Pemilu 2024

Wawancara Eksklusif Ketua FKUB Jatim KH A Hamid Syarif, AWAS Kampanye Terselubung di Rumah Ibadah

Rumah ibadah terbilang rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik, berikut wawancara eksklusif dengan Ketua FKUB Jatim KH A Hamid Syarif

|
Penulis: Yusron Naufal Putra | Editor: Cak Sur
Youtube SURYA Online
Wawancara Eksklusif Ketua FKUB Jatim KH A Hamid Syarif, AWAS! Kampanye Terselubung di Rumah Ibadah 

Berdasarkan pengalaman anda aktif di FKUB, pernahkah ada dampak tertentu di rumah ibadah atau hubungan antara komunitas yang ada di rumah ibadah, yang ditimbulkan oleh gerakan politik?

Sepanjang ini mungkin ada. Tapi saya tidak mengcover peristiwa itu. Tapi pada umumnya kita melihat indikatornya saja. Bahwa jamaah dan tempat ibadahnya berjalan dengan baik. Berarti itu menunjukkan tidak ada persoalan pada waktu Pemilu sebelumnya.

Atau mungkin itu menjadi indikasi juga keberhasilan FKUB bersama para tokoh dalam sosialisasi bagaimana menyikapi politik?

Saya tidak bisa mengklaim bahwa ini keberhasilan FKUB. Tetapi saya mencoba melakukan koordinasi dengan para ketua majelis agama-agama. Karena mereka sangat memiliki peran strategis untuk sosialisasi apa yang diinginkan FKUB. Terus terang saja, FKUB tidak punya rumah ibadah. Yang punya adalah umat beragama. Kita secara struktural juga tidak punya kekuatan instruksi sebatas kita hanya imbauan dan koordinasi dengan majelis agama di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.

Pada umumnya kalau kita melihat struktur pemerintahan daerah otonomi itu kan di tingkat kabupaten/kota. Kemudian saya menyamakan FKUB ini sama dengan gubernur. Kepada Bupati/walikota itu kan tidak punya kewenangan instruktif. Jadi kita hanya sekedar imbauan kepada masyarakat khususnya. Sehingga mereka bisa mengikuti apa yang kita lakukan. Koordinasi lebih pada menyamakan persepsi. Jadi kalau ada masalah, kita koordinasi dengan FKUB kabupaten/Kota sebagai yang punya kewenangan menyelesaikan masalah.

Contohnya, adalah pendirian rumah ibadah. Itu rekomendasinya kan ada di FKUB Kabupaten/kota. Bukan pada provinsi. Karena provinsi hanya mendapat laporan kalau ada masalah. Kalau tidak ada masalah ya mereka menyelesaikan sendiri. Berarti dengan itu, FKUB provinsi tidak punya kewenangan untuk menyelesaikan persoalan karena ada di tingkat kabupaten/kota itu.

Kembali ke tema. Pemain politiknya umat beragama. Pemilik suara juga umat beragama. Penyelenggaranya juga umat beragama. Bagaimana agar pemain politik tetap nyaman masuk ke rumah ibadah dalam konteks dia beribadah. Tidak merasa akan dicurigai akan melakukan kampanye?

Terus terang benar. Bahwa di dalam pemilu nanti banyak orang beragama yang akan menjadi calon atau running. Baik tingkatan Pilpres, kepala daerah hingga anggota legislatif. Persoalannya sekarang, umat beragama punya dua sisi. Sisi warga negara, dan sisi penganut agama. Sebagai penganut agama dia wajib melaksanakan agamanya. Tapi sebagai warga negara, dia juga punya hak politik untuk memilih dan dipilih. Persoalannya, sekarang adalah kita kan tidak tahu siapa yang akan nyalon. Yang susah ini kan mendeteksi calon legislatif. Bagi saya yang penting secara politik dia berhak. Namun, dia sebagai orang yang beragama harus menjaga kedamaian, ketertiban.

Bagi saya bagaimana mencari keseimbangan ini supaya mereka tidak dicurigai. Pertama, jangan sampai membawa atribut atau aksesoris. Itu harus dilepaskan ketika akan beribadah. Jangan membawa aksesoris yang memancing kecurigaan orang. Jadi silakan datang ke rumah ibadah masing-masing tapi dalam konteks beribadah. Tetapi harus bersih dari konteks politik dan kepentingan.

Kabarnya FKUB Jatim baru menggelar rapat koordinasi, hasilnya seperti apa?

Jadi umat beragama yang paling banyak menggarap adalah FKUB. Itu dari semua unsur agama. Tidak hanya agama Islam saja. Kita mulai dari tahun 2020 mungkin. Telah melakukan sosialisasi buku moderasi beragama. Pertama, kepada seluruh pengurus FKUB di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 2022 pada kalangan pemuda. Lalu, pada tahun 2023 ini pada kaum perempuan. Jadi buku ini telah beredar. Kenapa moderasi beragama ini dikedepankan, karena orang bisa intoleran, bisa radikal, karena cara memahami agama yang salah. Karena itu kita mencoba bagaimana masyarakat diberi pemikiran yang moderat. Jadi pola berpikir keagamaan itu bisa menjadi dua macam.

Pertama, subjektivisme. Yakni, berpikir ala dirinya. Menafsirkan ajaran agama ala dirinya. Sehingga dalam menafsirkan itu yang paling benar yang lain dianggap salah itu yang bisa menyebabkan fanatisme radikalisme fundamentalisme kemudian kepada terorisme. Potensi itu ada pada semua agama.

Karena di Indonesia ini mayoritas agama Islam yang munculnya pelaku-pelaku teror dari Islam tapi kalau di India kan orang Hindu pelaku terornya orang Hindu karena mayoritas. Karena kalau mayoritas itu berbuat mereka dianggap sah gitu. Kemudian di Myanmar Buddha kemarin sama di mana mayoritas itu ya itulah yang menjadi pelaku radikalisme itu. Jadi persoalan moderasi ini bersumber kepada pola pemikiran agama itu sendiri. Kalau kita berpikir agama itu dalam bahasa saya inter subjektif jadi agama itu menurut dirinya benar tapi juga memahami agama lain benar itu tidak masalah. Jadi dirinya menafsirkan agama untuk dirinya yang paling benar tapi juga membenarkan keyakinan orang lain. Jadi itu koordinasi yang selama ini diambil tetapi juga FKUB ini menerbitkan majalah sudah beberapa kali terbit ini hampir 6 kali sudah dengan tema yang berbeda-beda yang terakhir yaitu forum itu ekosistem kerukunan beragama bagaimana menciptakan lingkungan itu supaya bisa menciptakan toleransi sesama umat beragama.

Hasil upaya moderasi beragama yang paling nampak dampaknya apa?

Jadi dampaknya khususnya di kalangan pengurus di daerah kemudian juga mungkin karena di situ ada berbagai elemen majelis agama ya mereka mengikuti pola pemikiran moderasi agama itu bahkan ini menjadi gerakan nasional dari semua pihak. Yang paling saya rasakan mereka juga menyebarkan ke daerah ke tempat-tempat yang belum tersentuh oleh FKUB provinsi kemudian dari situ akhirnya selama tahun 2022-2023 ini hampir tidak ada pemikiran yang radikal pemikiran teror dan semacam sudah hampir Jawa Timur ini kondusif. Dibanding tahun-tahun saat adanya bom gereja Diponegoro sama yang di Ngagel. Tapi bukan berarti ini hasil FKUB, Ndak. Saya tidak mengklaim. Itu hasil gerakan semua elemen.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved