Pembunuhan Vina Cirebon

Polda Jabar Kaget Dituduh Salah Tangkap Pegi di Kasus Vina Cirebon, Ganti Rugi Segini Jika Terbukti

Polda Jabar tampak agak kaget saat disebut salah tangkap Pegi Setiawan di Kasus Vina Cirebon. Segini ganti ruginy jika terbukti benar.

|
kolase Kompas TV
Kuasa hukum Pegi Setiawan (kiri) dan Kabid Hukum Polda Jabar (kanan). Polda Jabar Kaget Dituduh Salah Tangkap Pegi di Kasus Vina Cirebon. 

SURYA.co.id - Polda Jabar tampak agak kaget saat disebut salah tangkap Pegi Setiawan di Kasus Vina Cirebon.

Hal ini diungkapkan oleh Ahli hukum pidana yakni Suhandi Cahaya dalam sidang praperadilan Pegi Setiawan, Rabu (3/7/2024).

Suhandi mengatakan, penyidik dalam hal kasus ini salah tangkap dan harus digugurkan tersangkanya

"Dengan apa yang saya baca dalam tuntutan praperadilan itu, nampaknya itu salah tangkap," ucap Suhandi Cahaya dalam kanal YouTube Tribun Medan TV.

Tentunya hal itu mengejutkan penyidik Polda Jabar yang hadir dalam persidangan itu.

Baca juga: Makin Yakin Pegi Setiawan Bukan Dalang Kasus Vina Cirebon, Eks Kabareskrim Sindir Bukti Polda Jabar

Dalam persidangan tersebut, Pengacara Pegi Setiawan juga menanyakan mengenai penetapan tersangka kepada ahli hukum pidana.

Sontak hal tersebut langsung dijawab oleh ahli hukum pidana, Suhandi Cahaya, yang mengatakan kalau tersangka digugurkan atau tidaknya itu adalah keputusan pengadilan.

"Kalau untuk menggugurkan itu bukan kewenangan saya. Kalau pendapat saya, bahwa apa yang dilakukan penyidik kepada Pegi Setiawan, sesuai dengan apa yang saya baca dalam tuntutan praperdilan itu, nampaknya itu salah tangkap," ujar Suhandi Cahaya.

Menanggapi hal itu, Kabid Hukum Polda Jabar Kombes Nurhadi Handayani, mengatakan kalau ahli tidak boleh menarik kesimpulan dan pertanyaan dari Pengacara Pegi sifatnya menekan dan narasinya interogasi.

"Ahli tidak boleh menarik kesimpulan, dan pertanyaan itu sifatnya menekan dan narasinya interogasi," ujar Kabid Hukum Polda Jabar Kombes Nurhadi Handayani.

Baca juga: Akhirnya Ketua RT Saksi Kunci Kasus Vina Cirebon Muncul, Pengacara Malah Bilang Begini: Gak Seru

Jika tuduhan Suhandi itu benar dan terbukti, maka Pegi berhak atas uang Rp100 juta.

Uang tersebut tak lain adalah uang ganti rugi bagi korban salah tangkap dan diatur dalam peraturan.

Artinya nantinya Polda Jawa Barat harus memberikan uang hingga Rp100 juta kepada Pegi Setiawan jika benar merupakan korban salah tangkap.

Mengenai uang ganti rugi itu diatur dalam Pasal 95 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHP).

Dalam pasal itu dijelaskan secara jelas bahwa tersangka atau ahli waris dalam hal ini adalah keluarga nantinya bisa mengajukan tuntutan jika mengalami salah tangkap.

Adapun mengenai besaran uang ganti rugi itu sendiri dibahas di PP Nomor 92 tahun 2015 tentang KUHAP.

Dijelaskan dalam pasal 1 bahwa korban salah tangkap bisa bebas dan juga menerima uang ganti rugi Rp500 ribu hingga Rp100 juta.

Nominal itu akan berubah jika korban salah tangkap itu sampai mengalami luka berat atau sampai cacat.

Dimana korban salah tangkap itu berhak mendapatkan uang ganti rugi Rp25 juta Rp300 juta.

Bahkan jika korban salah tangkap itu sampai meninggal dunia maka uang ganti ruginya adalah sebesar Rp50 juta hingga Rp600 juta.

Baca juga: Rekam Jejak Brigjen purn Siswandi Bekingi Abdul Pasren, Mau Laporkan Keluarga Terpidana Kasus Vina

Nantinya, Pegi Setiawan jika tak terbukti bersalah berdasarkan putusan yang sah maka ia akan dapat uang ganti rugi itu dari Polda Jawa barat.

Diketahui, penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka kasus Vina Cirebon dinilai tidak sah atau tak sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Hal ini disampaikan Profesor Suhandi Cahaya, ahli pidana dari Universitas Jaya Baya Jakarta saat dihadirkan di sidang praperadilan Pegi Setiawan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada Rabu (3/7/2024).

Seperti diketahui Pegi Setiawan ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka setelah 8 tahun kasus Vina Cirebon terjadi. 

Di awal kasus ini, penyidik sempat mendatangi rumah Pegi Setiawan di Desa Kepompongan, namun tidak mendapati Pegi. 

Meski begitu, penyidik menyita sebuta motor milik Pegi tanpa berita acara penyitaan dan penetapan. 

Menurut ahli, sesuai dengan ketentuan, sebelum menyita, penyidik semestinya ada izin dari ketua pengadilan.

"Apabila sita sudah dilakukan, tapi izin belum ada, dalam waktu 3 hari harus minta ketua pengadilan bahwa dia sudah melakukan sita," terang Prof Suhandi Cahaya. 

Dilanjutkan Suhandi, apabila penyidik tidak melakukan itu, maka tidak dibenarkan dan merupakan kesalahan. 

Sementara terkait langkah penyidik yang selama 8 tahun tidak mencari Pegi dan mengirimkan surat panggilan untuk diperiksa sebagai saksi, menurut ahli semestinya pemnyidik memanggil terlebih dahulu. 

"Semestinya penyidik memanggil Pegi Setiawan kalau ternyata diduga. Kalau tidak dilakukan, tahu-tahu main tangkap, main tahan saja," sebut Suhandi. 

Padahal, lanjutnya, sejarah atau silsilah kasus ini yang menjadi DPO adalah Pegi Perong, bukan Pegi Setiawan.

"Kenapa Pegi setiawan yang doiciduk?," kata Suhandi heran.

Baca juga: Ahli Sebut 5 Nama Pegi Setiawan Harus Diperiksa di Kasus Vina Cirebon, Bos di Bandung Saksi Sidang

Tim kuasa hukum Pegi Setiawan lalu menegaskan apakah tindakan yang dilakukan penyidik melanggar hukum.

"Berarti , menurut ahli, apa yang dilakukan penyidik itu tidak sah?," tanya Marwan Effendi, kuasa hukum Pegi Setiawan. 

"Iya betul. Tidak sesuai dengan KUHAP," tegas Suhandi. 

Di bagian lain, tim kuasa hukum Pegi selaku pemohon juga menanyakan kepada Suhandi mengenai kliennya yang diduga menjadi korban salah tangkap oleh Polda Jabar selaku termohon.

"Ahli, saya mau bertanya, sebelumnya Polda Jabar mengeluarkan ciri-ciri DPO Pegi Setiawan, namun orang yang ditangkap justru tidak sesuai dengan ciri-ciri yang dikeluarkan. Itu bagaimana?" tanya satu kuasa hukum Pegi dikutip dari Tribun Jabar.

"Itu salah tangkap namanya," jawab Suhandi.

"Kalau salah tangkap, berarti penetapan tersangka harus digugurkan?" tanya kuasa hukum lagi.

"Iya, kalau salah tangkap maka penetapan tersangka harus digugurkan," jawab Suhandi.

Alhasil, jawaban ini mampu memecah keheningan dengan reaksi pengunjung yang bertepuk tangan.

 Bahkan, Hakim tunggal Eman Sulaeman harus mengetuk palu sidang untuk meminta pengunjung agar diam.

Eman mengatakan, dia juga berkeinginan untuk tepuk tangan atas hal yang disampaikan ahli, namun ia menahan diri.

"Diam ya, enggak usah tepuk tangan. Saya juga ingin tepuk tangan, cuma saya tahan," ujar Eman.

Pernyataan Eman pun kembali memancing pengunjung untuk kembali tepuk tangan.

Suhandi Cahaya, ahli hukum pidana yang hadir sebagai saksi dalam Sidang Praperadilan Pegi Setiawan, Rabu (3/7/2024)
Suhandi Cahaya, ahli hukum pidana yang hadir sebagai saksi dalam Sidang Praperadilan Pegi Setiawan, Rabu (3/7/2024) (Kolase Youtube/ist)

Sebagai informasi, selain Suhandi, juga ada lima saksi lainnya, yakni Sumarsono alias Bondol yang merupakan paman Pegi, Dede Kurniawan teman Pegi di Cirebon dari 2015, Liga Akbar saksi yang mencabut BAP, dan Agus bersama istrinya pemilik rumah proyek di Bandung.

Dalam persidangan, hakim Eman Sulaeman memulai dengan menanyakan apakah saksi ahli mengenal Pegi atau ada hubungan keluarga dengan tersangka.

Baca juga: Tatoo Pegi Setiawan Dibongkar Polda Jabar saat Sidang Praperadilan, Dihapus Usai Kasus Vina Cirebon

"Tidak, Yang Mulia," ujar Suhandi.

"Apakah dua alat bukti itu ditinjau dari segi kualitas atau kuantitas?" tanya Eman Sulaeman lagi.

"Ya, harus dua-duanya, kualitas dan kuantitas, yang harus betul-betul yang punya konek dengan apa yang telah dilakukan oleh tersangka dan pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik," jawab Suhandi.

Suhandi menjelaskan, sebelum seseorang ditetapkan jadi tersangka, penyidik harus melakukan pemeriksaan secara lengkap dan dilakukan gelar perkara internal yang dapat dihadiri oleh pengacara calon tersangka.

Seseorang pun, kata dia, dapat langsung dijadikan tersangka jika tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana.

"Kalau dia tidak tertangkap tangan, harus ada laporan dari seseorang atau pengaduan yang memberikan alat bukti yang lengkap kepada penyidik," kata Suhandi.

Hakim kemudian menanyakan terkait bagaimana prosedur penerbitan daftar pencarian orang (DPO) terhadap tersangka.

"Dalam hal penerbitan DPO apakah harus ada pemanggilan?" tanya hakim.

"Ya, harus ada pemanggilan minimum dua kali sesuai KUHAP, setelah kalau tidak ada datang dipanggil, kewenangan dari penyidik dia bisa menjemput si tersangka," jawab Suhandi.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved