Berita Surabaya

Sebagian Pemegang Surat Ijo di Surabaya Tolak HGB di atas HPL, Begini Alasan Mereka

Sebagian pemegang Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau surat ijo di Surabaya, menolak opsi penerbitan sertifikat HGB di atas HPL

Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Bobby Constantine Koloway
Massa pemegang surat Ijo saat menggelar aksi demo di Balai Kota Surabaya pada Selasa (15/8/2023). 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Sebagian pemegang Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau surat ijo di Surabaya, menolak opsi penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL). 

Alasan mereka, hal tersebut belum menjadi solusi yang mereka harapkan.

Kelompok pemegang surat ijo yang tergabung dalam Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) misalnya, mereka tetap meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memberlakukan verifikasi kepemilikan di dalam Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (Simbada).

Sebab, menurut mereka, penerbitan HGB di atas HPL bukanlah satu-satunya solusi yang disampaikan Pemerintah Pusat sebagai acuan dari Pemkot Surabaya

Namun, ada 3 alternatif solusi yang ditawarkan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Yakni, penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM), HGB di atas HPL serta relokasi. 

Penentuan jenis sertifikat tersebut, akan diklasifikasikan berdasarkan status lahan berdasarkan verifikasi.

"Sehingga, perlu adanya verifikasi di dalam Simbada dengan melibatkan aparat penegak hukum, BPN, pemkot dan masyarakat. Mana yang memang benar-benar aset pemkot, silakan menggunakan HGB di atas HPL," kata Sekretaris Jenderal Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS), Rachmat Musa Budijanto.

"Namun perlu diingat, (kepemilikan) tanah ini ada yang lewat partikelir, tanah eks eigendom (sistem kepemilikan sejak Belanda), ada yang punya pemerintah sendiri atau eks kantor Gemeente hingga tanah HPL. HPL ini yang menjadi masalah," ujarnya.

Menurut Rachmat, sebelum pemerintah memberlakukan aturan HGB di atas HPL, klasifikasi lahan tersebut sebaiknya dilakukan terlebih dahulu. 

"Kalau tanah ini milik masyarakat kemudian diakui milik pemkot kan nggak benar," tuturnya.

Selain berdasarkan pada asal kepemilikan, warga mengklaim kepemilikan dengan didasarkan pada lama mendiami. 

"Tanah ini sudah kami tempati sejak 50-60 an," tegas Rachmat.

Terkait dengan biaya retribusi yang disebut Pemkot Surabaya lebih ringan, KPSIS tetap tak bergeming. 

Mereka khawatir, kebijakan tersebut tak bertahan lama atau hanya sepanjang sertifikat HGB di atas HPL berlaku.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved