnya yang penting adalah bagaimana hakim mempertimbangkan tentang dampak yang mungkin muncul di masyarakat akaibat putusan.

Bisa saja hakim memilih tutup buku atas peraturan perundang-undangan, sehingga kemungkinan adanya hukuman penjara, maupun hukuman denda dinihilkan.

Sebagai gantinya, hakim akan menjatuhkan sanksi sosial ke terdakwa, sekiranya divonis bersalah. 

"Ketika hakim menerapkan Judicial Activism, pasti beberapa waktu ke depan, selalu muncul polemik," katanya. 

Reza pun menyemangati hakim jika agar tidak sepatutnya tunduk semata-mata pada produk legislatif dan eksekutif. 

Sebagai bentuk kedaulatan lembaga yudikatif, menurut Reza, hakim tidak terbelenggu atau terkerangkeng oleh peraturan undang-undang produk legislatif dan eksekutif.

"Hakim harus sungguh-sungguh menghirup udara ekspektasi keadilan dan kemanusiaan yang hidup di luar ruang persidangan. Ekspektasi itu tempo-tempo tidak terwakili oleh peraturan perundang-undangan. Karena itu hakim punya ruang untuk membaca nilai nilai keadilan di masyarakat," katanya. 

Reza juga menyemangati hakim sidang kasus ini yang ingin bercita-cita menjadi hakim agung karena salah satu yang harus ditunjukkan saat seleksi adalah portofolio, putusan emas, putusan cerdas yang bernilai istimewa. 

"Sekiranya dalam perkara ini hakim melakukan judicial activism, sehingga naskah putusan tercantum terobosan-terobosan hukum termasuk improvisasi hukuman, maka putusan akan mempunyai nilai tambah ketika akan maju dalam seleksi hakim agung," ujar Reza.

Terlepas dari itu, Reza berharap apapun putusan hakim nantinya, paling tidak bisa merealisasikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan. 

Menurutnya, tantangan terbesar hakim di kasus ini adalah memastikan keputusan itu bermanfaat, tidak memunculkan kegelisahan dan ketegangan-ketegangan antar pihak. 

Dan, lebih baik lagi, hakim menghasilkan keputusan yang memenuhi keadilan. 

"Secara realistis, kalau hakim sudah dapat mencapai kepastian dan kemanfaatan hukum, sudah sepatutnya mendapat apresiasi," tukasnya.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menyebut guru Supriyani terbukti melakukan perbuatan seperti yang didakwakan. 

Hanya saja, tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat atau mensrea. 

"Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan penuntut umum, maka walaupun perbuatan pidana dapat dibuktikan, akan tetapi tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat mensrea," kata jaksa dalam sidang yang digelar pada Senin (11/11/2024) siang.

"Oleh karena itu terdakwa Supriyani tidak dapat dikenakan pidana kepadanya. Oleh karena unsur pertanggung jawaban pidana tidak terbukti."

"Maka dakwaan kedua dalam surat dakwaan penuntut umum tidak perlu dibuktikan," tambah jaksa membacakan tuntutan.

Jaksa menyimpulkan perbuatan terdakwa memukul bukan tidak pidana.

 "Perbuatan terdakwa Supriyani memukul anak korban, namun bukan tindak pidana," ungkap jaksa.

 JPU menilai luka pada korban tidak pada organ vital dan tidak mengganggu korban.

Lalu, perbuatan Supriyani terhadap korban dinilai bersifat mendidik dan dilakukan secara spontan.

"Adapun perbuatan Supriyani yang tidak mengakui perbuatannya, menurut pandangan kami karena ketakutan atas hukuman dan hilangnya kesempatan menjadi guru tetap," ungkap JPU.

Tak hanya itu, selama tujuh kali menjalani persidangan, Supriyani juga dinilai sopan dan kooperatif.

Jaksa juga mengemukakan tidak ada hal -hal yang memberatkan terdakwa Supriyani.

"Hal memberatkan tidak ada, terdakwa bersikap sopan selama persidangan," kata Jaksa.

Karena itu, jaksa menuntut supaya majelis hakim Andoolo memutuskan terdakwa bebas.

"Supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo memutuskan, satu menyatakan menutut Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum," kata JPU.

Kepala Kejari Konawe Selatan, Ujang Sutisna yang juga JPU menjelaskan, Supriyani terbukti tidak melanggar pasal 60 ayat 1 juncto pasal 76 undang-undang kepolisian nomor 35.

Jaksa juga meminta agar barang bukti dan alat bukti yang ada di dalam persidangan untuk dikembalikan ke saksi.

"Menetapkan barang bukti berupa 1 pasang baju seragam SD dan baju lengan pendek batik dan celana panjang warna merah dikembalikan kepada saksi Nur Fitryana," ungkapnya.

"Kedua, sapu ijuk warna hijau dikembalikan ke saksi Sanaa Ali," ujar JPU.

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved