Berita Pacitan
Limbah Gergaji untuk Menerangi Negeri
Kebutuhan sawdust sebagai bahan campuran bahan bakar batubara di PLN NP UP Pacitan, dipasok dari usaha pemotongan kayu yang berada di Pacitan
Penulis: Rahadian Bagus | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID, PACITAN – Suara mesin gergaji kayu terdengar jelas di tempat pemotongan kayu atau sawmill milik Parnyoto (50), di Dusun Wora-wari, Desa Pager Kidul, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Sejumlah orang tampak menurunkan puluhan batang kayu jenis sengon laut dari truk.
Sementara itu, ada sebagian orang tampak sedang memotong batang kayu menggunakan mesin gergaji.
Batang kayu yang semula berbentuk bulat memanjang, dipotong menjadi beberapa bagian hingga berbentuk kotak memanjang.
Tampak tumpukan serbuk kayu atau sawdust yang dihasilkan dari proses pemotongan kayu tersebut. Tak jauh dari lokasi penggergajian tampak tumpukan sawdust yang sudah menggunung.
“Satu bulan bisa tiga hingga empat ton (sawdust),” kata Pranyoto pemilik usaha pemotongan kayu yang berlokasi di tepi Jalur Lintas Selatan Pacitan-Trenggalek ini, saat ditemui SURYA.CO.ID pada Rabu (28/12/2022) siang.

Pranyoto mengaku, dahulu ia kesulitan untuk membuang limbah dari kayu yang digergaji tersebut. Tempat usahanya yang tidak begitu luas, tidak bisa menampung sawdust yang setiap hari bertambah.
“Kalau dulu ya dibuang, kalau tidak dibakar. Kalau ada yang mau ya diberikan gratis,” terangnya.
Bahkan, tidak jarang ia harus mengeluarkan biaya untuk membuang limbah kayu dari sawmill miliknya. Setidaknya ia harus merogoh kocek sekitar Rp 500 ribu untuk membayar sewa angkutan dan kuli, sebulan sekali.
Namun, kata Pranyoto, sudah sekitar dua tahun ini sawdust dari tempat pemotongan kayu miliknya dibeli oleh pengepul untuk dijual lagi ke PLTU Pacitan (PLN Nusantara Power UP Pacitan) yang lokasinya tak jauh dari tempat usahanya.
“Kalau sekarang sudah ada yang cari, dibeli Rp 200 ribu satu truk kecil itu. Jadi sangat membantu sekali. Dulu pakai biaya, sekarang malah dibeli,” ujarnya.
Senada juga dikatakan, Rafiq Mudsanan (35) warga Dusun Damas, Desa Hadiwarno, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan.
Pemilik usaha sawmill UD Sidomakmur ini, mengaku mendapat penghasilan tambahan dari menjual sawdust yang dahulu tidak memiliki nilai.
“Kalau masyarakat di sini menyebutnya kuntuk grajen. Kalau nggak dibuang, dipakai untuk membakar genteng,” katanya.
Pria kelahiran Banyumas ini mengatakan, dalam satu bulan, sawmill miliknya bisa menghasilkan sekitar lima truk engkel sawdust dengan perkiraan satu engkel mampu memuat sekitar 4 ton sawdust. Satu engkel sawdust biasanya dibeli sekitar Rp 150 ribu oleh pengepul.
“Lumayan lah, bisa buat tambah-tambah biaya operasional daripada dibuang,” ujar Rafiq.
Mujianto (42) warga Dusun Krajan, Desa Sumberejo, Kecamatan Sudimoro, Kabupaten Pacitan juga ikut ketiban rejeki dari adanya limbah sawdust yang melimpah di Kabupaten Pacitan.
Sudah sekitar dua tahun ini, ia berprofesi menjadi pengepul sawdust.
“Dulu saya kerja sebagai sopir di PLTU, tapi setelah ada pekerjaan ini (pengepul sawdust) saya keluar. Karena hasilnya lebih menjanjikan,” kata ayah satu anak ini sambil tersenyum.
Pria yang akrab disapa Giran ini menuturkan, sawdust atau limbah serbuk gergaji kayu sangat melimpah di Kabupaten Pacitan. Sebab, di Kabupaten Pacitan banyak sekali terdapat usaha sawmil dan juga industri kayu.

“Dulu satu hari saya bisa dapat 250 ton sawdust per hari, tapi kalau sekarang maksimal 80 ton hingga 100 ton,” kata pria lulusan sekolah menengah atas ini.
Ia mengambil sawdust dari tempat pengolahan kayu atau sawmill milik perorangan di lima kecamatan wilayah Kabupaten Pacitan. Sawdust tersebut merupakan hasil limbah serbuk gergaji dari kayu akasia, sengon laut, mahoni dan jati.
Sawdust tersebut, ia kumpulkan dari tempat pengolahan kayu, kemudian ia jual lagi ke supplier dengan harga Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu per truk kapasitas 8 ton.
Ketika ditanya berapa keuntungan atau penghasilan yang dia dapat dari menjual sawdust, Giran enggan menyebutkan.
Namun, dari Giran yang dulunya hanya berpenghasilan UMR, kini ia bisa membeli dua truk dalam waktu sekitar dua tahun.
Giran mengatakan, adanya kebutuhan sawdust oleh PLTU, ikut membantu mendongkrak perekonomian masyarakat Pacitan.
Selain menambah penghasilan bagi para pelaku usaha sawmill, sawdust yang kini bernilai jual juga membantu perekonomian warga yang bergerak di bidang jasa angkut.
Tidak ingin menikmati rejeki dari sawdust sendirian, Giran mengajak warga Kecamatan Sudimoro yang tinggal di sekitar PLTU Pacitan untuk ikut menjadi pengepul sawdus.
Kini, ada sekitar 20 warga Sudimoro yang tergabung dalam Kelompok Bolo Rodo ikut menjadi pengepul sawdust seperti Giran.
“Dulu mereka biasanya mengangkut material batu atau pasir. Sekarang banyak yang beralih ke sawdust. Ada sekitar 20 armada. Sekali angkut ada satu sopir dan dua kuli, kadang lebih,” ucapnya.
Girana menambahkan, seiring dengan bertambahnya permintaan sawdust, ia dan teman-temannya kini tak bisa mengandalkan sawdust dari sawmill Kabupaten Pacitan. Ia kini harus berburu sawdust hingga Wonogiri, Trenggalek, Wonosari dan Ponorogo.
Sawdust yang ia kumpulkan tersebut selanjutnya ia jual kepada perusahaan atau suplier yang sudah mempunyai kontrak dengan PLTU Pacitan, yang kini berganti nama menjadi Operasi PLN Nusantara Power UP.
SPV Rendal Operasi PLN Nusantara Power UP Pacitan, Dwi Harijanto mengatakan, saat ini dua unit boiler di PLN NP UP Pacitan memiliki kapasitas terpasang masing-masing 315 kWh.
Kebutuhan sawdust sebagai bahan campuran bahan bakar batubara di PLN NP UP Pacitan setiap harinya, tergantung pada permintaan beban oleh sistem (PLN).
Dwi mencontohkan, misalnya ada permintaan dari pusat sebesar 280 MW, satu unit membutuhkan batubara sebanyak 3960 ton. Sedangkan 40 ton sisanya atau sebesar satu persen, menggunakan sawdust sebagai campuran.
"Penggunaan biomassa yakni sawdust di PLN NP UP Pacitan masih 1 persen hingga 2 persen. Kami tergantung dengan pasokan sawdust, kalau datangnya on time kami pakai 2 persen untuk satu unit," katanya.
PLN NP UP Pacitan sudah mulai mengimplementasikan Co-firing Biomassa di Unit Dua pada Desember 2020 dan Unit Satu pada awal 2021.
Dari dua unit tersebut, masing-masing unit menghasilkan energi hijau atau MWh green sekitar 50 MWh.
"Sesuai dengan kontrak kinerja dengan kantor pusat PLN NP, target produk biommassa yang dihasilkan sebesar 21,06 gwh atau 21.600 MWh. Sejak Oktober 2022, sudah tercapai 31,34 GWh atau 31,340 MWh. Artinya kami sudah sudah melampaui target," imbuh Dwi.

Sementara itu, Manager Logistik PLN NP UP Pacitan, Yuri Raditya Sanjaya mengatakan, selama ini suplai sawdust sebagai biomassa pengganti batubara disuplai oleh suplier atau perusahaan pengepul sawdust. Sebagian besar sawdust yang digunakan oleh PLN NP UP berasal dari Pacitan.
“Setiap hari kami menerima suplai sebanyak 100 ton sawdust, yang disuplai dari pengepul melalui suplier dari wilayah Pacitan, sebagian dari Trenggalek dan Wonogiri. Tapi lebih dari 60 persen berasal dari Pacitan,” katanya.
Ia menuturkan, sawdust yang dipasok oleh suplier tersebut, dibeli dengan harga sekitar Rp 370 ribu per ton.
Menurut Vice President Bioenergi PLN, Anita Puspita Sari, saat ini PT PLN (Persero) gencar menerapkan teknologi substitusi batubara dengan biomassa (co-firing) untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Hal tersebut, menjadi upaya PLN dalam mendukung pemerintah menekan emisi karbon dan mempercepat pemenuhan bauran energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025.
Co-firing merupakan teknik substitusi dalam pembakaran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), di mana sebagian batubara yang dijadikan bahan bakar diganti sebagian dengan bahan lainnya yang dalam konteks ini adalah biomassa.
PLN menempuh prosedur Co-firing yang merupakan langkah jangka pendek yang dilakukan dalam mengurangi emisi karbon, sebab program Co-firing tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional untuk pembelian biomassa.
“Dalam jangka pendek, hingga 2030, karena kita dalam fase transisi energi, di mana mayoritas pembangkit adalah PLTU. Kami mencoba membuat program bagaimana dengan aset exsisting, bagaimana mengurangi emisi dari batubara. Salah satunya dengan mengganti batubara dengan biomassa, itulah kenapa program Co-firing Biomassa ini dijalankan di PLN mulai beberapa tahun yang lalu,” ungkap Anita saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (30/12/2022).
Ia menjelaskan, sejak 2018 hingga 2019, PLN telah melakukan persiapan uji coba, dan memulai implmentasi Co-firing Biomassa di enam lokasi PLTU pada 2020.
Saat ini, hingga Desember 2022, sudah 36 PLTU yang sudah mengimplemtasikan Co-firing Biomassa.
“Kalau sesuai dengan road map hingga 2025 ada 52 lokasi PLTU milik PLN yang akan mengimplementasikan Co-firing Biomassa,” jelasnya.
Dari target tersebut pada 2025 mendatang diharapkan substisuti batubara dengan biomassa sebesar 10,2 juta ton, untuk 52 lokasi PLTU, akan berpotensi mereduksi emisi sebesar 11,58 juta ton CO2 dengan produksi green energy sebesar 12,71 TWh.
Anita menambahkan, ada beberapa tantangan ke depan dalam implementasi Co-firing Biomassa. Di antaranya adalah menyediakan kebutuhan bahan biomassa sebesar 10,2 juta ton dalam setahun.
Untuk mengatasinya, PLN akan mengembangkan skema rantai pasok, dan menentukan harga keekonomian. Selain itu, PLN juga akan terus melakukan sosialiasi dan pendampingan kepada masyarakat dan stakeholder, serta pemasok agar nantinya bisa bermitra dengan PLN.