Pilkada 2024

Pramono Anung Beber di Balik Dirinya Jadi Cagub DKI Jakarta : Saya Nangis di Hadapan Mbak Megawati

Pramono Anung menjadi pembicaraan setelah tiba-tiba ia ditunjuk oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri maju dalam Pilkada Jakarta

Editor: Fatkhul Alami
Tribunnews.com/Lendy Ramadhan
Pramono Anung Cagub DKI Jakarta 2024 

(T): Anda sempat bertanya enggak sama Bu Mega, kenapa kok saya, bukan yang lain? Misalkan Pak Prasetyo Eddy atau apa, enggak ya?

(J): Bukan hanya bertanya, saya sempat nangis-nangis. Tetapi kan begini ya, kenapa kemudian PDIP bisa mencalonkan sendiri? Itu kan tidak pernah terbayangkan. Karena sebelumnya kalau tidak ada gugatan di MK, tidak ada putusan MK nomor 60, dan itu enggak mungkin. Tidak ada mahasiswa demo, tidak mungkin.

Sehingga dengan begini ya, ini bagian dari sejarah. Ini bagian dari bagaimana kontribusi yang diberikan oleh MK, dan juga para mahasiswa, para buruh, para petani, para nelayan, yang kemudian membuat, bisa mencalonkan.

Awalnya terus terang saja, saya yang ragu-ragu banget untuk maju. Karena memang sudah enggak ingin. Makanya kalau melihat medsos saya, isinya cuma cucu, naik sepeda, enggak pernah yang berkaitan dengan keinginan untuk jabatan apa-apa.
Tetapi, saya ini fighter. Ketika sudah menjadi keputusan, pasti saya akan berjuang semati-matinya untuk bisa memujukkan itu.

(T): Sebagai politisi sekaligus pejabat negara, Anda pasti mengikuti perkembangan dinamika politik, mulai dari Pilpres sampai Pilkada. Kalau menurut pengetahuan Anda, apakah dinamika politik di luar itu nanti akan mengganggu atau menjadi fokus yang akan menjadi barrier Anda?

(J): Ya, satu, saya ini kan menjadi beruntung saya bisa berkomunikasi dengan semuanya. Termasuk dengan Pak Jokowi, dengan baik. Dengan Pak Prabowo, dengan baik. Dengan Pak SBY, dengan baik. Seluruh ketua umum partai. Karena memang seringkali saya ditugaskan oleh Ibu Mega. Dan selalu saya silent, nggak pernah ngomong dengan siapapun.

Bahwa dinamika politik yang begitu kencang di Pilpres maupun Pileg, menurut saya akan berbeda dengan Pilkada ini. Kenapa? Karena Pilkada ini, di dalam tubuh pemerintah sendiri, terutama polisi dan aparat penegak hukum, itu sudah capek.

Pilkada begitu banyak, 514 kota kabupaten, 37 provinsi, nggak gampang. Dan mereka harus bisa menjalankan ini dalam waktu yang tinggal 3 bulan. Kalau kemudian misalnya ada yang mencederai demokrasi kita, pasti ini juga dampaknya akan panjang. Apalagi pemerintahan yang sekarang tinggal 1,5 bulan lagi.

(T): Jadi maksudnya dinamika politik di Pilpres dan Pileg agak berbeda ya?

(J): Agak berbeda. bahwa beberapa daerah pertarungannya akan ketat, termasuk di Jakarta, menurut saya iya.

(T): Banyak orang beranggapan bahwa dalam Pilkada kali ini PDI Perjuangan itu nggak siap karena pendadakan gara-gara putusan MK itu?

(J): Memang Putusan MK itu tidak terbayangkan. Bukan hanya kepada PDI Perjuangan, tapi kepada seluruh partai. Maka kenapa kemudian di Banten berubah, Jawa Barat berubah, Jawa Timur berubah, Lampung berubah. Ya karena keputusan MK, semua partai politik tidak siap. Sehingga terjadi regrouping baru beberapa yang kemudian, terutama di tingkat 2 ya.
Paling banyak sebenarnya kita bekerjasama dengan Gerindra. Baru kemudian dengan Golkar, tapi paling banyak kita dengan Gerindra.

(T): Kenyataannya begitu ya?

(J): Iya. Jadi saya melihat bahwa tidak ada, ini lebih dinamis, tidak ada regrouping yang ini Kim, non-Kim. Itu nggak ada. Jadi dinamikanya memang betul-betul. Tergantung di daerah itu sendiri. Tergantung di daerah itu. Tergantung di daerah itu sendiri.

(T): Sebagai orang yang dekat dengan Pak Jokowi, dekat pula dengan Bu Mega, dengan ketua partai politik, apakah adan melihat ada cawe-cawe presiden dalam tanda petik dalam penentuan calon di Pilkada Serentak ini?

Halaman
1234
Sumber: Surya Cetak
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved