Berita Surabaya
Survei Manulife: Masyarakat Indonesia Hadapi Tekanan Finansial Akibat Biaya Perawatan Kesehatan Naik
Survei terbaru dari Manulife Asia Care Survey 2024 menyatakan meningkatnya biaya perawatan kesehatan jadi kekhawatiran utama bagi masyarakat Indonesia
Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: irwan sy
SURYA.co.id | SURABAYA - Survei terbaru dari Manulife Asia Care Survey 2024 menyatakan meningkatnya biaya perawatan kesehatan dan biaya hidup menjadi kekhawatiran utama bagi masyarakat Indonesia, yang berdampak pada kepercayaan diri mereka dalam mencapai tujuan kesejahteraan mereka.
Survei tersebut menujukkan bahwa tekanan finansial ini mendorong individu untuk mengevaluasi kembali kesiapan mereka dalam menghadapi masa pensiun dan kebutuhan medis yang tidak terduga, yang tercermin dalam tujuan finansial utama mereka.
Survei Manulife Asia Care 2024 di Indonesia yang baru saja dirilis melibatkan 1.054 responden.
"Survei ini merilis MyFuture Readiness Index (Indeks Kesiapan Masa Depan) dari Manulife, yang mengukur persepsi masyarakat terhadap kesejahteraan fisik, mental, dan finansial mereka saat ini dan di masa depan," kata Ryan Charland, Presiden Direktur Manulife Indonesia, Sabtu (24/8/2024).
Dengan menggunakan skala 1 sampai 100, indeks ini menunjukkan skor kesejahteraan yang diinginkan sebesar 89, melebihi rata-rata negaranegara lain di Asia.
Namun, skor untuk mereka yang merasa dapat mencapai kesejahteraan yang diinginkan adalah 81, mencerminkan kurangnya kepercayaan diri akan masa depan.
Meskipun skor ini berada pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia.
Kurangnya kepercayaan diri ini disebabkan oleh berbagai faktor, dengan yang paling utama adalah prospek kesehatan yang memburuk di usia tua dan meningkatnya biaya perawatan medis.
"Dari seluruh responden, 67 persen menyatakan bahwa kenaikan biaya perawatan kesehatan merupakan tantangan utama bagi kesejahteraan finansial mereka secara keseluruhan," jelas Ryan.
Mereka mengakui bahwa kesehatan fisik merupakan faktor terpenting (37 persen) yang berdampak pada kesejahteraan finansial (33 persen) dan mental (31persen) saat mereka memandang 10 tahun ke depan.
Untuk membantu mempersiapkan masa pensiun dan kebutuhan medis yang tidak terduga, para responden mengatakan bahwa tujuan finansial utama mereka adalah memiliki tabungan yang cukup untuk hari tua (46 persen), kebebasan finansial di masa pensiun (43 persen), pendapatan pasif di masa pensiun (38 persen), dan tabungan yang cukup untuk kebutuhan perawatan kesehatan 28 persen).
"Dengan usia harapan hidup di Indonesia yang semakin panjang, maka kebutuhan akan perencanaan jangka panjang yang lebih matang menjadi lebih penting. Saat ini, usia harapan hidup rata-rata di Indonesia adalah 73 tahun, meningkat dari 64 tahun pada tahun 1990," ungkap Ryan, mengutip dari https://www.worldometers.info/demographics/life-expectancy.
Dari segi kesejahteraan finansial saat ini, dari skala 1 sampai 100, Indonesia mendapat skor 73, di atas rata-rata negara-negara lain di Asia (67).
Terlihat bahwa pasangan yang sudah menikah (75 persen) memiliki rasa kesejahteraan finansial yang lebih baik dibandingkan mereka yang masih lajang (64 persen), dan di antara pasangan tersebut, mereka yang sudah memiliki anak merasa lebih sejahtera.
“Masyarakat di negara-negara di Asia hidup lebih lama dan populasinya semakin menua. Dengan meningkatnya kebutuhan perawatan dan permintaan akan layanan kesehatan, kemungkinan besar harga yang berkaitan dengan medis akan naik lebih cepat daripada inflasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, kekhawatiran para responden bisa dipahami,” beber Ryan.
Menemukan solusi untuk mengurangi dampak inflasi merupakan salah satu fokus Manulife.
Seorang profesional keuangan dapat membantu menemukan produk yang tepat untuk memberikan perlindungan kesehatan, dan lebih jauh lagi, juga perlindungan aset.
Tingkat literasi finansial di antara pasangan yang sudah menikah lebih tinggi dibandingkan yang melajang.
Untuk mencapai tujuan keuangan mereka, 45 persen dari total responden Indonesia mengatakan bahwa mereka akan menggunakan tabungan dan deposito bank, sementara 27 persen mengatakan bahwa mereka mencari pekerjaan tambahan dan 24 persen memiliki investasi saham, obligasi, dan instrumen keuangan lainnya.
Sementara di antara mereka yang masih lajang, kekhawatiran terbesar mereka adalah kurang atau berkurangnya pendapatan (57 persen), jauh di atas pasangan yang sudah menikah (52 persen).
Mereka juga khawatir akan kurangnya tabungan (52 persen), lebih banyak dari pasangan yang sudah menikah (48 persen).
Temuan ini menunjukkan bahwa literasi keuangan mereka yang masih lajang lebih rendah dibandingkan dengan yang sudah menikah.
Literasi keuangan mereka didasarkan pada jangkauan dan jenis investasi, asuransi dan tabungan yang mereka miliki.
Tingkat literasi keuangan mereka yang lebih rendah dan kekhawatirannya tentang kesejahteraan finansial dapat dijelaskan dengan hanya 42 persen lajang yang memiliki perencana keuangan dibandingkan dengan 63 persen dari mereka yang sudah menikah.
Secara keseluruhan, empat dari lima orang yang disurvei di Indonesia memiliki asuransi (80 persen), dan 40 persen responden mengaku memiliki asuransi kesehatan.
Namun, mereka yang masih lajang memiliki lebih sedikit produk tabungan, lebih sedikit asuransi, dan tidak memiliki produk investasi sebanyak mereka yang sudah menikah.
Survei ini menunjukkan bahwa 92 persen responden memiliki produk perbankan, terutama tabungan dalam mata uang lokal (85 persen), sementara 78 persen memiliki investasi, termasuk saham (28 persen), emas (57 persen), reksadana (31 persen) dan obligasi (11 persen).
Patut dicatat bahwa kebanyakan orang-orang yang masih melajang di Indonesia mempertimbangkan untuk menikah (lebih banyak dari negara manapun di Asia) hal ini menunjukkan potensi kesejahteraan finansial yang lebih baik ke depannya.
Survei menunjukkan 5 persen dari responden kemungkinan besar tidak akan atau belum pasti menikah.
Sementara 8 persen lainnya masih belum yakin.
Hanya Vietnam yang mendekati angka tersebut, sementara rata-rata negara-negara di Asia masing-masing 20 persen (kemungkinan besar tidak akan atau belum pasti meningkat) dan 22 persen (masih belum yakin).
“Masyarakat Indonesia memiliki investasi yang lebih beragam ketimbang negara lain di Asia, namun mereka amat bergantung pada tabungan. Hal ini beresiko tinggi karena uang pasti akan mengalami depresiasi, terutama ketika laju inflasi tinggi. Uang bukanlah jawaban,” terang Ryan.
Merupakan tanggung jawab Manulife untuk membantu masyarakat lebih memahami asuransi dan investasi lainnya agar bisa melindungi dan mengembangkan tabungan mereka untuk masa depan.
Survei juga mengungkapkan bahwa persepsi responden terhadap inflasi biaya perawatan kesehatan selama 12 bulan terakhir adalah sebesar 26 persen, di atas rata-rata negara-negara di Asia (23 persen) dan lebih besar dua kali lipat dari angka yang sebenarnya.
Responden sangat khawatir dengan kenaikan harga pada resep obat (61 persen), perawatan kesehatan untuk pencegahan (42 persen), dan rawat inap (41 persen).
Penyakit yang paling dikhawatirkan adalah penyakit jantung (40 persen), stroke (35 persen), obesitas (24 persen), serta kanker dan diabetes (keduanya 22 persen).
Perlindungan kesehatan responden masih rendah, terutama untuk penyakit kritis: rawat jalan 40 persen, rawat inap 34 persen, kecelakaan 30 persen, dan hanya 15 persen untuk penyakit kritis.
Bahkan, angka-angka tersebut sebagian besar akan turun dalam beberapa tahun ke depan.
Jaminan rawat jalan diperkirakan akan turun menjadi 25 persen rawat inap menjadi 27 persen dan kecelakaan menjadi 25 persen, dengan hanya penyakit kritis yang sedikit lebih tinggi menjadi 18 persen.
Menunda masa pensiun semakin menjadi pilihan dibandingkan bergantung pada anak.
Sebagian besar responden di Asia merasa bahwa tunjangan dan cakupan kesehatan dari perusahaan mereka tidak cukup.
Begitu pula di Indonesia, dengan 74 persen responden memiliki pandangan serupa.
Sebanyak 85 persen merasa perlu menambah tunjangan pensiun dan tunjangan hari tua yang mereka terima dari perusahaan—angka tertinggi di kawasan Asia bersamaan dengan Vietnam.
Selain itu, 60 persen dari mereka yang sudah menikah ingin menunda masa pensiun karena tanggung jawab finansial mereka terhadap keluarga.
Pada umumnya di Asia dan di berbagai belahan dunia lainnya, alternatif untuk bergantung memiliki asuransi dan pensiun di hari tua adalah dengan memiliki anak untuk dapat menafkahi mereka di masa pensiun. Ini merupakan pandangan yang semakin memudar.
Di Indonesia, 44 persen responden mengatakan mereka tidak mengharapkan anak-anak mereka untuk menafkahi mereka di masa pensiun —masih kurang dari separuhnya, tetapi masih lebih tinggi dari semua pasar lain di kawasan Asia kecuali Jepang (70 persen) dan Filipina (58 persen).
Di seluruh Asia, separuh responden menyatakan bahwa mereka tidak berencana memiliki anak.
Di Asia, mereka yang menginginkan anak rata-rata menginginkan 1, sedangkan di Indonesia rata-rata menginginkan dua.
"Survei ini menunjukkan adanya kebutuhan bagi masyarakat Indonesia untuk merencanakan perlindungan kesehatan dengan lebih baik dan perusahaan asuransi memiliki peran penting untuk membantu mereka melakukan hal tersebut, terutama dalam mengubah persepsi mengenai biaya kesehatan dan berfokus pada kebutuhan individu yang spesifik," papar Ryan.
Dengan melakukan hal tersebut, setiap orang dapat menemukan cara untuk mengatasi kendala dalam perencanaan keuangan mereka secara lebih efektif.
| Berita Surabaya Hari Ini: Peluncuran Koperasi Digital, Jadwal Commuter Line yang Baru |
|
|---|
| Berita Surabaya Hari Ini: Golkar Buat Lomba Cipta Oleh-oleh, Investasi Mulai Naik, Prestasi Pelajar |
|
|---|
| 8 Landmark dan Ikon Budaya Kota Surabaya, Daya Tarik Wisata Ibu Kota Jawa Timur |
|
|---|
| Rute dan Lokasi Parkir Parade Surabaya Vaganza, Hari Ini 25 Mei 2025 Mulai Pukul 13.00 WIB |
|
|---|
| Patuhi Larangan Wisuda SMA/SMK di Jatim, Ini Cara Sederhana SMAN 2 Surabaya Rayakan Kelulusan Siswa |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/surabaya/foto/bank/originals/Survei-terbaru-dari-Manulife-Asia-Care-Survey-2024.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.