Opini
Pahlawan adalah Teladan, Bukan Validasi
Siapa sebenarnya sosok pahlawan, dan siapa warga negara yang layak mendapat gelar tersebut? Berikut ulasannya!
Oleh:
Dr Muhammad Fadeli, S.Sos, M.Si
Dosen Komunikasi Fisip Ubhara Surabaya
Setiap tanggal 10 November selalu diperingati Hari Pahlawan dalam bentuk upacara bendera, karnaval, maupun berbagai lomba.
Disebut Hari Pahlawan karena jasa-jasa, perjuangan, dan pengorbanan para pahlawan dalam melawan penjajah hingga mencapai kemerdekaan, diperingati hingga saat ini.
Lalu, siapa sebenarnya sosok pahlawan itu?
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 1964 tentang Penetapan Pahlawan Nasional, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional memiliki kriteria umum bagi mereka yang dianggap memenuhi syarat, seperti berjuang mempertahankan kemerdekaan, menunjukkan kepemimpinan, serta memberikan dampak signifikan bagi negara.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan juga mengatur bahwa Presiden Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada warga negara yang berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara.
Dalam undang-undang ini dijelaskan pula bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Lalu, siapakah warga negara yang layak mendapat gelar tersebut?
Setiap peringatan Hari Pahlawan tidak lepas dari sikap heroik arek-arek Surabaya, sehingga kota ini dijuluki sebagai Kota Pahlawan.
Perjuangan arek-arek Surabaya dalam bertempur melawan Inggris pada masa itu menjadi saksi sejarah yang kini selalu diperingati melalui aksi teatrikal dan drama kolosal.
Dalam konteks era saat ini, siapakah sebenarnya sosok pahlawan bagi arek-arek Surabaya?
Agar kita tidak terjebak dalam romantisme masa lalu, keberanian arek-arek Surabaya diperlukan untuk menjawab tantangan masa depan.
Di tengah hiruk pikuk kota besar kedua setelah Jakarta, Surabaya membutuhkan sosok-sosok pahlawan masa kini.
Penghormatan kepada pahlawan yang telah gugur di medan perang merupakan kewajiban, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.
Namun, saat ini kita sangat memerlukan jiwa-jiwa kepahlawanan yang memiliki sikap berani, berkorban, berpegang teguh pada prinsip, serta mampu menginspirasi dalam mengisi kemerdekaan.
Makna pahlawan di era sekarang tidak hanya sekadar sosok pejuang fisik, tetapi menjadi figur yang lebih luas dan beragam.
Pahlawan tidak terbatas pada mereka yang berada di garis depan, melainkan juga mereka yang, dengan cara-cara sederhana dan tanpa pamrih, memberikan perubahan positif di tengah kondisi yang kompleks, seperti ketidakpedulian, kerusakan lingkungan, konflik sosial, bencana, dan tantangan ekonomi.
Di era teknologi informasi dengan perkembangan media sosial yang begitu masif, sangat mudah bagi seseorang untuk menjadi viral.
Aksi dalam bidang tertentu yang diliput oleh media massa dapat menjadi konten di media sosial, sehingga kemudian masyarakat menyebutnya pahlawan.
Padahal, di tengah masyarakat banyak pahlawan sejati yang gigih berjuang dan berani mengambil jalan sunyi alias tanpa pamrih.
Siapa mereka?
Mereka adalah sosok yang bekerja dalam kesunyian dan ketulusan, memberikan kontribusi besar tanpa sorotan kamera, tanpa konten media, atau pengakuan yang mencolok.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang, tidak merasa istimewa, dan hanya melakukan apa yang mereka anggap benar dan penting bagi kehidupan banyak orang.
Dalam perspektif masa kini, pahlawan di era modern adalah mereka yang berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa memedulikan status atau pamrih.
Mereka secara konsisten memperjuangkan prinsip-prinsip, berani menghadapi risiko demi kebenaran dan keadilan.
Masyarakat merindukan pemimpin yang inspiratif, bukan sekadar menjadi contoh, tetapi menjadi teladan bagi komunitas atau masyarakat yang dipimpinnya menuju perubahan yang lebih baik.
Masyarakat juga merindukan sosok pahlawan yang mampu menjadi inovator teknologi, menciptakan inovasi yang solutif terhadap masalah-masalah lingkungan, ketahanan pangan, dan kesehatan untuk kesejahteraan masyarakat.
Jadi, sosok pahlawan di era sekarang adalah siapa saja yang berani berbuat baik dan peduli pada sesama serta lingkungan di tengah keadaan yang sulit.
Mereka mungkin bukan tokoh besar, tapi dari keberanian dan kepedulian mereka, perubahan nyata bisa dirasakan di sekitar kita.
Ungkapan "sepi ing pamrih, rame ing gawe" dari falsafah Jawa memiliki makna mendalam yang dapat kita pelajari, terutama dalam konteks kepahlawanan di era kini.
Secara harfiah, ungkapan ini berarti "tidak mencari pamrih, namun giat bekerja."
Falsafah ini menekankan ketulusan dan dedikasi tanpa mengharapkan penghargaan atau pengakuan, sehingga sangat relevan sebagai sikap dalam menghadapi berbagai tantangan di era modern.
Kita membutuhkan sosok yang memiliki ketulusan dalam kepedulian sosial, yang membantu tanpa harapan akan penghargaan, pengakuan, atau balasan.
Di tengah masyarakat yang cenderung menilai seseorang dari jumlah "suka" atau "pengikut" di media sosial, sikap ini menjadi semakin bernilai.
"Rame ing gawe" mendorong kita konsisten bertindak dan tetap giat berbuat baik meski tanpa sorotan kamera.
Dewasa ini banyak tantangan seperti krisis lingkungan, konflik sosial, dan persoalan ekonomi yang membutuhkan upaya konsisten dari semua orang.
Pahlawan modern adalah mereka yang secara konsisten bekerja, memberikan solusi nyata, dan membangun perbaikan jangka panjang, bukan hanya dalam momen-momen tertentu yang menarik perhatian publik.
Menjaga Keikhlasan di Tengah Godaan Pengakuan Publik bukan perkara “enteng”.
Karena media sosial dan teknologi digital memberikan peluang kita tergoda untuk membuktikan kepahlawanan atau kebaikan diri pada orang lain.
Filosofi "sepi ing pamrih" menekankan pentingnya menjaga keikhlasan meskipun mungkin tak ada yang melihat atau memuji.
Ini adalah cara untuk memastikan bahwa kebaikan yang dilakukan tidak semata untuk penampilan, tetapi untuk manfaat yang dirasakan oleh banyak orang.
Dengan demikian, filosofi "sepi ing pamrih, rame ing gawe" adalah pengingat untuk menanamkan ketulusan dalam setiap tindakan kita, terutama di era modern yang serba transparan dan terbuka.
Mencari sosok pahlawan sejati di masa kini adalah mereka yang berani menempuh dijalan sunyi, bekerja keras di balik layar, yang dampaknya mungkin tidak selalu langsung terlihat, tetapi terus membangun kebaikan bagi orang lain dengan ikhlas dan sepenuh hati, tanpa mengharapkan gelar atau penghargaan lainnya.
Memang, media sosial saat ini memengaruhi cara kita mengekspresikan diri, termasuk dalam hal membantu dan berbuat baik.
Kadang kita merasa perlu mendokumentasikan kegiatan termasuk ketika berbuat baik atau membantu sesama, karena dorongan budaya media sosial yang serba instan dan visual serta kebutuhan-kebutuhan tertentu.
Di satu sisi, hal ini bisa menjadi sarana untuk menyebarkan pesan positif.
Namun, di sisi lain, terlalu fokus pada pengakuan atau validasi dari orang lain melalui media sosial dapat mengurangi ketulusan dalam perbuatan.
Dokumentasi di media sosial apakah suatu keharusan atau pilihan, bertujuan untuk menginspirasi atau pamer. Tantangannya adalah bagaimana kita menjaga keseimbangan tersebut.
Pajak, Protes, dan Kepercayaan Publik : Jalan Tengah untuk Indonesia |
![]() |
---|
Reformasi Koperasi atau Hidup Segan Mati Tak Mau : Saatnya Indonesia Bangun Raksasa Ekonomi Rakyat |
![]() |
---|
Polisi dan Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Potensi Kenaikan BBM di Tengah Krisis Global: Jangan Biarkan Rakyat Menanggung Sendiri Bebannya |
![]() |
---|
Tembus Sekat Komunikasi Publik Lewat Penguasaan Bahasa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.