Brigadir J Ditembak di Rumah Jenderal

ALASAN Hakim Tak Vonis Bebas Bharada E tapi 1,5 Tahun Penjara, Bisakah Richard Kembali ke Polri?

Terungkap alasan majelis hakim tidak memberikan vonis bebas terhadap Bharada E (Richard Eliezer Pudihang Lumiu) di perkara pembunuhan Brigadir J. 

Editor: Musahadah
youtube kompas TV
Bharada E menangis seusai divonis 1 tahun 6 bulan dalam perkara pembunuhan Brigadir J di PN Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023). 

SURYA.CO.ID - Terungkap alasan majelis hakim tidak memberikan vonis bebas terhadap Bharada E (Richard Eliezer Pudihang Lumiu) di perkara pembunuhan Brigadir J

Seperti diketahui, Bharada E divonis 1 tahun 6 bulan penjara, lebih rendah dari terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Maruf dan Ricky Rizal.   

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Bharada E secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana. 

Terkait pembelaaan terdakwa dan kuasa hukumnya yang meminta agar Bharada E bebas dari hukum, hakim memberikan sejumlah pertimbangan. 

Dikatakan hakim, tidak tepat kalau terdakwa dipandang sebagai alat sehingga tidak bisa dimintai pertanggungjawabkan.

Baca juga: BIODATA Richard Eliezer yang Divonis 1 Tahun 6 Bulan, Tangis Bharada E Pecah di Hadapan Hakim

Alasannya, perintah itu tidak semata-mata seketika, melainkan sudah dilakukan terdakwa sejak di rumah Saguling ketika dia dipanggil Ferdy Sambo di lantai tiga. 

"Terdakwa berdoa agar Tuhan mengubah rencana, menunjukkan terdakwa mampu berpikir dan menyadari sepenuhnya perintah menembak Yosua adalah salah.

"Seharusnya terdakwa dapat menemukan cara agar Brigadir J mampu terhindar dari penembakan," kata hakim Alimin Ribut Sujono saat membacakan pertimbangan putusannya. 

Terkait alasan Bharada E yang mengaku mengalami tekanan batin dan takut ditembak Ferdy Sambo kalau dia menolak, menurut hakim hal itu berlebihan. 

Alasannya penembakan itu semata-mata ditujukan kepada Brigadir J yang melakukan pelecehan terjadap PUtri Candrawathi. 

Selain itu, terdakwa lain Ricky RIzal juga bisa menolak dan Ferdy Sambo tidak melakukan apapun. 

Lalu, soal level kepangkatan Bharada E yang 18 tahun lebih rendah dengan Ferdy Sambo dan dia tidak diajarkan menganalisa perintah tapi hanya patuh dan taat, alasan itu juga tidak bisa diterima hakim.

"Sebagai penegak hukum, diajarkan menjunjung hukum. Seharusnya ketaatan itu ditujukan kepada hukum," kata hakim. 

Sedangkan terkait perintah jabatan sehingga tidak bisa dipidana, hakim memastikan perintah tembak itu bukan perintah jabatan. 

"Sejak diperintah Ferdy Sambo terdakwa berdoa, berarti menyadari perintah adalah salah, Ferdy Sambo tidak punya kewenangan. Penembakan juga bukan merupakan tugas terdakwa. Jelas bukan perintah jabatan," kata hakim Alimin. 

Llau, soal adanya daya paksa, hakim mengakui memang terdakwa memiliki tekanan psikologis karena mendapat perintah dari atasan yang jauh lebih tinggi pangkatnya. 

"Namun demikian, tekanan psikologis harus dilihat dari sisi lain, bahwa ada tekanan psikologi juga untuk melakukan hal yang benar. Korban merupakan teman dekat dan tidur di tempat yang sama.
Seharusnya memilih yang benar," kata hakim. 

Karena alasan-alasan itu lah, hakim memutuskan bahwa BHarada E harus bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dilakukan. 

Meski terbukti bersalah, hakim lalu mempertimbangkan posisi Bharada E sebagai justice collaborator. 

Hakim mendasarkan hal itu pada Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan bahwa seseorang bisa menjadi justice collaborator ketika melakukan tindak pidana dalam kasus tertentu yang membuat dia terancam jiwanya. 

"Tindak pidana dihadapi Richard Eliezer dapat dikategorikan termasuk dalam pengertian tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam UU 31 tahun 2014," katanya. 

Lalu, syarat kedua yang mengharusnya ustioce collaborator adalah bukan pelaku utama. 

Majelis hakim memasyikan Bharada E bukan lah pelaku utama karena dia hanya menjalankan perintah dari Ferdy Sambo. 

Majelis hakim juga menimbang bahwa di dalam kasus ini banyak barang bukti yang tidak ditemykan, diganti hingga dikaburkan. 

Dan, fakta persidangan menunjukkan bahwa Bharada E telah membuat terang hilangnya nyawa yosua dengan keteranagn jujur, konsisten, logis dan bersesuaian dengan alat bukti tersisa lainnya.

"Meskipun sangat membahayakan jiwanya, terdakwa praktis berjalan sendirian," kata hakim Alimin. 

Majelis hakim juga telag menerima amnicus curai dari banyak pihak yang pada pokoknya menjelaskan bahwa kejujuran dan keberanian adalah kuci keadilan bagi semua.

"Menimbang bahwa sesuai pasal 5 ayat 1 UU Nomor 46 tentang Kekuasaan Kehakiman majelis bukan tekanan sebaliknya mamandang kecintaan kepada bangsa dan nengara bagi penegak hukum," kata hakim. 

Majelis hakim juga memperimbangkan harapan masyarakat yang mendambakan keadilan terhadap Bharada E. 

"Kejujuran, keberanian dan keteguhan terdakwa dengan berbagai resiko layak terdakwa ditetapkan sebagai justice collaborator," katanya. 

"Terdakwa menyadari kesalahannya, menyesal dan meminta maaf. Berbalik 180 derajat melangkah maju memperbaiki kesalahan meskipun melewati jalan terjal, beresiko, bentuk pertaubatan. Adalah adil jika pidana yang ditentukan sebagaimana dalam amar putusan," terang hakim Alimin. 

Hakim lalu menguraikan hal yang memberatkan BHarada E yakni hubungan yang akrab dengan korban tidak dihargai terdakwa sehingga Yosua meninggal dunia. 

Sedangkan hal yang meringankan: 

- Terdakwa adalah saksi pelaku yang bekerjasama

- Terdakwa berperilaku sopan

- Belum pernah dihukum

- Terdakwa masih muda sehingga diharapkan mampu memperbaiki kesalahannya

- Terdakwa menyesali dan berjani tidak mengulangi perbuatannya

- Keluarga korban telah memaafkan

Ingin kembali ke Polri

Di bagian lain, kuasa hukum BHarada E, Ronny Talapessy mengucap syukur atas  vonsi 1 tahun 6 bulan untuk Richard Eliezer. 

Ronny pun mengucap terimakasih kepada semua pihak yang selama ini mendukungnya. 

Ronny memastikan akan menerima vonis ini dan tidak mengajukan banding. 

Dia pun berharap jaksa penuntut umum untuk tidak mengajukan banding  atas vonis ini. 

Ronny juga mengungkap cita-cita BHarada E setelah menuntaskan kasus ini. 

Menurutnya. Bharada E berkeinginan untuk kembali ke Polri. 

"Dia bangga menjadi anggota brimob, Icad tulang punggung keluarga.

Harapan kami icad kembali menjadi anggota polri," katanya. 

Hal serupa juga diungkapkan Edwin Partogi, Wakil Ketua LPSK.

Namun, apakah Bharada E bisa kembali ke Polri, Edwin tidak mengetahuinya.   

"Silakan tanyakan ke Polri. kita sepenuhnya serahkan ke polri," kata Edwin dikutip dari tayangan CNN. 

Visum ke-2 Tak Dipertimbangkan

Bharada E mendengar vonis dari majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (15/2/2023).
Bharada E mendengar vonis dari majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (15/2/2023). (kolase kompas TV)

Terkait bukti surat visum et repertum pemeriksaan jenazah Brigadir J, majelis hakim menguraikan ada dua bukti surat yang diajukan di persidangan, yakni surat tertanggal 14 Juli 2022 yang ditandatangani dr Farah dari RS Bhayangkara Psdokkes Polri serta hasil otopsi ulang yang dilakukan pada 27 Juli 2022. 

Dari visum tertanggal 14 Juli 2022 itu menyebutkan ada 7 peluru masuk dan 6 peluru keluar yang ditemukan dari jenazah Brigadir J. 

Sementara hasil visu kedua menyebutkan ada 5 luka tembak masuk dan 4 luka tembak keluar. 

Visum yang dilakukan dr Farah dkk dilakukan langsung setelah kejadian pada tanggal 8 Juli 2022 malam sampai selesai.

Sementara visum kedua dilakukan setelah 17 hari jenazah diawetkan. 

Hakim lalu merujuk pada keterangan dokter Ade Firmansyah yang menyebutkan pemeriksaan yang sudah dilakukan beberapa hari setelah meninggal lebih sulit daripada yang awal dan kondisi jenazah sudah berubah. 

Karena itu, majelis hakim mengesampingkan keterangan ahli hasil ekshumasi.

"Visum et repertum tanggal 14 Juli 2022 yang ditandatangani Dokter Farah P Karouw yang menyebutkan adanya 7 peluru masuk dan 6 peluru keluar, dijadikan dasar pertimbangan dalam perkara ini," kata hakim majelis hakim Alimin Ribut Sujono saat menguraikan pertimbangan putusan. 

Barang Bukti Peluru Milik Ferdy Sambo 

Majelis hakim juga mengurai terkait barang bukti senjata yang digunakan untuk menembak Brigadir J. 

Dikatakan, barang bukti perkara ini berupa 10 selongsong peluru, dua diantaranya dari senjata HS dan 8 lainnya dari senjata glock. 

Menurut hakim, keterangan ahli balistik Arif Sumirat yang menyebut bahwa 8 selongsong peluru itu milik BHarada E adalah tidak benar. 

Hal ini dilandasi fakta bahwa senjata Glock 17 hanya berisikan 17 peluru. Dan setelah dicek ternyata dalam senjata Bharada E masih ada sisa 12 peluru. 

Itu artinya maksimal peluru yang ditembakkan Bharada E hanya lima peluru, yang berarti ada 3 selongsong peluru yang bukan berasal dari dsenjata glock milik Bharada E. 

Lalu milik siapa 3 peluru dari senjara glock 17? 

Diterangan hakim Alimin, bertitik tolak dari keterangan Bripka Ricky Rizal dan Kuat Maruf bahwa di lokasi hanya ada dua orang yang menembak yakni BHarada E dan Ferdy Sambo, akhirnya hakim bisa menyimpulkan.

"Disimpulkan ada 2 tembakan yang dilakukan Ferdy Sambo ke tubuh Yosua," katanya. 

Selain itu, mengingat skenario yang dibuat Ferdy Sambo adalah tembak menembak, maka tidak mungkin suami Putri Candrawathi itu menembakkan senjata HS milik Yosua. 

Hakim kemudian mengungkap adanya barang bukti lain berupa satu pucuk senjata glock 17 warna hitam milik Ferdy Sambo yang disita dari rumah Saguling berdasarkan surat penetapan PN Jakarta Selatan yaitu surat penyitaan penggeledahan tanggal 9 Agustus 2022.

Hal ini juga merujuk pada keterangans aksi Rifaizal Samuel yang melihat ada senjata di pinggang Ferdy Sambo saat melakukan olah TKP. 

Ini selaras dengan keterangan Bharada E yang melihat Ferdy Sambo menembak menggunakan senjata glock warna hitam. 

Perintah Hajar Tak Selaras

Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo menjalani sidang di ruang sidang PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (13/2/2023). Ketua Majelis Hakim Wahyu Imam Santoso memvonis mantan Kadiv Propam tersebut hukuman mati karena terbukti sebagai dalang pembunuhan berencana Brigadir J.
Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo menjalani sidang di ruang sidang PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (13/2/2023). Ketua Majelis Hakim Wahyu Imam Santoso memvonis mantan Kadiv Propam tersebut hukuman mati karena terbukti sebagai dalang pembunuhan berencana Brigadir J. (Tribunnews/Jeprima)

Hakim juga mempertimbangkan kesaksian Ferdy Sambo yang menyangkal memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir J, melainkan hanya memintanya menghajar.

Menurut hakim, hal itu tidak selaras dengan apa yang dikatakan Ferdy Sambo di rumah Saguling baik kepada Bripka RIcky Rizal maupun ke Bharada E. 

Kepada Bripka Ricky, Ferdy Sambo meminta dia untuk memback up jika BRigadir J melawannya. 

Sedangkan kepada Bharada E, Ferdy Sambo memerintahkan untuk menembak mati Brigadir J dengan mengatakan: Memang harus dikasih mati anak ini, kamu yang tembak, maka saya jagain kamu, kalau saya yang tembak, gak ada yang jaga kita"

Lalu, berkaitan dengan pernyataan Ferdy Sambo yang mengaku tidak menembak Brigadir J, haim kembali merujuk pada hasil visum dikaitkan dengan jumlah peluru yang menjadi barang bukti. 

"Berkaitan dengan visum et repertum yang mengatakan adanya 7 peluru masuk dan 6 peluru keluar, sementara senjata glock milik terdakwa berisi 17 peluru, ditembakkan ada 5 peluru. Oleh karena itu, yang jadi 2 peluru ditembakkan oleh siapa? Di pertimbangan sebelumnya tembakan tidak lain dan tidak bukan, dilakukan oleh Ferdy Sambo," tegas hakim. 

>>>Ikuti Berita Lainnya di News Google SURYA.co.id

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved