Pembunuhan Vina Cirebon

Pantesan Pengacara Pegi Setiawan Makin Curiga Penyidik Kasus Vina Cirebon, Permintaan Ditolak: Takut

Pantas saja kuasa hukum Pegi Setiawan, Toni RM, makin curiga ke penyidik kasus Vina Cirebon. Permintaan gelar perkara khusus ditolak.

kolase Kompas TV dan tribun Cirebon
Pegi Setiawan dan kuasa hukumnya, Toni RM. Pantesan Pengacara Pegi Setiawan Makin Curiga Penyidik Kasus Vina Cirebon, Permintaan Ditolak. 

SURYA.co.id - Pantas saja kuasa hukum Pegi Setiawan, Toni RM, makin curiga ke penyidik kasus Vina Cirebon.

Hal ini lantaran permintaan gelar perkara khusus yang diajukannya malah ditolak.

Toni menduga pihak kepolisian menolak karena takut ketahuan.

Diketahui, pengajuan gelar perkara khusus yang diajukan tim kuasa hukum Pegi Setiawan, tersangka kasus pembunuhan Vina Cirebon ditolak oleh kepolisian.

Merespon hal itu, tim kuasa hukum Pegi di Cirebon berencana akan mempertimbangkan menemui presiden dan meminta audiensi dengan Kapolri.

Baca juga: Misteri Sosok Minta Sidik Jari Pegi Jelang Praperadilan Kasus Vina Cirebon, Pengacara Bingung: Siapa

Salah satu anggota tim kuasa hukum Pegi, Toni RM, menyampaikan kekecewaannya atas penolakan pengajuan gelar perkara khusus yang diajukan ke pihak kepolisian.

Ia menilai bahwa keputusan ini tidak mencerminkan keadilan bagi kliennya yang saat ini menghadapi ancaman hukuman berat.

"Kami melihat berita, Kadiv Humas Polri mengatakan tidak perlu melakukan gelar perkara khusus, walaupun kami belum mendapatkan jawaban tertulis, berarti statmen itu tidak melayani kami sebagai masyarakat mencari keadilan yang memohon gelar perkara khusus," ujar Toni RM saat dikonfirmasi, Sabtu (22/6/2024), melansir dari Tribun Jabar.

Menurut Toni, alasan Kadiv Humas Polri yang menyebutkan bahwa bukti yang ada sudah cukup dianggap tidak memadai.

"Alasan Kadiv Humas Polri itu, karena sudah cukup bukti, kami mengajukan gelar perkara khusus itu karena awalnya penyidik menetapkan tersangka itu meyakini cukup bukti, cuman kami ini tidak percaya, kami ini keberatan dengan alat bukti yang dimiliki penyidik Polda Jawa Barat, sehingga kami mengajukan gelar perkara khusus ke Karwasidik Bareskrim Polri, agar dibuka seterang-terangnya alat bukti apa yang dimiliki penyidik," ucapnya.

Lebih lanjut, Toni menegaskan bahwa pengajuan gelar perkara khusus ini sesuai dengan Perkapolri No. 6 Tahun 2019.

"Gelar perkara khusus diatur dalam Perkapolri No. 6 Tahun 2019, itu diatur didalam pasal 33 ayat 1 bahwa gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf b, dilaksanakan untuk merespon pengaduan masyarakat dari pihak yang berperkara atau penasehat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik," jelas dia.

Toni juga menyoroti pentingnya respon terhadap pengajuan ini sebagai bagian dari pelayanan hukum dan penegakan keadilan.

"Kami mengajukan ini, karena keberatan, harusnya direspon, karena pelayanan juga, selain penegakan hukum jangan takut, justru kami menilai kalau tidak mau melakukan gelar perkara khusus, penyidik ini takut terbongkar alat buktinya ada atau tidak," kata pengacara asal Kabupaten Indramayu ini.

Baca juga: Pantesan Kasus Vina Cirebon Kini Heboh Meski Sudah 8 Tahun, Penasihat Kapolri Kuliti Kejanggalannya

Dalam pasal 33 huruf c, disebutkan bahwa gelar perkara khusus dilakukan untuk menindaklanjuti perkara yang menjadi perhatian masyarakat.

"Di pasal 33 huruf c dikatakan bahwa, gelar perkara khusus ini dilakukan untuk menindaklanjuti perkara yang menjadi perhatian masyarakat, semua tahu kasus Vina dan Eky ini termasuk penangkapan Pegi, menjadi perhatian masyarakat, paham tidak Pak Kadiv Humas Polri, yang mengatakan sudah cukup bukti," ujarnya.

Dengan demikian, tim kuasa hukum Pegi Setiawan akan mempertimbangkan untuk mengajukan audiensi dengan Kapolri atau bahkan Presiden jika diperlukan.

"Kalau memungkinkan kami akan audiensi dengan Bapak Kapolri atau langsung dengan Bapak Presiden, ini kami perjuangkan karena taruhannya terhadap Pegi Setiawan, hukumannya seumur hidup atau hukuman mati, ini taruhannya nyawa," ucap Toni.

Seperti diketahui, belum lama ini tim kuasa hukum Pegi Setiawan, tersangka dalam kasus Vina Cirebon, mengajukan permohonan untuk menggelar perkara khusus kepada pihak berwenang.

Langkah ini diambil karena keberatan terhadap status tersangka yang disematkan kepada Pegi Setiawan.

Saat itu, ada tiga surat yang dilayangkan digelarnya gelar perkara khusus.

Selain kepada Karowassidik, surat permohonan juga dilayangkan ke Bareskrim Polri dan Kapolri.

Sebelumnya, kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita alias Vina Cirebon dan Muhammad Rizky alias Eky mendapat sorotan Kriminolog dari Universitas Budi Luhur, Arsenius Wisnu Aji Patria Perkasa.

Ia menyoroti prarekonstruki kasus Vina Cirebon yang disebut-sebut penuh gimik.

Untuk menyoroti kasus tersebut, Arsenius menggunakan dua model analisis, yakninomothetic examination dan idiographic examination.

Baca juga: Live Streaming Sidang Praperadilan Pegi Setiawan di Kasus Vina Cirebon, Inilah 4 Fakta Jelang Sidang

Menurut Arsenius, kedua metode itu tepat untuk mengungkap kasus Vina Cirebon yang terjadi 27 Agustus 2016 silam. 

Arsenius awalnya menyoroti penetapan tersangka Pegi Setiawan dan penghapusan dua daftar pencarian orang (DPO) Andi dan Dani oleh Polda Jabar, Mei 2024 lalu.

Seperti diketahui, kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada Sabtu 27 Agustus 2016 silam itu sudah berproses hukum.

Ada delapan pemuda yang ditangkap dan kemudian divonis hingga menjalani pidana penjara.

Mereka adalah Rivaldi Aditya Wardana, Eko Ramdani (Koplak), Hadi Saputra (Bolang), Eka Sandy (Tiwul), Jaya (Kliwon), Supriyanto (Kasdul), Sudirman, Saka Tatal.

Seluruhnya divonis penjara seumur hidup kecuali Saka Tatal yang hanya divonis delapan tahun penjara karena saat peristiwa masih usia anak, dan sudah bebas sejak 2020.

Tiga orang atas nama Pegi, Andi dan Dani dinyatakan buron. Ketika Pegi Setiawan ditangkap, di saat yang sama Andi dan Dani dihapus dari DPO.

Menurut Dosen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Studi Global, Universitas Budi Luhur itu, berkebalikan dengan Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Putusan PN CIREBON Nomor 16/Pid.Sus-Anak/2016/PN CBN tanggal 10 Oktober 2016, yang menyatakan ada 11 pelaku.

Baca juga: Sosok yang Dinilai Bisa Buat Kasus Vina Cirebon Terang, Dipenjara Seumur Hidup, Dedi Mulyadi: Sulit

Arsenius juga menangkap keheranan publik yang menganggap pengungkapan kasus tersebut janggal.

Mengapa dua nama buronan dikatakan fiktif sedangkan Pegi dilarang untuk berbicara pada saat konferensi pers Polda Jawa Barat?

Apakah memang ada bukti yang kuat atas keputusan tersebut? Bagaimana dengan teriakan Pegi yang merasa difitnah oleh Polri?

Lalu jika memang Pegi adalah benar pelaku yang buron, mengapa lima terpidana lainnya mengatakan bukan Pegi sebagai pelakunya?

Pertanyaan-pertanyaan itu dirangkum Arsenius menyertai keputusan polisi soal penghapusan DPO dan penangkapan Pegi.

Pegi Setiawan dan kuasa hukumnya, Toni RM. Yakin Pegi Bakal Menang Praperadilan Kasus Vina Cirebon, Pengacara Laporkan Hakim dan Penyidik ke MA.
Pegi Setiawan dan kuasa hukumnya, Toni RM. Yakin Pegi Bakal Menang Praperadilan Kasus Vina Cirebon, Pengacara Laporkan Hakim dan Penyidik ke MA. (kolase kompas tv dan Tribun Jabar)

Arsenius pun menjabarkan soal nomothetic examination dan idiographic examination kasus Vina.

"Poin pertama lebih berfokus pada analisis makro dimana investigasi dan pengetesan yang dilakukan berfokus pada sistem, proses, pengelompokan pola, dan karakteristik lainnya yang sejenis."

"Oleh karena itu, poin ini lebih sering dikaitkan dengan tes dan eksperimen biologis melalui laboratorium."

"Sedangkan poin kedua lebih berfokus pada analisis mikro dimana investigasi dan pengetesan yang dilakukan berfokus pada tes secara individual yang terlibat dalam kasus, menemukan keunikan tertentu dari mereka, dan pendalaman secara interpersonal."

"Oleh karena itu, poin ini lebih sering dikaitkan dengan interpretasi sosial dari penyidik terhadap manusia lain yang terlibat dalam suatu kasus, baik itu terduga, saksi mata, tersangka, keluarga korban maupun pelaku, dan lain sebagainya," papar Arsenius, dikutip dari Tribunnews, Jumat (21/6/2024).

Baca juga: Selama Ini Menghilang di Kasus Vina Cirebon, Nasib Pasren Ketua RT Kini Dilaporkan ke Mabes Polri

Dua klaster analisis ini seharusnya digunakan secara bersamaan.

Akan tetapi, nomothetic terkadang memiliki kendala kerusakan dan/atau hilangnya barang bukti biologis.

Sedangkan keterbatasan ideographic adalah daya nalar, ketidakjujuran, dan bahkan hilangnya kontak.

"Berkaca dari hal tersebut, proses hukum kasus Vina Cirebon tentu akan mengalami hambatan yang sangat besar jika menggunakan analisis nomothetic," lanjut jebolan Universitas Indonesia ini.

Jeda waktu delapan tahun sudah pasti merusak seluruh bukti biologis yang telah dikumpulkan sebelumnya.

Terlebih lagi giat prarekonstruksi pembunuhan yang digelar oleh Polda Jawa Barat bersama Polres Cirebon di enam titik TKP pada 29 Mei 2024.

Tidak mungkin bukti fisik seperti darah, tubuh korban, atau barang bukti lainnya yang dapat dikumpulkan di lokasi-lokasi tersebut.

"Anehnya, polisi membuat gambar lingkaran merah atau putih seolah-olah itu adalah korban dan/atau letak barang bukti lainnya."

"Gelar prarekonstruksi menjadi dipertanyakan manfaatnya dan wajar saja jika muncul opini bahwa giat tersebut adalah gimmick belaka," kata Arsenius.

Menurutnya, klaster analisis ideographic masih lebih logis untuk dilakukan pada saat ini.

Polri dapat melakukan interogasi ataupun wawancara dengan saksi mata lain, keluarga korban, atau yang lainnya.

Bahkan lebih masuk akal jika polisi melakukan wawancara dengan sahabat Vina yang dikatakan kesurupan arwah almarhum di media lain.

Pegi Setiawan yang diduga terlibat kasus Vina Cirebon
Pegi Setiawan yang diduga terlibat kasus Vina Cirebon (Kolase Ist)

Arsenius berpendapat analisis ideographic ini lebih mudah dilakukan oleh polisi namun kenyataannya tidak dilakukan secara maksimal.

Argumen ini terbukti melalui kesaksian lima dari delapan terpidana yang mengatakan bahwa Pegi bukan pelakunya, tidak ada pengakuan dari Pegi bahwa dia melakukan tindakan pembunuhan, dan bahkan katanya Pegi tidak mengenal Vina.

"Lalu bukti valid seperti apa yang dapat membenarkan penangkapan Pegi? Memang terdapat pengakuan dari satu terpidana bahwa Pegi adalah pelakunya, tapi pengakuan satu dari delapan orang apakah sudah cukup kuat untuk pengujian validitas keputusan? Saya rasa belum cukup," jelasnya.

Karenanya, pengusutan kasus Vina Cirebon yang terjadi pada tahun 2016 silam sudah pasti sangat amat sulit untuk dilakukan.

Selain adanya kecacatan analisis melalui idiographic examination saja, masih banyak juga fakta-fakta yang mungkin ditutupi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini.

Bisa saja dugaan Hotman Paris bahwa terdapat anak mantan pejabat Cirebon yang terlibat sebagai pelaku itu benar.

Meski demikian, hal tersebut masih dugaan dan tidak bisa diamini begitu saja.

Pada akhirnya, Polres Cirebon, Polda Jawa Barat, dan Bareskrim Polri harus bekerja sangat amat ekstra keras untuk mengungkap kebenaran pada kasus Vina Cirebon.

"Saya sebagai salah satu bagian dari Warga Negara Indonesia berharap Polri dapat menunaikan tugas ini semaksimal mungkin dan memberikan keadilan bagi almarhum Vina dan keluarga."

"Bagi keluarga Vina, mohon kuatkan hati dalam memperjuangkan kasus Vina. Bagi pembaca awam lainnya, mari kita kawal bersama kasus ini sebagai bentuk kepedulian dan kemanusiaan kita."

"Terima kasih banyak bagi semua orang yang telah membaca tulisan ini. Semoga kita semua dapat sedikit terbukakan dan selalu berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik," pungkasnya.

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Pengajuan Gelar Perkara Khusus Ditolak, Kuasa Hukum Pegi di Cirebon Pertimbangkan Temui Presiden.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved