Brigadir J Ditembak di Rumah Jenderal
BIODATA Mantan Hakim Asep Iwan Iriawan yang Tantang Jaksa Agung ST Burhanuddin Debat Soal JC Eliezer
Asep Iwan Iriawan, pakar hukum pidana sekaligus mantan hakim menantang jaksa agung ST Burhanuddin debat terbuka.
SURYA.CO.ID - Ini lah profil dan biodata Asep Iwan Iriawan, pakar hukum pidana sekaligus mantan hakim yang menantang jaksa agung ST Burhanuddin debat terbuka terkait justice collaborator (JC) dan tuntutannya.
Tantangan Asep Iwan Iriawan ini diucapkan saat dia menjadi narasumber acara Primetime News yang tayang di Metro TV, Kamis (2/1/2023).
Tantangan Asep Iwan Iriawan itu diserukan setelah jaksa penuntut umum menuntut Bharada E (Richard Eliezer Pudihang Lumiu) 12 tahun penjara atas kasus pembunuhan Brigadir J.
Awalnya, Asep yang pernah menghukum mati terdakwa kasus narkotika ini menyoroti dalih jaksa yang menyebut Bharada E sebagai eksekutor.
Menurutnya, pernyataan itu salah.
Baca juga: SURAT HARU untuk Bharada E Dibocorkan LPSK Selain Hadiah Ini, Mantan Hakim Sebut Vonis 1 Tahun Cukup
"Kalau belajar hukum harus belajar terminologi hukum. Eksekutor adalah yang melaksanakan eksekusi. Kalau pidana yang melaksanakan eksekusi itu jaksa penuntut umum. Justru JPU sendiri yang eksekutor, kalau perdata namanya juru sita," terang Asep.
Kalau JPU menggunakan Pasal 55 KUP untuk menjerat, jelas Bharada E bukanlah eksekutor.
"Eliezer itu yang disuruh melakukan, yang nyuruh Sambo. Kalau sekarang dia mengatakan hukuman lebih besar karena eksekutor, ini gimana sih, ngerti hukum gak. Justru anda itu ekskeutor, melaksanakan eksekusi. Eksekusi artinya upaya paksa," tegas Asep.
Menurut Asep, Eliezer itu tidak melaksanakan upaya paksa dia, tapi dia diperintah oleh sang jenderal. Dan dia harus tunduk, patuh dan taat.
Selain eksekutor, Asep juga menyoroti jaksa yang menganalogikan tuntutan Bharada E dengan Ferdy Sambo yang lebih berat.
Menurut Asep, tindakan jaksa itu jelas salah.
"Ngerti gak di pidana itu gak boleh analogi, satu berkas satu perkara, itu lah yang diproses," katanya.
Menurut Asep, karena status Bharada E sejak awal adalah justice collaborator, maka harus diperlakukan sebagai JC, jangan dikatakan sebagai eksekutor.
Asep melihat jaksa dalam hal ini kebingungan, dan dia memahami posisi jaksa itu seperti Bharada E saat disuruh menembak Brigadir J.
"Saya percaya JPU di ruang sidang orang-orang pintar, Di situ ada mahasiswa saya. Di situ orang-orang jenius, orang cerdas. Disayangkan tadi," ungkapnya.
Asep justru heran dengan sikap jaksa agung muda pidana umum (Jampidum) yang getol sekali mengklarifikasi hal ini.
Padahal, menurutnya, di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memiliki bagian humas yang seharusnya sudah bisa mengatasai hal ini.
"Kenapa sih, di Kejaksanan Jakarta Selatan itu ada humas. Kenapa dijelaskan oleh jaksa agung muda. Kenapa segitu semangatnya menjelaskan, jelaskan saja humas, kan lebih tahu," ujarnya.
Agar hal ini lebih jelas, Asep lalu menantang jaksa agung untuk berdebat dengannya tentang justice collaborator dan tuntutan itu.
"Sayu minta jaksa agung berhadapan dengan saya debat terbuka tentang pengertian eksekutor, dilema yuridis apalagi tuntutan 12 tahun. Seluruh media, silakan kutip, resmi lho pernyataan saya," tukasnya.
Siapa sebenarnya Asep Iwan Iriawan?

Asep Iwan Iriawan merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Khatolik Parahiyangan pada tahun 1996.
Asep lalu melanjutkan pendidikan S2 hukum di Universitas Gadjah Mada lalu program doktor di Universitas Padjajaran. '
Dia sempat menjadi hakim dari tahun 1987 hingga tahun 2006.
Dikutip dari Tempo.co tanggal 16 November 2012, lelaki Sunda ini lahir di keluarga yang serba berkecukupan.
Ayahnya, Abidin Sukarjo, adalah seorang pensiunan perwira di Komando Distrik Militer Siliwangi, Jawa Barat.
Kerasnya ketukan palu hakim Asep mulai jadi pembicaraan ketika bersama dua koleganya, Satria U.S. Gumay dan Prim Haryadi.
Ia tanpa ragu menjatuhkan hukuman mati terhadap lima pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Agustus 2000.
Tiga di antaranya kakak beradik warga Indonesia, Meirika Franola alias Ola, 30 tahun, Rani Andriani (25), dan Deni Setia Maharwan (28), yang tertangkap basah ketika berupaya menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain ke London, Inggris, lewat Bandara Soekarno-Hatta.
Ola adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotik.
Sebelumnya, ia juga telah mengirim dua terdakwa sejenis untuk dihadapkan ke depan regu tembak.
Mereka adalah Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, dua lelaki berkebangsaan Nepal yang dicokok aparat dengan 1.750 gram heroin di tangan.
Sikap tanpa kompromi ini bukannya tanpa pertimbangan. Menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, ini, majelis telah memikirkannya masak-masak.
"Karena kesalahannya berat, hukumannya juga harus berat. Hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan adalah hukuman mati. Karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati sesuai dengan kehendak masyarakat yang ingin para pengedar narkotik dihukum seberat-beratnya," katanya, dikutip dari Tempo.
Tak lama setelah vonis fenomenalnya itu, pada tahun 2000, ia ditarik masuk Jakarta menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekaligus di pengadilan niaga.
Di PN Jakarta Pusat, setidaknya dia menyidangkan dua kasus besar, yakni dugaan korupsi Cessie Bank Bali yang melibatkan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Sjahril Sabirin.
Sjahril divonis tiga tahun penjara.
Kasus besar lain adalah Hendra Rahardja yang terlibat dalam dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Harapan Sentosa (BHS) senilai Rp 305 miliar. Kakak kandung buron Edi Tansil itu pun divonis seumur hidup.
Tahun 2006, Asep mengambil keputusan penting, dia mundur dari profesi hakim yang telah digeluti belasan tahun.
Saat itu dia menjabat sebagai wakil ketua Pengadilan Negeri Pemalang, Jateng.
Sebagai hakim, prestasi pria kelahiran Bandung itu juga terbilang gemilang. Sebab, jabatan itu diraih saat usianya masih terbilang muda, yakni 44 tahun. Hakim-hakim lain biasanya meraih posisi itu pada usia sekitar 50 tahun.
Namun, karena tak kerasan dengan lingkungan peradilan yang disebutnya selalu bertentangan dengan hati nurani, Asep memutuskan keluar.
Asep memilih jalan hidupnya sendiri dengan mengajar di berbagai universitas swasta di Jakarta dan Bandung.
Dari Senin hingga Kamis, Asep mengajar di Universitas Trisakti, Jakarta.
Pada akhir pekan dia harus ke Bandung. Di sana dia mengajar di beberapa universitas. Selain Universitas Parahyangan dan Universitas Padjajaran, dia mengajar di Unikom dan beberapa universitas swasta lain.
Di situs mappifhui.org, Asep juga menjadi dewan pakar Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (berbagai sumber)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.