Anak Kiai Jombang Tersangka Pencabulan

998 Santri Ponpes Shiddiqiyyah Ploso Telantar Seusai Izin Dicabut Akibat Ulah MSAT Anak Kiai Jombang

Sebanyak 998 santri dan santriwati Ponpes Shiddiqiyyah Ploso terancam telantar imbas Kementerian Agama ( Kemenag) mencabut izin lembaga tersebut.

Editor: Iksan Fauzi

SURYA.co.id | SURABAYA - Sebanyak 998 santri dan santriwati Ponpes Shiddiqiyyah Ploso terancam telantar jika tidak segera dipindahkan, imbas Kementerian Agama (Kemenag) mencabut izin lembaga tersebut.

Hal itu tak lepas dari ulah anak kiai Jombang sekaligus pengasuh Ponpes tersebut, Much Subchi Azal Tzani alias MSAT alias Mas Bechi (41) sebagai tersangka dugaan pencabulan terhadap santriwati.

Menurut Kemenag, perilaku MSAT mencerminkan kemaslahatan, kemanfaatan, perbuatan baik dari Ponpes Shiddiqiyyah Ploso itu telah hilang.

Kemenag pun menyarankan kepada para orang tua santri dan santriwati segera memindahkan anaknya ke pesantren lainnya.

Kabid Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Jatim As'adul Anam menyebutkan rincian jumlah santri dan santriwati terdaftar di jenjang Ula (SD), santri laki-laki 169 orang dan perempuan 140 orang.

Secara keseluruhan, jumlah santri dan santriwati jenjang Ula berjumlah 309 orang.

Tingkat Wustho, santrinya berjumlah 244 orang dan santriwati 221 orang. Sehingga keseluruhannya ada 465 orang.

Baca juga: AKHIR Pelarian MSAT Anak Kiai Jombang, 6 Bulan Buron Sembunyi di Balik Ponpes Shiddiqiyyah Ploso

Adapun untuk tingkat Ulya atau SMA, jumlah santri ada 128 orang dan santriwati 96 orang. Sehingga keseluruhan santri dan santriwati di jenjang Ulya ada 224 orang.

Kondisi anak kiai Jombang usai ditangkap Polisi dan dijebloskan ke sel isolasi Lapas Medaeng, kini tak boleh dikunjungi keluarga.
Kondisi anak kiai Jombang usai ditangkap Polisi dan dijebloskan ke sel isolasi Lapas Medaeng, kini tak boleh dikunjungi keluarga. (Kolase Ist/Shutterstock)

"Jumlah keseluruhan santri dan santriwati di sana ada 998 orang yang tercatat di sitem online kami. Sementara di sana, santri keseluruhan tercatat 1.041. Ada selisih 43, itu bisa jadi karena ada prinsip multi entry dan multi exit. Artinya, mereka bisa jadi keluar dan masuk setiap saat, disesuaikan dengan keinginan santri," kata Anam, Jumat (8/7/2022).

Anam mengungkapkan, dasar pencabutan izin operasional Ponpes Shiddiqiyyah tersebut diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Dalam Pasal 2 UU tersebut, terdapat azas pesantren yang dikenal dengan istilah Ruhul Ma'had yang di dalamnya terdapat azas kemaslahatan.

"Oleh karena itu, sudah layak kalau kemudian izin operasional pondok pesantren (Shiddiqiyyah) itu dicabut. Jadi bukan dibekukan, tapi dicabut," kata Anam saat dihubungi Kompas.com, Jumat (8/7/2022).

Bantuan dihentikan

Pencabutan izin itu membuat Ponpes Shiddiqiyyah Ploso tak bisa lagi menerima bantuan pendanaan pendidikan maupun infrastruktur dan sebagainya.

"Saat ini gimana, apa semua santri sudah pulang? Ya belum, karena saat ini kan masih dalam masa liburan," ujar Anam.

Ia menjelaskan, pencabutan izin oleh Kemenag itu sudah dikeluarkan pada Kamis (7/7/2022).

Baca juga: Kondisi Anak Kiai Jombang Dijebloskan ke Sel Isolasi Tak Boleh Dikunjungi, Begini Suasanya Penjara

Namun, SK pencabutan izin baru akan diserahkan ke pihak ponpes pada Senin (11/7/2022).

"Kalau dari pemberitaan, pencabutan izin pondok pesantren itu kan kemarin. Insyaallah nanti Senin, SK pencabutan izin operasionalnya akan diantar ke sana (Jombang)," ucap Anam.

Menyikapi kejadian pencabulan di ponpes itu, menurutnya, hal tersebut merupakan kejadian luar biasa yang sangat tidak patut.

Terlebih lagi, hal itu terjadi sebuah lembaga pendidikan islam yang berstatus pondok pesantren.

"Tentu kami sangat sangat menyayangkan dengan kejadian ini. Dan yang lebih disayangkan lagi, kenapa tidak kooperatif untuk kemudian mengikuti proses penyidikan dan sebagainya," kata dia.

"Kenapa sih, kalau mengaku tidak salah kok tidak kooperatif?" lanjut dia.

Baca juga: UPDATE Anak Kiai Jombang Tak Kunjung Serahkan Diri, Ponpes Shiddiqiyyah Ploso Dibekukan Kemenag

Tidak mencerminkan identitas pesantren

Anam menyampaikan kepada para orangtua untuk tidak ragu ketika putra-putrinya ingin mengeyam pendidikan di pesantren.

Sebab, perilaku yang dilakukan tersangka kasus pencabulan di Pesantren Shiddiqiyyah itu tidak mencerminkan identitas pesantren.

"Artinya begini, bahwa perilaku ini bukanlah identitas pesantren. Ini adalah oknum pesantren yang merusak sistem di pesantren. Oleh karena itu, orangtua tidak perlu ragu dengan pendidikan di pesantren," kata dia.

Selain itu, ia juga menyarankan kepada para orantua yang menitipkan anaknya di Pesantren Shiddiqiyyah dalam rangka menempuh pendidikan Islam agar segera dipindah ke pesantren lainnya.

Sebab, dengan pencabutan izin operasional pondok pesantren tersebut, sudah tidak ada lagi aktivitas Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) di lingkungan Pesantren Shiddiqiyyah, mulai jenjang Ula (MI/SD), Wustho (SMP), dan Ulya (SMA).

"Kalau orangtua ingin memindahkan anaknya ke ponpes yang lain kita persilakan, karena pada prinsipnya sudah tidak ada PKPPS lagi," tutur dia.

Baca juga: 4 FAKTA Anak Kiai Jombang di Rutan Medaeng: Huni Sel 4x5 Meter Bersama 10 Orang, Tak Bisa Dibesuk

Ponpes Shiddiqiyyah menghalangi polisi

Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono juga memastikan izin operasional Ponpes Shiddiqiyah telah dicabut.

"Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat,” tegas Waryono.

Tindakan tegas ini diambil karena MSA merupakan DPO kepolisian dalam kasus pencabulan dan perundungan terhadap santri.

Pihak pesantren juga dinilai menghalang-halangi proses hukum terhadap yang bersangkutan.

Perjalanan kasus MSAT

Sekadar diketahui, perjalanan kasus dugaan pencabulan oleh MSAT dilaporkan pertama kali pada akhir tahun 2019.

Upaya paksa yang dilakukan polisi untuk menangkap tersangka, beberapa bulan terakhir, hingga Kamis (7/7/2022), karena berkas kasus tersebut sudah dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, sejak Selasa (4/1/2022).

Oleh karena itu, Kejati Jatim menunggu penyidik polisi menyerahkan berkas perkara sekaligus tersangka MSAT untuk segera disidangkan.

Hanya saja, sampai saat ini tersangka tak kunjung memenuhi panggilan kepolisian untuk menjalani tahapan penyidikan. Apalagi menyerahkan, diri.

Sebenarnya, temuan dugaan kekerasan seksual dengan modus transfer ilmu terhadap santriwati yang menjerat nama MSAT pertama kali, dilaporkan korban yang berinisial NA salah seorang santri perempuan asal Jateng, ke SPKT Mapolres Jombang, pada Selasa (29/10/2019).

Lalu, Selasa (12/11/2019), Polres Jombang mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP).

Hasil gelar perkara penyidik Unit PPA Satreskrim Polres Jombang, MSAT dijerat dengan pasal berlapis yakni tentang pemerkosaan dan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur atau Pasal 285 dan Pasal 294 KUHP.

Kemudian, pada Rabu (15/1/2020), Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Jatim mengambil alih kasus tersebut. Namun MSAT tetap mangkir dalam setiap tahapan agenda pemeriksaan.

Penyidik saat itu, bahkan gagal menemui MSAT saat akan melakukan penyidikan yang bertempat di lingkungan lembaga pendidikan tempat tinggalnya, di komplek ponpes, Jalan Raya Ploso, Jombang.

Lama tak kunjung ada hasil penyidikan yang signifikan. kasus seperti tenggelam begitu saja, kurun waktu dua tahun.

Namun, kasus tersebut, tiba-tiba menyita perhatian, tatkala MSAT mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya untuk meminta kepastian status kasus hukumnya yang sudah dua tahun tanpa kejelasan.

Dalam permohonan praperadilan itu, termohon adalah Polda Jatim dan turut termohon adalah Kejati Jatim.

Dengan dalih, sebagaimana yang disampaikan Kuasa hukum MSAT, Setijo Boesono, saat itu, bahwa berkas kasus kliennya sudah beberapa kali ditolak oleh pihak kejaksaan, namun sampai saat ini belum jelas kepastian proses hukum berlanjut.

Namun pada Kamis (16/12/2021), pihak Hakim PN Surabaya menolak permohonan praperadilan MSAT. Alasannya, karena kurangnya pihak termohon, dalam hal ini Polres Jombang.

Karena, proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini hingga penetapan tersangka dilakukan oleh Polres Jombang. Polda Jatim dalam kasus ini hanya meneruskan proses hukum saja.

Pihak MSAT masih mengajukan upaya hukum mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya ke PN Jombang pada Kamis (6/1/2022), dengan pihak termohon sama, yakni Kapolda Jatim, Kapolres Jombang, Kajati Jatim, dan Kajari Jombang. Namun, hasilnya tetap, yakni ditolak.

Ditolaknya gugatan praperadilan MSAT sebanyak dua kali. Menegaskan proses penindakan hukum atas kasus tersebut, harus dilanjutkan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku yakni penangkapan paksa dengan menerbitkan DPO atas profil identitas MSAT, pada Kamis (13/1/2022).

Tak pelak, upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dan hasilnya berbuah penolakan, seperti video viral pada Jumat (14/1/2022).

Kemudian, berlanjut pada pengejaran mobil MSAT yang kabur dalam penyergapan, pada Minggu (3/7/2022). Hingga Kamis (7/7/2022), Polda Jatim mengerahkan banyak pasukan melakukan penjemputan paksa.

Kini, MSAT dijebloskan ke sel isolasi tahanan Medaeng dan tidak boleh dikunjungi siapapun termasuk keluarga hingga 19 Juli 2022. 

Update berita lainnya di Google News SURYA.co.id

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bukan Dibekukan, Izin Operasional Pesantren Shiddiqiyyah Jombang Dicabut, Ini Penjelasan Lengkapnya"

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved