Berita Surabaya

Cerita Guru dan Kepala Sekolah Pedalaman saat Implementasikan Ilmu Lewat Kurikulum Merdeka

Kondisi itu sempat membuat pelajar Indonesia, khususnya di kelas awal sekolah dasar banyak kehilangan pembelajaran (learning loss).

Penulis: Tony Hermawan | Editor: Titis Jati Permata
surya.co.id/tony hermawan
Siti Saudah, Kepala SD Inpres Langira, Kabupaten Sumba Timur membagikan strategi menerjemahkan kebutuhan siswa. 

Nah, dari situlah Puji mengetahui ternyata sebagaian besar siswanya belum bisa membaca.

"Saya kemudian kepikiran membagi 2 kelompok siswa. Kelompok pertama anak-anak yang sudah lancar membaca, sedangkan kelompok dua anak-anak yang baru mengenal huruf," kata Puji.

Ada dua treatment yang dilakukan Puji untuk memainkan peran sebagai pendidik di dua kelompok siswa itu. Masing-masing kelompok dibuatkan Lembar Aktivitas Siswa (LAS).

Bagi yang sudah bisa membaca diberi lembar soal-soal pertanyaan. Ini untuk menggali kemampuan murid memahami arti tulisan.

Sedangkan, murid yang masih baru mengenal huruf diberi buku yang banyak gambar-gambar lucu. "Saya rutin melakukan itu. Hari Senin membagi LAS, Sabtu saya evaluasi. Lalu juga memberikan materi-materi baru," ujar Puji.

Perjuangan Puji tak sia-sia. Jika pada Juli 2020, dari 21 siswa baru terdapat 86 persen siswa yang hanya mengenal huruf, jumlah itu berkurang menjadi 29 persen hanya dalam 5 bulan. Begitu pula pada level membaca pemahaman.

Pada Juli 2020 hanya 10 persen yang mampu paham membaca, maka jumlah itu meningkat menjadi 24 persen pada November 2020.

"Akhirnya LAS ini diterapkan di semua jenjang di sekolah saya," jelas Puji

Pengalaman lain diceritakan Siti Saudah, Kepala SD Inpers Langira, Kabupaten Sumba Timur. Letak sekolah SD Inpres Langira ada di pedalaman. Sangat jauh dari kota. Kurang lebih 85 kilometer dari Waingapu.

Gedung sekolah berada di atas bukit. Akses jalan menuju ke sekolah tersebut sangat menantang curam dan licin.

Sementara murid-muridnya sebagian besar anak-anak petani yang datang ke sekolah bertelanjang kaki.

Mereka berjalan selama satu jam atau lebih, mendaki bukit-bukit yang tandus dari kampung mereka nun di kaki bukit.

"Jadi kami sangat bersyukur kalau ada siswa datang memakai seragam," ujar Siti.

Perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah ini meskipun menjabat pimpinan di sekolah ternyata bukan pejabat sekolah yang acuh terhadap murid. Ia selalu resah apabila ada murid yang dicap 'bodoh'.

Keresahannya itu menjadikan landasannya untuk telaten mendorong murid-murid agar menguasai mata pelajaran.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved