Siswa Blitar Meninggal Dianiaya

Siswa MTs Tewas Dianiaya Teman, Inilah Dosa Besar Pendidikan yang Harus Dihapus

Direktur Pusat Kajian dan Analisa Sosial Budaya Universitas Islam Blitar, Novi Catur Muspita komentari kasus siswa MTs di Blitar tewas dianiaya teman

Penulis: Nuraini Faiq | Editor: Cak Sur
Istimewa
Pengamat Sosial yang juga Direktur PAKASDA (Pusat Kajian dan Analisa Sosial Budaya) Unisba Blitar, Novi Catur Muspita. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Lagi-lagi bullying atau kekerasan kembali terjadi di lembaga pendidikan. Sosiolog yang juga Direktur Pusat Kajian dan Analisa Sosial Budaya Universitas Islam Blitar (Unisba), Novi Catur Muspita mengingatkan kita tidak hanya sebatas mengaku prihatin atas rentetan kekerasan ini.

Apalagi ini terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, madrasah Tsanawiyah (MTs atau SMP). Nyawa siswa melayang di tangan teman sendiri dan di kelas. Ini menjadi pukulan telak bagi seluruh pelaku pendidikan.

Kepala sekolah, guru Kemenag maupun Kemendikbud dan semua stake holders harus menghentikan bullying ini.

"Sekolah adalah tempat menuntut ilmu. Belajar tentang nilai, norma agama, sosial, kesopanan. Sekolah harus aman dan nyaman untuk semua," kata Novi.

Sebenarnya sudah ada pranata pendidikan, aturan dan pendidikan karakter di sekolah. Namun pada implementasinya belum optimal. Bahkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berkomitmen penuh untuk menghapus 'tiga dosa besar' di dunia pendidikan yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.

Caranya dengan keluar Permendikbud nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan untuk tingkat PAUD, Dasar dan Menengah.

Sekolah kini berlomba-lomba membangun pendidikan karakter. Penyampaian materi pendidikan karakter dan nilai atau norma sudah dilaksanakan. Namun kurang diimbangi dengan namanya kontrol sosial.

"Tidak bisa antikekerasan hanya cukup dibaca atau dihafalkan. Atau seremonial saja. Tapi lebih ke praktik sosial dengan internalisasi siswa. Melekat jiwa dan batin siswa. Kepedulian, simpati, empati itu harus ditanamkan dan ditumbuhkan," tegas Novi.

Orang melakukan kekerasan di usia belum matang bisa karena pengaruh kepribadian yang menyimpang atau ingin mencari perhatian dan popularitas. Apalagi di era keterbukaan informasi dan digitalisasi saat ini.

Novi melihat pengaruh hape (handphone) dan media sosial begitu kuat. Di Indonesia juga sangat bebas menyuguhkan berbagai konten, baik edukatif dan sebaliknya. Termasuk konten kekerasan sangat mudah diakses. Usia remaja belum bisa memilah lebih jauh.

Generasi gadget saat ini juga menggejala. Novi menyebut ciri anak kecanduan gagdet (medsos) cenderung antisosial, tidak komunikatif, tidak peka terhadap lingkungan, tidak punya rasa empati dan simpati dan tidak bisa berfikir jernih.

Potensi kekerasan di sekolah akan terus mengancam. Apalagi di era gadget begini. Semua pelaku pendidikan, sekolah, kepala Sekolah, guru, pejabat Kemenag maupun Kemendikbud untuk semakin memberi perhatian lebih terhadap pendidikan karakter.

Penanaman nilai dan norma agama, kesusilaan, kesopanan, melalui mata pelajaran muatan lokal khusus pendidikan karakter. Tiga dosa besar pendidikan yaitu anti Intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual harus dihapus dari muka bumi pendidikan. Sekolah wajib menjamin keamanan dan keselamatan siswa di lingkungan sekolah.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved