Hikmah Ramadhan

Puasa dan Kebajikan dalam Masyarakat Pluralis

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya

Editor: Deddy Humana
istimewa
DRS H ROMADLON MM, Ketua Komisi Hubungan Ulama Umara MUI Jatim. 

PADA hakikatnya puasa Ramadhan memiliki dua perspektif, yaitu perspektif individual dan perspektif sosial.
Secara individual, di bulan Ramadhan kita menjalankan puasa satu bulan lamanya dan mengerjakan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat tarawih, qiyamullail, membaca Al-Quran, dan sedekah.

Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang beriman. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 183: "Yaa ayyuhalladziina aamanu kutiba 'alaikumus siyaam kamaa kutiba 'allalladziina munqablikum la'allakum tattaqun".

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".

Di bulan Ramadhan akan dipenuhi dengan keberkahan. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh keberkahan. Allah SWT telah mewajibkan kepada kalian berauasa di dalamnya, di bulan itu pintu-pintu langit akan dibuka dan pintu-pintu neraka akan ditutup, di bulan itu setan-setan akan diikat, di bulan itu ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa terhalang mendapatkan kebaikannya maka sungguh ia telah terhalang." (HR. An-Nasai)

Kedua, akan diampuni Dosa-dosa yang telah lalu juga akan diampuni sebagaimana yang disebutkan dalam hadits "Siapa yang puasa Ramadhan dengan iman dan ihtisab, telah diampuni dosanya yang telah lalu. Dan siapa yang bangun malam Qadar dengan iman dan ihtisab, telah diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari Muslim).

Ketiga, bahwa ibadah yang dilakukan oleh setiap Muslim yang berpuasa akan dilipatgandakan. "Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah SWT berfirman (yang artinya) "Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku." (HR. Muslim).

Keempat, "Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabb-nya." (HR. Muslim).

Kelima, dibukanya pintu surga. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Jika telah datang bulan Ramadhan maka pintu-pintu surga akan dibuka, pintu-pintu neraka akan ditutup dan setan-setan akan dibelenggu dengan rantai." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam perspektif individual, hikmah dan keutamaan puasa bulan Ramadhan cukup banyak. Salah satunya adalah mendekatkan diri pada Allah SWT.

Tak hanya itu, di bulan Ramadhan ini kita juga diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengampunan yang berlimpah dari Allah jika kita mau berpuasa dengan maksimal. Hal ini seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW dalam hadits: "Man shaama ramadhaana iimanan wa-ihtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi".

Artinya: "Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya pada masa lalu akan diampuni" (HR. Bukhari)

Puasa dalam perspektif sosial, sebenarnya tidak hanya bermakna secara individual. Justru menekankan terhadap makna sosialnya lebih dominan. Karena itu, banyak anjuran bagi mereka yang berpuasa untuk melakukan banyak kebajikan yang begitu dibutuhkan dalam masyarakat.

Karena Indonesia dikenal sebagai negara yang sukses dan berhasil melakukan toleransi antara umat beragama. Belakangan – terutama dalam kurun waktu tiga dasawarsa pasca reformasi – masalah kerukunan antarumat beragama ini terusik kembali.

Tulisan ini tidak akan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah atau keyakinan, karena sudah jelas itu urusan masing-masing pemeluk agama.

Yang ingin kita kembangkan ke depan, bahwa sekarang ini kita tak terhindarkan hidup dalam masyarakat pluralis atau majemuk dengan berbagai keyakinan agama. Karena itu, berbuat kebajikan atau amal sosial antara umat beragama tampaknya menjadi hal yang perlu diperluas dan diintensifkan.

Pertama, karena kondisi negara kita dewasa ini masih kurang stabil dan terus terbelit persoalan ekonomi dan politik. Sehingga pemecahannya memerlukan kerja sama dan koordinasi antara sesama anak bangsa, antarpemeluk umat beragama.

Kedua, bahwa ada potensi yang bisa digerakkan antarumat beragama dalam rangka untuk membuat kebajikan sosial bersama- sama. Misalnya untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.

Jadi pluralisme di sini tidak ada kaitannya dengan masalah akidah atau keyakinan, tetapi lebih pada aspek sosial atau muamalah.

Dalam konteks kebangsaan dan kemasyarakatan, di mana kita tak bisa terhindarkan dengan kondisi sosial yang majemuk. Maka umat Islam sebenarnya tak perlu kiranya membesar-besarkan adanya perbedaan.
Tetapi yang harus kita cari dan kita dorong sekarang ini adalah bagaimana mencari kesamaan visi dan misi terutama soal kerja sosial dan kemanusiaan.

Yang jelas dalam hal ini, Al-Quran juga memberi penegasan bahwa segala perbuatan amal saleh manusia tetap akan mendapat balasan dari Allah. Mengenai keyakinan kepercayaannya, Allah sendiri yang akan memutuskan.

Banyak hal yang bisa diperbuat di negeri ini dengan mengembangkan kerja sama dan koordinasi untuk penegakan amal sosial dan proyek-proyek kemanusiaan. Proses pemberdayaan masyarakat yang nuansanya untuk pemberdayaan kemiskinan dan pengangguran tampaknya perlu kita tingkatkan.

Namun dengan catatan, janganlah proyek seperti ini diarahkan untuk kembali membenturkan keyakinan antar umat beragama, atau untuk mengajak orang masuk ke agamanya.

Islam sangat menjunjung toleransi beragama, dan justru menghormati dan menghargai adanya perbedaan karena latar belakang sosiologis, antropologis, maupun agama.

Bahkan perintah Allah dalam Al-Quran yang mewajibkan puasa Ramadhan sebagai puasa wajib, juga menyebut tentang toleransi beragama, yaitu bahwa puasa juga telah dilakukan kaum atau umat beragama lain sebelum Islam.

Banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang mengakui adanya pluralitas ini, seperti firman Allah:

”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran, dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."

"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba- lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu" (QS Al-Maidah (5): 48).

Jadi jika kita menyimak ayat di atas, jelas Allah menginginkan bahwa pluralisme itu justru bisa dijadikan ajakan untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Dalam ayat tersebut sangat kontekstual dengan keberadaan bangsa Indonesia, yang sekarang harus dipacu, ber-fastabiqul khoirat dalam rangka keluar dari berbagai kekurangan dan kelemahan dan krisis.

Bahkan harus bersemangat menuju kondisi bangsa dan negara yang lebih baik, lebih maju, lebih unggul, lebih makmur dan lebih adil atau menuju bangsa dan negara yang baldatun thoyibatun warabbun ghofur. DRS H ROMADLON MM, Ketua Komisi Hubungan Ulama Umara MUI Jatim.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved