Pilkada 2024

Pengamat Politik: Pilih Kotak Kosong di Pilkada Bisa Berbahaya

Memilih kotak kosong di Pilkada justru berpotensi berbahaya, berikut penjelasan lengkap dari pengamat politik

Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Habibur Rohman
Bakal Calon Wali Kota Eri Cahyadi bersama Bakal Calon Wakil Wali Kota Surabaya Armuji saat mendaftar ke KPU Surabaya pada Rabu (28/8/2024). 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Fenomena munculnya calon tunggal di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di sebuah daerah, dinilai bukan hal yang buruk. 

Sebaliknya, memilih kotak kosong di Pilkada justru bisa berpotensi berbahaya.

Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Andri Arianto menjelaskan alasannya. 

"Fenomena ini adalah hal yang umum terjadi di Indonesia," kata Andri dikonfirmasi di Surabaya, Selasa (3/9/2024).

Ia mencontohkan Pilwali Surabaya 2024. Sebanyak 18 partai politik (parpol) telah sepakat mendaftarkan Eri Cahyadi-Armuji ke KPU. 

"Masyarakat tidak seharusnya berprasangka buruk terhadap fenomena ini dengan alasan tidak demokratis, lalu mengajak orang untuk memilih kotak kosong," ujarnya.

Menurut Andri, parpol sebagai pengusung pasangan ini tentunya telah memperhitungkan banyak hal. Di antaranya, tingginya tingkat keterpilihan kedua figur tersebut, karena mayoritas masyarakat puas terhadap kinerja petahana.

Keberhasilan memimpin Kota Pahlawan dalam mengentaskan kemiskinan, menurunkan stunting hingga penanganan pandemi Covid-19 menjadi contoh alasan tersebut. 

"Dengan potensi elektabilitas yang tinggi, penantang tentu akan berpikir dua kali untuk melawan petahana," ucapnya.

Soal desakan masyarakat untuk meminta partai pengusung Prabowo-Gibran agar mengusung calon yang melawan figur dari PDI Perjuangan juga tidak relevan. Mengingat dinamika di daerah berbeda dengan pusat.

"Koalisi yang terbentuk saat ini didukung oleh hampir semua partai. Ini tidak bisa dibandingkan dengan pencapresan, karena kekuatan penguasaan legislatif di setiap daerah itu berbeda-beda," tutur Andri.

Komunikasi politik dengan kelompok-kelompok penting di Surabaya, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat hingga kelompok bisnis, turut memperkuat posisi petahana. 

"Kinerja mereka yang baik, tidak korupsi dan mampu melayani masyarakat dengan baik," Andri memaparkan.

Sebaliknya, apabila kotak kosong menang, Andri khawatir hal tersebut justru merugikan warga. 

Sebab, ketika kotak kosong menang, maka Pemerintah Pusat atau provinsi akan menunjuk Penjabat (Pj) Wali Kota untuk mengisi kekosongan jabatan. Warga tak bisa menentukan figur tersebut. 

"Masyarakat tidak tahu siapa orangnya, dan ini justru tidak demokratis," tegasnya.

Untuk itu, Andri  menegaskan lagi, bahwa mendorong masyarakat memilih kotak kosong adalah langkah yang salah. 

"Mendorong masyarakat memilih kotak kosong itu adalah sesat pikir. Masyarakat harus diberi sosialisasi tentang bahaya memilih kotak kosong. Karena jika terjadi, masyarakat akan dirugikan dengan hadirnya penjabat yang tidak dipilih oleh mereka," jelasnya.

Menurut Andri, fenomena calon tunggal masih memungkinkan kontrol kepada eksekutif tetap berjalan. 

Baginya, kontrol kinerja pemerintahan tidak hanya dilakukan oleh legislatif, tetapi bisa juga dari masyarakat.

"Masyarakat juga memiliki peran dalam mengontrol pemerintahan. Selama ini, Eri-Armuji telah membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka langsung kepada wali kota. Ini adalah bentuk kontrol yang efektif," jelas Andri lagi.

Secara garis besar, Andri menyimpulkan, bahwa fenomena paslon tunggal dalam Pilkada Surabaya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dianggap tidak demokratis.

"Jauh lebih tidak demokratis jika itu memang sengaja atau ada gerakan yang diarahkan memilih kotak kosong. Malah sentralisme akan terjadi lagi, kalau orang dari pusat yang ditunjuk menjadi penjabat wali kota," tandas Andri.

Sebelumnya, sejumlah elemen masyarakat di Surabaya menyatakan menolak pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kota Pahlawan hanya diikuti calon tunggal. 

Apabila hingga batas waktu pendaftaran tak ada satu pun partai yang mengusung penantang, kelompok masyarakat yang menamakan Aliansi Relawan Surabaya Maju ini akan mengampanyekan kotak kosong.

Sesuai namanya, elemen ini awalnya merupakan pendukung partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) pendukung Prabowo-Gibran di Pemilihan Presiden. 

"Aliansi Relawan Surabaya Maju sejak awal melakukan konsolidasi dan sosialisasi dan berharap Koalisi Indonesia Maju bisa mencalonkan cawali dan cawawali," kata Direktur Strategi dan Analisis Aliansi Relawan Surabaya Maju 2024, Rudy Gaol dikonfirmasi di Surabaya pada Senin (2/9/2024).

"Namun, hingga saat ini pendaftaran pasangan calon dari partai-partai tersebut tidak menurunkan rekomendasi untuk melawan petahana. Ini baru pertama kali di Surabaya lawan bumbung kosong," ujar Rudy. 

➢ IKUTI UPDATE BERITA MENARIK LAINNYA di GOOGLE NEWS SURYA.CO.ID

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved