Citizen Reporter

Jejak Sejarah Masjid Kiai Muhammad Besari Ponorogo, Kubah Terbuat dari Tanah Liat, Ini Keunikannya

Salah satu yang patut disinggahi dalam perjalanan puasa sebulan adalah Masjid Tegalsari atau Masjid Kiai Muhammad Besari Ponorogo.

Editor: Musahadah
istimewa
Masjid Tegalsari atau Masjid Kiai Muhammad Besari di Dusun Gendol, Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. 

SURYA.CO.ID - Saat Ramadan paling menyenangkan jika dapat menikmati masjid-masjid lawas yang menyimpan sejarah.

Masa pandemi membuat jumlah kunjungan ke masjid bersejarah yang biasanya dikemas dalam wisata religi, menurun.

Salah satu yang patut disinggahi dalam perjalanan puasa sebulan adalah Masjid Tegalsari atau Masjid Kiai Muhammad Besari Ponorogo.

Masjid Tegalsari merupakan bagian dari cagar budaya di Kabupaten Ponorogo.

Masjid itu dibangun pada 1742 M.

Itu adalah salah satu objek wisata religi di Dukuh Gendol, Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo.

Lokasinya searah dengan jalur ke Pondok Pesantren Walisongo, Desa Ngabar, Kecamatan Siman dan Al-Mawadah, Desa Coper, Kecamatan Jetis.

Sekilas, Masjid Tegalsari memiliki wajah seperti Masjid Demak dengan atap bersusun tiga.

Akan tetapi, usianya jauh lebih muda daripada masjid peninggalan Raden Patah dan Walisongo itu. Masjid Demak dibangun pada 1466 dan Masjid Tegalsari dibangun pada 1742.

Pendirian masjid itu diprakarsai oleh Kiai Ageng Muhammad Basyari. Kata "Basyari" kemudian lebih dikenal dengan Besari.

Ia merupakan ulama yang menyebarkan Islam pertama di Bumi Reog kala itu.

Jika masuk ke dalam masjid, akan tampak 36 tiang kokoh dari kayu jati tanpa paku. Semua kayu jati dikuatkan dengan pasak kayu.

Ada tiga bangunan yang berimpitan. Bangunan masjid dengan atap tajug tumpang tiga di sebelah barat.

Ada empat saka guru, 12 sakarawa, dan 24 saka pinggir penyangga atap tajug yang dipasang dengan sistem ceblokan.

Kayu penyangganya masih kokoh.

Sedangkan yang sudah rusak karena termakan usia adalah mimbar.

Sekarang ada adalah mimbar kayu berukir yang merupakan replika mimbar asli.

Mihrabnya berupa ceruk yang juga dibingkai kayu berukir.

Di sebelah timur masjid ada pendopo.

Pendopo itu beratap khas Jawa, limas an. Itu berbeda dengan bangunan yang lebih baru di paling timur yang beratap kubah metal.

Di depan masjid adalah rumah Kiai Ageng Besari. Rumah itu masih terawat. Saat ini pemerintah menetapkan bangunan itu sebagai objek wisata religi.

Ada banyak orang besar yang menimba ilmu agama di Masjid Tegalsari.

Kiai Besari tidak hanya membangun masjid, tetapi juga pondok pesantren.

Lokasinya di desa di antara Sungai Keyang dan Sungai Malo.

Meski berada di lokasi yang cukup terpencil, peran Masjid Tegalsari sebagai pusat pendidikan Islam kala itu sangat menonjol.

Kiai Besari memberikan ilmu syariat, akidah, tasawuf atau akhlak, hingga kesenian Jawa, khususnya sastra.

Cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid, menyebut Tegalsari sebagai tempat yang sangat indah

Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor juga memiliki akar sejarah dari pesantren di Tegalsari.

Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai peninggalan terbesar didirikan oleh tiga cucu Kiai Ageng Hasan Besari.

Mereka yang dijuluki Trimurti Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor itu adalah KH Ahmad Sahal (1901-1977), KH Zainudin Fananie (1908-1967), dan KH Imam Zarkasyi (1910–1985).

Jejak sejarah Masjid Tegalsari menjadi menarik diikuti.

Di tempat itu selawatan mirip tembang pesisiran Jawa dan lantunan jemaah zikir masih kerap terdengar.

Masjid Tegalsari mendapat kunjungan paling ramai pada Jumat Kliwon dan Senin Kliwon atau malam-malam tanggal ganjil Ramadan.

Saat ini pengurus masjid membuat kesepakatan, masjid dan makam tetap dibuka, tetapi dengan kapasitas 50 persen.

Riyono, mengatakan peziarah juga harus mematuhi protokol kesehatan, mulai dari menggunakan masker, dan mencuci tangan menggunakan sabun.

Peraturan itu berlaku bagi jemaah yang ingin berziarah maupun salat lima waktu termasuk tarawih.

"Masjid ini mampu menampung 1.500 orang sampai ke serambi. Kalau 50 persen ya sekitar 750 orang,” tambahnya, Senin (12/4/2021).

Beberapa keunikan Masjid Jami Kiai Muhammad Besari antara lain adalah kubah masjid yang terbuat dari tanah liat (sejenis gerabah) yang masih terjaga keasliannya hingga sekarang.

Kubah itu menurut cerita, pada zaman Belanda pernah ditembak berkali-kali, namun tidak rusak sedikit pun.

Kediaman Kiai Ageng Besari atau yang biasa disebut Ndalem Ageng masih bisa dilihat di sebelah timur masjid. Umurnya memang lebih dari dua abad namun kondisi bangunannya tampak cukup kokoh.

Penulis:

Sugeng Prajitno
Guru di MI Darul ‘Ulum Taman
Kota Madiun
prajsugeng81@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved