SURYA Kampus

Sosok Dika Penerima Beasiswa di Hong Kong Rela Balik ke Purbalingga demi Mengabdi di Kampung Halaman

Alih-alih melamar kerja di perusahaan besar, Hardika memilih pulang ke kampung halaman di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ini sosoknya

Penulis: Arum Puspita | Editor: Musahadah
Media Keuangan Kemenkeu
Hardika Dwi, alumni LPDP kembali ke Indonesia demi bangun kampung halaman 

SURYA.CO.ID - Alih-alih melamar kerja di perusahaan besar, Hardika Dwi Hermawan memilih pulang ke kampung halaman di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Bukan tanpa alasan, ia rela kembali karena ingin mengabdi sebagai guru di Desa Cipaku, Purbalingga. 

Kisah Dika bermula ketika dirinya baru lulus sarjana di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Ia sempat mendapat tawaran beasiswa S2 di Italia. 

"Enggak lah saya mau coba LPDP dulu lah. Kenapa LPDP? Karena rasanya ada ikatan gitu dan itu dari Indonesia."

"Rasanya besok saya harus kembali ke Indonesia waktu itu," terang Dika dikutip SURYA.CO.ID dari laman Media Keuangan LPDP, Kamis (24/10/2024).

Dika lantas mendaftar LPDP melalui jalur prestasi.

Di samping itu, rupanya ia juga diterima di delapan kampus luar negeri.

Sayangnya, tak ada satu pun kampus yang memiliki jurusan sesuai minatnya, yakni augmented reality (AR) dan virtual reality (VR).

Hingga akhirnya ia mendapat info bahwa Hong Kong University memiliki laboratorium untuk mengembangkan VR. 

"Kemudian kok ada satu nama Hong Kong University di peringkat 5 atau 6 di bidang pendidikan." 

"Waktu itu terus saya masuk ke portalnya, terus cari informasinya. Wah ada laboratoriumnya terus juga ke arah sana gitu (AR dan VR), kenapa enggak saya coba kampus ini gitu? Nah akhirnya saya coba," katanya.

Perjuangan Dika di Hong Kong

Dika sempat mendapat kesulitan saat pertama menginjakkan kakinya di Hong Kong.

Negara tersebut tak mempunyai banyak alumni LPDP yang bisa Dika tanyai seputar kehidupan kampus di sana.

Dengan bermodalkan kos berukuran 2x1 meter, Dika harus bertahan hidup sendirian. Uang saku yang ia peroleh saat itu pun jauh dari kata cukup untuk kebuuhan sehari-hari.

Bahkan, untuk melakukan shalat Dika harus duduk karena ruang kamar yang sangat sempit.

Meski demikian, Dika tetap bertahan karena hanya kamar itulah yang sesuai dengan kantongnya.

Tiap kali sang ibu menelpon lewat panggilan video, Dika tak mengangkatnya karena ia khawatir sang ibu sedih melihat suasana ruang kamarnya.

Akhirnya, sang ibu meminta bantuan tetangganya yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di sana.

Betapa terkejutnya sang ibu saat dikabari soal kondisi Dika. Akhirnya tetangga tersebut membantu Dika mencarikan kamar yang jauh lebih layak.

Untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, Dika bekerja sampingan sebagai mentor untuk program Academy For The Talented Around The World.

Tantangan baru muncul setelah ia bekerja karena menjadi sulit mengatur waktu.

"Tempat tinggal yang ketiga itu naik semacam MRT aja enggak bisa sampai lokasi itu."

"Jadi dari stasiun yang jumlahnya ada 25 itu, sekitar satu setengah jam lah, beda pulau jadi di new territory dan itu yang bikin melelahkan itu bulan puasa."

"Jadi saya harus berangkat setengah enam ke kampus, jam tujuh harus mulai training kemudian sampai sekitar setengah tujuh malam," kata Dika.

Dinobatkan sebagai Alumni Terbaik

Di tengah lika-liku berkuliah di sana sendirian, Dika sempat ingin menyerah. Suatu hari ia merenung di dekat pelabuhan di sana dan menangisi beratnya kehidupan di sana.

Bahkan Dika tak ikut kuliah pada hari itu. Ia memilih datang ke masjid untuk menenangkan diri.

"Akhirnya mengingat bagaimana harapan dari keluarga atau mungkin tanggung jawab yang sudah diberikan ke saya dari LPDP juga atau masyarakat juga, akhirnya ya sudah pergi ke masjid dan di situ saya nangis " terangnya.

Perjuangan Dika pun tak sia-sia. Perjalanannya untuk bertahan di Hong Kong membuat dirinya menjadi alumni LPDP yang inspiratif. Ia meraih penghargaan alumni LPDP terbaik di bidang pendidikan.

Meski struggle dan memiliki waktu padat, Dika saat itu masih sempat menulis banyak paper dan meraih juara di perlombaan. Hal tersebut menjadi nilai plus bagi LPDP yang mengganjarnya penghargaan.

Lulus Jadi Dosen dan Bangun Desa Kelahiran

Sepulangnya dari S2, Dika melamar sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Ia juga membangun sebuah organisasi nirlaba untuk desanya bernama Desamind.

"Kita ingin mendorong lahirnya local hero bagi pengembangan desa yang mereka itu punya world class competence, tetapi punya strong grass root understanding."

"Jadi saya pengen banyak melihat anak-anak desa ini, sekolah tinggi keluar sana, tapi mereka punya pemahaman lokal yang bagus dan mereka nanti mau mengembangkan desa," terang Dika.

Langkah tersebut Dika lakukan karena melihat bahwa di daerahnya banyak orang sukses tapi lupa dengan kampung halamannya.

Banyak warga di sana yang menempuh pendidikan tinggi tetapi lebih memilih merantau ke luar kota.

"Ya itu pada kuliah sekolah. Habis itu mereka pergi merantau enggak pulang ke desa, apa kita enggak kasih kesempatan mereka aja untuk pulang ke sini."

"Mau membuat program apa kaya gitu kan desa bisa lebih berkembang gitu," ungkapnya.

Desamind merupakan organisasi nonprofit yang ditunjukkan untuk anak muda Indonesia yang berada di dalam ataupun luar negeri.

Banyak proyek riil yang telah dilakukan Desamind, antara lain memberikan beasiswa kepada anak muda dari desa untuk bisa menempuh pendidikan tinggi.

"Alhamdulillah sudah setengah dekade Desamind itu ada dan kita sudah melibatkan sekitar 28.000 masyarakat untuk berpartisipasi, dengan lebih dari 280 project sosial dengan kemitraan hingga 200 lembaga dari mulai lokal hingga internasional," jelas Dika.

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved