Berita Jember

Penanganan Stunting, Masih Ada Ibu di Jember Kota Tak Mau Balitanya Diimunisasi

Seluruh Aparatur Sipil Negera (ASN) di Jember diminta untuk terlibat dalam upaya percepatan penurunan stunting.

Penulis: Imam Nahwawi | Editor: Titis Jati Permata
Foto Istimewa Humas Pemkab Jember
Balita diimunisasi di Posyandu di Kelurahan/Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. 

SURYA.CO.ID, JEMBER- Para Kader Posyandu di Kelurahan Jember Kidul Kecamatan Kaliwates Jember, sepertinya masih kesulitan untuk menangani kasus bayi stunting.

Hal tersebut lantaran, masih adanya ibu yang tidak membolehkan bayi berusia lima tahun (Balita) mereka diimunisasi di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

Berdasarkan hasil Data pada September 2023, balita stunting di Kelurahan Jember Kidul berjumlah 60 anak. Angka yang tergolong tinggi untuk wilayah kota.

Siti Holifa, Kader Posyandu RT 01 RW 06 Lingkungan Talangsari Kelurahan Jember Kidul mengakui masih adanya ibu menyusui, yang tidak mau balitanya dilakukan imunisasi.

"Pengalaman saya itu, ada ibu yang tidak mau anaknya di imunisasi. Karena setelah di imunisasi anak itu badannya panas dan rewel. Cuma kembali lagi pada SDM ibunya," ujarnya, Jumat (20/10/2023).

Selain itu balita yang dititipkan kepada neneknya, kata dia, hal itu juga menghambat proses imunisasi. Sebab, mereka tidak mau kalau cucunya rewel.

"Sampai sekarang pun juga ada seperti itu, di tempat saya juga ada yang tidak mau diimunisasi. Ada saja alasannya ketika mau dilakukan imunisasi, kadang ngaku sakit atau tiba-tiba bepergian," kata Kader Posyandu yang akrab disapa Olik ini.

Menurutnya, hal tersebut merupakan cara berfikir para orang tua bayi saja. Kata dia, mereka rata-rata tidak mau diobati bidan Puskesmas, tetapi memilih tim medis dari fasilitas kesehatan swasta.

"Lebih memilih berobat ke bidan Swasta. Itu hanya mindset aja sih, mereka menilai obat di swasta lebih bagus gitu. Jadi kami tidak masalah kalau begitu," tutur Olik.

Bila masuk jadwal imunisasi, lajut Olik, kader posyandu mengirim undangan kepada ibu balita. Kalau, mereka didatangi ke rumahnya dan dikasih tahu langsung secara lisan.

"Kalau tidak datang juga, bidannya akan menjemput. Kadang sampai di oprak oprak pernah juga. Tapi pada akhirnya mereka mau diimunisasi, walaupun dengan kondisi terpaksa," ungkapnya.

Di wilayah RT 01 RW 06 Lingkungan Talangsari Kelurahan Jember Kidul, Olik mengungkapkan ada tujuh balita. Namun dua diantaranya stunting.

"Menurut saya itu karena gen, soalnya kalau lihat ibunya, ibunya memang kecil. Padahal ibunya itu perhatian banget, kalau anaknya sakit sedikit, pertanyaannya banyak sekali. Tapi tidak tahu ya, soalnya ibu dari dua balita yang stunting itu tidak termasuk yang rewel," paparnya.

Sementara ibu hamil di wilayah kerjanya, Olik mengatakan ada dua orang. Satu diantaranya berisiko melahirkan balita stunting.

"Berisikonya itu usianya lebih dari 35 tahun, dan hamil anak ke tiga. Secara kesehatan kan berisiko. Kalau yang satu masih aman, karena hamil yang pertama," katanya.

Namun, Olik mengaku tidak bisa memberikan edukasi bagi calon pengantin yang hamil duluan sebelum menikah. Karena, perempuannya sudah terlanjur mengandung bayi.

"Misalnya mau mengedukasi calon pengantin, kalau hamil itu harus di usia sekian. Tapi kalau sudah kecelakaan dan hamil duluan, ya tidak bisa," jlentrehnya.

Sementara Data Dinas Kesehatan Jember, pada Agustus 2023 menggunakan alat timbang antropometri, prosentase balita stunting mencapai 6,35 persen.

Jumlah tersebut jauh dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan pada Desember 2022, yang menunjukan prevalensi balita stunting di Jember mencapai 34,9 persen.

Kepala Dinas Kesehatan Jember, Hendro Soelistijono mengakui adanya perbedaan data tersebut. Namun, dia mengaku menunggu hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang sekarang juga tengah melakukan pengukuran.

"Cuma bedanya, kami mengukur 98 persen balita di Jember atau sebanyak 150 ribu balita itu kami ukur semua. Itu hasilnya 6, 35 persen atau setara dengan 9.400 balita itu yang sekarang kondisinya stunting," katanya.

Dia mengatakan seluruh Aparatur Sipil Negera (ASN) di Jember diminta untuk terlibat dalam upaya percepatan penurunan stunting. Karena ini, adalah tanggung jawab bersama.

"Semua ASN diwajibkan punya anak asuh, atau yang mereka dampingi. Entah itu ibu hamil beresiko stunting, atau anak yang mau jatuh beresiko Stunting," kata pria yang akrab disapa dr Hendro.

dr Hendro ingin, dengan mengerahkan seluruh sumber daya manusia (SDM) Pemkab Jember tersebut. Bisa mengantisipasi terjadinya balita stunting baru.

"Melalui intervensi positif kepada ibu dan anak, agar tidak sampai jatuh melahirkan stunting baru," ulasnya.

Menanggapi hal ini, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Jember Dr Farida Wahyu Ningtyas, S.KM, M.Kes mengemukakan, berdasarkan hasil audit stunting, sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan masalah pertumbuhan balita.

"Ada stunting plus penyakit infeksi, artinya sanitasi pun juga harus jadi konsen untuk mensukseskan penangan stunting," tanggapnya.

Selain itu, kata dia, itu juga perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat mengenai stunting. Karena, kadang faktor budaya daerah juga mempengaruhi.

"Seperti yang pernah disampaikan pak Bupati, stunting juga sempat dianggap stigma negatif oleh masyarakat. Sehingga diperlukan pendekatan khusus kepada masyarakat, agar edukasi soal stunting itu bisa diterima oleh masyarakat," kata wanita yang akrab disapa Farida.

Farida mengakui mendidik masyarakat mengenai cara merawat kandungan dan balita itu tidak mudah. Sehingga harus banyak metode yang dipakai.

"Misalkan Posyandu di Kota cenderung tidak diminati. Ternyata mereka lebih memilik di rumah sakit atau ke dokter misalnya. Maka kader posyandu harus pro aktif mendatangi ibu tersebut dan mencatat hasil rekam medisnya," katanya.

Edukasi soal stunting, kata Farida, tidak cukup hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan saja. Tetapi juga melibatkan tokoh masyarakat dan agama.

"Melalui saluran komunikasi misalnya, dasawisma, pengajian dan semacamnya. Jadi harus mengoptimalkan semua saluran dan SDM yang ada di masyarakat," bebernya.

Melalui langkah tersebut, Farida menilai sosialisasi soal pencegahan stunting di Jember akan bisa diterima masyarakat. Namun, sasaran edukasi jangan hanya target primernya saja.

"Misalkan sasarannya ibu hamil, ibu hamilnya saja yang diundang. Tetapi ajak pula suami, mertua dan orang tua. Karena pola perilaku itu tidak akan bisa terbentuk tanpa dukungan keluarga," ulasnya.

BACA BERITA SURYA.CO.ID DI GOOGLE NEWS LAINNYA

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved