Hikmah Ramadhan 2024

Ramadhan dan Tazkiyatun Nafs di Tengah Kompleksitas Kehidupan oleh Prof Dr Muhammad Turhan Yani MA

Ramadhan mengajarkan kepada umat manusia untuk membersihkan dan mensucikan diri dari sifat-sifat buruk yang ada dalam diri melalui berpuasa.

Penulis: Abdullah Faqih | Editor: Cak Sur
Istimewa
Guru Besar FISIP, Direktur LPPM Universitas Negeri Surabaya, Ketua Komisi Pendidikan MUI Provinsi Jatim, Prof Dr Muhammad Turhan Yani MA. 

SURYA.CO.ID - Ramadhan mengajarkan kepada umat manusia untuk membersihkan dan mensucikan diri dari sifat-sifat buruk yang ada dalam diri melalui berpuasa.

Sifat-sifat buruk dalam diri manusia posisinya beda-beda, ada yang hinggap dalam waktu lama dan ada yang sebentar.

Tantangan terberat adalah membersihkan dan menyucikan diri dari sifat-sifat buruk yang sudah hinggap lama, bagaikan kerak yang nempel pada keramik, perlu alat pembersih yang ampuh supaya cepat dan mudah hilang.

Pada diri manusia, sifat-sifat buruk itu disebut kotoran atau sampah, anehnya sebagian manusia sering dan kadang senang menyimpan kotoran dan sampah dalam dirinya.

Bagi yang memiliki kemauan untuk membersihkan kotoran atau sampah, diperlukan kekuatan diri dan komitmen untuk menindaklanjuti agar kotoran dan sampah tersebut tidak menjadi penghalang (hijab) kebaikan, kebenaran dan hikmah yang masuk pada dirinya.

Kekuatan Spiritual Puasa Ramadhan

Tidak dapat dipungkiri, jiwa yang bersih dan suci (tazkiyatun nafs) dapat ditembus dan sekaligus menembus batas atau sekat ruang dan waktu.

Ruang fisik dan nonfisik dapat dilalui oleh orang-orang yang mendapat kemuliaan (karomah) yang diperoleh dengan latihan-latihan spiritual (riyadloh) dengan cara-cara yang benar menurut agama, salah satunya melalui berpuasa.

Demikian pula keberadaan waktu, selalu dimanfaatkan dengan lompatan-lompatan kebaikan dan kemanfaatan, sehingga tidak ada waktu yang sia-sia.

Sebaliknya jiwa yang kotor, penuh dengan noda dan dosa akan menjadi penghalang bagi siapa pun untuk bisa menerima nasihat, kebaikan dan kebenaran yang datang kepadanya. Sekalipun dari jarak yang dekat secara fisik. Mengapa? karena masih ada penghalang berupa kotoran dan sampah yang melekat pada dirinya, itulah sifat-sifat buruk (madzmumah).

Ketika jiwa bersih dan suci dari kotoran serta sampah, maka hati dan pikiran dapat berfungsi dengan baik untuk membaca situasi, menelaah, dan menganalisis berbagai fenomena alam dan fenomena sosial.

Hati dan pikiran yang bersih (qolbun wa aqlun saliim) dari kotoran-kotoran akan menghasilkan pribadi berakhlak.

Dalam konteks ini, Ramadhan menjadi pembakar kotoran dan sampah berupa sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri manusia. Sehingga diharapkan tujuan berpuasa bagi orang-orang yang menunaikannya akan terbentuk, yaitu menjadi pribadi bertakwa (muttaqin).

Dan, pribadi bertakwa secara sosial akan memberikan dampak positif dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.

Dengan riyadloh tingkat tinggi, salah satunya melalui berpuasa, orang-orang tertentu dianugerahi mendapatkan keistimewaan atau kemuliaan (karomah).

Oleh karena itu, tidak heran dalam faktanya banyak orang alim yang allaamah (para wali, kiai, dan habib) memiliki ilmu mukasyafah (menembus tabir) secara cerdas dan tepat.

Hal demikian tidak lepas dari jiwa yang bersih dan suci yang telah melekat pada dirinya, sehingga hati dan pikirannya dapat menembus sekat-sekat fisik dan non fisik.

Dari fakta inilah, banyak orang yang sowan kepada para wali, kiai dan habib untuk mohon doa restu atau mohon dapat barokahnya, karena kemuliaan ilmu dan akhlaknya.

Bukan karena harta dan kepopulerannya, mereka dengan riyadloh spiritualnya menjadi pribadi teladan yang layak menjadi role model bagi kehidupan umat manusia, karena merekalah sesungguhnya pewaris Nabi.

Derajat (maqom) keilmuan dan pribadi berakhlak menjadikan para wali, kiai dan habib didatangi/disowani oleh kalangan masyarakat.

Hal demikian dapat dilihat, khususnya ketika seseorang memiliki hajat tertentu. Baik dari kalangan pejabat, akademisi, politisi, profesional maupun orang biasa silaturrahim dan sowan kepada orang-orang mulia tersebut untuk mendapatkan wasilah (link) kepada Allah melalui nasihat-nasihat, hikmah dan doa-doa yang dimunajatkan kepada Allah.

Kekuatan spiritual orang-orang istimewa tersebut tidak tiba-tiba dimiliki, akan tetapi melalui proses panjang dan lama. Di antaranya tirakat dan riyadloh-(latihan spiritual) seperti puasa Senin dan Kamis, atau puasa Dawud secara istiqomah dan tirakat-tirakat lainnya.

Sehingga, pengembaraan spiritualnya melalui taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah, menjadikan dirinya pribadi yang baik (akhlaqul karimah) dan membuahkan keistimewaan serta kemuliaan yang Allah anugerahkan kepadanya.

Dalam konteks Ramadhan yang di dalamnya ada perintah berpuasa, kekuatan spiritual Ramadhan di atas puasa-puasa sunnah di bulan lainnya.

Oleh karena itu, diperlukan internalisasi dan pembiasaan-pembiasaan kebaikan yang dapat mengasah dimensi batin manusia. Tidak sekedar puasa fisik, akan tetapi juga puasa dalam pengendalian sifat-sifat buruk, sehingga hati dan pikiran menjadi lebih jernih dan terbuka menerima nasihat dan kebaikan yang datang kepadanya.

Selanjutnya, bisakah orang awam mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs) melalui puasa Ramadhan? Jawabannya bisa, minimal dia dapat mengendalikan sesuatu yang buruk mulai dari fajar sampai matahari terbenam.

Pada masa itu pula, jiwanya telah terbentengi dari sifat-sifat buruk seperti mengumpat, bermusuhan, korupsi dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW mengajarkan ketika seseorang berada dalam berinteraksi sosial yang tidak baik, diajarkan untuk menegaskan diri inni shoimun (sesungguhnya saya berpuasa).

Penegasan ini, sebagai pengingat dan sekaligus untuk mencegah supaya keburukan itu tidak dilakukan karena sedang berpuasa.

Secara substansi menunaikan puasa Ramadhan diharapkan tidak hanya berhenti saat ibadah puasa dilaksanakan, akan tetapi juga berdampak positif sampai masa selanjutnya, sehingga efek dari puasa dapat membersihkan hati dan pikiran kotor.

Di tengah kompleksitas kehidupan saat ini, khususnya dalam menghadapi situasi dan kondisi bangsa dalam berbagai aspek diperlukan sikap yang mengedepankan sifat-sifat terpuji.

Tidak hanya bagi orang-orang yang memiliki karomah, akan tetapi juga bagi masyarakat awam penting membiasakan diri menjadi orang yang jujur, senang berbuat baik kepada sesama (peduli sosial), menghormati satu sama lain, tidak menjadi pendendam dan lain sebagainya.

Efek dari pembiasaan sikap-sikap positif tersebut, akan melahirkan kehidupan sosial yang harmonis dan lebih baik.

Menutup tulisan ini, secara singkat dan penting ditegaskan momentum Ramadhan dari tahun ke tahun jangan sampai dilewati begitu saja tanpa menghasilkan pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan memberikan dampak positif bagi kehidupan umat manusia. Wallahu A’lam Bisshawab. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved