Berita Nasional

Usai Viralkan Bea Cukai yang Tahan Alat Belajar SLB 2 Tahun, Dedeh Malah Minta Maaf, Ini Endingnya

Usai memviralkan Bea Cukai yang telah menahan kiriman alat belajar tunanetra dari Korea Selatan sejak 2022, Plt Kepala SLB A Pembina Tingkat Nasional

Editor: Musahadah
kolase tribunnews/istimewea
Alat belajar tunanetra dari Korea akhirnya diserahkan SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta. Plt Kasek Dedeh Kurniasih justru minta maaf. 

"Kami atas nama lembaga SLB A tingkat nasional mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya yang telah diberikan kepada kami atas penyerahan barang hibah berupa alat pembelajaran yang diperuntukkan peserta didik berkebutuhan khusus tuna netra," ujar Dedeh.

Pembelaan Bea Cukai

Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani menyebut persoalan alat belajar sekolah luar biasa (SLB) yang tertahan dan diminta membayar bea masuk ratusan juta rupiah, disebabkan miskomunikasi.

SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta seharusnya menerima hibah 20 buah keyboard braille yang dikirim perusahaan OHFA Tech Korea Selatan sejak Desember 2022 lalu.

Namun, alat belajar tertahan seiring dikenakan tarif bea yang besar.

Askolani menyebut, komunikasi yang tidak berjalan baik antara pihak SLB, Dinas Pendidikan, dan perusahaan jasa titipan (PJT) DHL Express Indonesia membuat Bea Cukai tidak mengetahui bahwa alat belajar SLB itu merupakan hibah.

"Jadi SLB, Dinas, kemudian juga PJT mengakuin ini tidak terkomunikasi dengan baik sehingga kemudian menyikapinya kurang pas," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor DHL Express Indonesia, Tangerang, Senin (29/4/2024).

Ia menjelaskan, mulanya keyboard braille untuk SLB masuk dengan fasilitas pengiriman DHL melalui mekanisme barang kiriman, bukan hibah.

Alhasil, Bea Cukai mengenakan penarifan pada barang tersebut sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Bea Cukai sempat menetapkan nilai barang tersebut sebesar Rp 361,03 juta dengan meminta pihak sekolah untuk membayar Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) sebesar Rp 116 juta, serta membayar biaya penyimpanan gudang yang dihitung per hari.

"Nah, tidak ada info (kalau hibah), yang kemudian masuk ke kita sebagai barang kiriman, sehingga kami tetap hitung sebagai barang kiriman maka ada tarif kepabeanannya," kata Askolani.

Besarnya tarif yang dikenakan tersebut pada akhirnya membuat proses pengurusan 20 keyboard braille tidak dilanjutkan pada 2022 lalu.

Barang itu pun hanya tersimpan digudang DHL dan ditetapkan sebagai barang tak dikuasai oleh Bea Cukai.

"Di 2023 barang itu diinfoin lagi kepada DHL untuk memperbaikkan address-nya, dokumennya, dan lain-lain. Tetapi komunikasi ini hanya sampai PJT, belum masuk ke ranah kita Bea Cukai. Kita hanya diinfokan di awal ini barang kiriman, maka kita infokan tarifnya sekian. Tapi dokumentasi dan segala macam ini masih sebatas di DHL yang memprosesnya dengan importirnya," jelas dia.

Kemudian di 2024, persoalan ini mencuat di media sosial hingga menjadi sorotan publik.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved