Regional

Sadis, Sugiyem Disiksa Majikan di Singapura Selama 2 Tahun Hingga Buta dan Tuli, Tubuh Penuh Luka

Di sekujur tubuhnya terlihat bekas luka akibat penyiksaan yang dilakukan majikannya. Ia kini mengalami kebutaan dan tuli.

Editor: Anas Miftakhudin
Istimewa
Sugiyem TKW di Singapura saat ditemui di rumahnya di Dukuh Ledok, Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah dalam kondisi buta, tuli dan penuh luka akibat dianiaya majikannya, Senin (9/11/2020).(DOKUMEN DISNAKER PATI) 

SURYA.CO.ID - Bekerja di luar negeri dengan harapan merubah nasib untuk mengais pundi-pundi rupiah lalu dikirim ke keluarga, belum tentu terwujud, bahkan bisa menjadi petaka.

Seperti yang dialami Sugiyem, asal Dukuh Ledok, Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, justru petaka yang didapat.

Wanita 49 tahun ini sepulang kerja menjadi tenaga migran di Singapura, nasibnya kian terpuruk. Bahkan kondisinya menjadi cacat.

Di sekujur tubuhnya terlihat bekas luka akibat penyiksaan yang dilakukan majikannya. Ia kini mengalami kebutaan dan tuli.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Pati, Tri Haryama, mengatakan Sugiyem berangkat ke Singapura menjadi TKW sejak tahun 2015 lalu.

Sesuai keterangan yang didapat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura, Sugiyem saat itu berangkat melalui Batam menggunakan proses direct hiring.

Direct hiring adalah sebuah jalur untuk mempermudah pekerja sektor informal kembali bekerja tanpa melalui agensi maupun jasa PPTKIS di Indonesia.

Selama dua tahun terakhir bekerja, Sugiyem mengaku kerap mendapat perlakuan kasar dari majikannya yang kedua.

"Pada 2017, KBRI Singapura sudah memberikan kartu pekerja Indonesia Singapura kepada Sugiyem supaya suatu saat jika ada permasalahan bisa melapor. Namun pada 23 Oktober lalu Sugiyem dikembalikan dalam keadaan penuh luka di sekujur tubuhnya. Bahkan buta tidak bisa melihat serta tuli," kata Tri Haryama, Senin (9/11/2020).

Selama disiksa, Sugiyem tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya, ponselnya disita oleh majikannya. Sehingga pihak keluarga di kampung halaman kesulitan untuk mengetahui keadaannya.

Sugiyem dipulangkan ke Indonesia setelah berhasil melaporkan kondisi yang dialaminya kepada KBRI di Singapura.

Pemkab Pati saat ini tengah melakukan pendampingan kepada korban. Tri berharap, kasus itu dapat ditindaklanjuti oleh otoritas terkait dan hak Sugiyem selama bekerja bisa diberikan.

"Yang jelas, Sugiyem sekarang buta dan dirawat keluarganya. Kemarin sudah visum di RSUP dr Kariadi Semarang. Hasilnya dikirim ke Singapura untuk kelengkapan surat laporan ke otoritas Singapura. Kami berharap semoga cepat ditangani dan hak-hak Sugiyem bisa diterimanya," jelas Tri seperti dikutip dari Kompas.com grup Surya.co.id.

Diduga sebagai TKW ilegal

Dari penelusuran sementara yang dilakukan, Tri menduga keberangkatan Sugiyem menjadi TKI di Singapura saat itu ilegal.

Data Sugiyem tidak tercatat dalam sistem komputerisasi tenaga kerja (Siskonaker).

Namun pihaknya akan tetap berupaya melakukan pendampingan kepada korban.

Salah satunya koordinasi dengan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

"Selama bekerja diduga menggunakan paspor wisata. Informasinya dulu sebelum ke Singapura, Sugiyem pernah bekerja sebagai TKI ke Arab Saudi. Mungkin saja banyak linknya untuk bekerja melalui jalur ilegal. Meski demikian, pemerintah akan tetap membantu dan melakukan pendampingan semaksimal mungkin," terang Tri.

Sementara itu, Bupati Pati, Haryanto saat dikonfirmasi membenarkan jika warganya menjadi TKI di Singapura atas nama Sugiyem yang dipulangkan karena sudah tidak tahan dengan perlakuan kasar majikannya.

"Iya benar," kata Haryanto.

Kunjungan DPPAPPKB dan Psikolog serta petugas puskesmas didampingi Bhabinkamtibmas ke rumah keluarga eks TKI Malaysia di Balansiku Sebatik (Faridah)(Kompas.com/Ahmad Dzulviqor)
Kunjungan DPPAPPKB dan Psikolog serta petugas puskesmas didampingi Bhabinkamtibmas ke rumah keluarga eks TKI Malaysia di Balansiku Sebatik (Faridah)(Kompas.com/Ahmad Dzulviqor) (Kompas.com)

Eks TKI Alami Gangguan Jiwa

Sementara itu, hal tragis juga menimpa kekuarga yang pernah menjadi tenaga migran.

Keluarga di Desa Balansiku, Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, kondisi hidup memprihatinkan di tengah kebun sawit.

Keluarga itu memiliki empat orang anak, R (7), S (5), I (3), dan Sup (1) yang diasuh sang ibu, Rosnaeni.

Rosnaeni adalah eks Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kini menjadi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Hal itu membuat Rosnaeni tidak bisa merawat anaknya dengan wajar.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) Kabupaten Nunukan, menemukan mereka dalam kondisi mengenaskan.

Anak-anak tersebut tumbuh tanpa diajarkan apapun, seperti nama-nama benda, abjad, angka, dan sebagainya.
Bahkan sang anak tertua tak mengerti apa itu pensil dan cara menggunakannya.

Ibunya hanya bisa menanak nasi dan memasak sayur.

Mereka pun tak tahu bahwa ada makanan lain seperti lauk pauk, ayam, tempe maupun ikan.

Saat petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kaltara dan Puskesmas Balansiku memberi makan sayur asem dan ikan, mereka hanya memakan sayurannya.

"Kami coba suapkan ikan supaya dia rasa, begitu terasa enak, baru dia makan. Begitu juga jagung, kita suapkan dulu dan akhirnya mereka makan, sampai segitunya, mereka tidak tahu ikan goreng," kata Kepala Dinas DPPPAPPKB Nunukan Faridah Aryani, Jumat (23/10/2020).

Popok sampai berulat

Rosnaeni juga tidak pernah peduli dengan tingkah anaknya.

Bahkan Rosnaeni tidak bisa mengurus dirinya sendiri, sampai-sampai dia pernah tidak mandi selama setahun.

Pantas saja kondisi tempat tinggal mereka berantakan. Pakaian kotor dan bersih ditumpuk jadi satu.

Makanan anaknya pun dibiarkan berceceran di mana-mana.

"Awalnya ada laporan ke kami di DPPPA pada akhir 2019, ada keluarga yang tidak tahu cara mengurus anak, pampers si anak sampai berulat, sehingga kami fokus untuk itu," ujar Faridah.

Pendapatan sang ayah pas-pasan

Dengan kondisi seperti itu, anak-anak mereka mengalami gizi buruk.
Mereka tidak pernah mendapatkan asupan protein.

Ayah mereka, Herman, pun tidak bisa memberikan makanan yang layak karena penghasilan yang pas-pasan.

Sebagai buruh tombak sawit, Herman dibayar Rp 150.000/ton. Sebulan dia biasanya dua kali menombak sawit.

Beruntung bosnya menyediakan beras secara rutin untuk keluarga Herman.

Ilustrasi
Ilustrasi (pixabay)

Diduga istri ketujuh, alami KDRT

Dari pemeriksaan psikolog, Rosnaeni mengaku sebagai istri ketujuh Herman.
Jarak usia mereka cukup jauh, yaitu Herman 52 tahun dan Rosnaeni 26 tahun.

Mereka menikah saat sama-sama menjadi TKI ilegal di Malaysia.
Pihaknya juga belum tahu penyebab Rosnaeni sampai mengalami depresi berat.

Namun menurut informasi, Rosnaeni merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

"Dari hasil obrolan psikolog, ibunya anak-anak ini istri ketujuh, kita juga belum tahu apakah Herman ini maniak atau bagaimana. Info yang kita dapat ini perkawinannya yang ketujuh, istrinya mengaku sering kena pukul, bisa jadi itu salah satu sebab dia depresi," tuturnya.

Cobaan lain juga dialami Rosnaeni, yakni ketika anak ketiganya meninggal dunia dalam usia belum genap setahun.

Riwayat medisnya juga menunjukkan pernah mengalami kondisi darah putih naik saat melahirkan.

"Jadi kalau darah putih naik ke kepala saat perempuan melahirkan itu bisa mengakibatkan buta atau meninggal dunia, kemungkinan itu juga masih kami dalami," lanjut dia.

Penanganan terkendala Covid-19

Sejak 2019, petugas sebenarnya sudah mulai melakukan penanganan kepada keluarga itu, namun terhenti karena pandemi Covid-19.

Kini petugas mulai mengembalikan kepercayaan diri Rosnaeni dan meyakinkan bahwa dirinya dibutuhkan oleh anak-anaknya.

Selain itu, sikap Herman juga menjadi kendala petugas menyembuhkan depresi istrinya.

Awalnya, Herman setuju tentang penyembuhan istrinya. Tetapi saat Rosnaeni mulai dipotong rambut gimbalnya dan dibersihkan, Herman tiba-tiba menolak.

"Dia diam saja saat ditanya, dia ambruk, badannya dibuatnya kaku. Saat diangkat petugas pun dia bikin badannya tegang supaya susah diangkat. Akhirnya kita batalkan karena untuk membawa Rosnaeni butuh persetujuan suami. Kita takutnya nanti suaminya berbuat yang aneh-aneh atau bunuh diri," sebutnya.

Dibuatkan KTP, anaknya disekolahkan
Pemerintah desa setempat juga telah berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk pembuatan kartu identitas.

Bahkan kini banyak lembaga sosial yang turut membantu keluarga tersebut.

Sementara dua anak mereka, R dan S mulai dititipkan ke Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Ruhama untuk bersekolah.

Ternyata mereka betah dan tidak mau pulang.

"Untuk dua anak lainnya masih harus sama ibunya, rencananya akan kami bina dan konseling di RPTC. Makanya, kita lagi usaha merayu suaminya agar menyetujui pengobatan istrinya, sampai sekarang kami masih kesulitan," kata Faridah.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kisah Sugiyem, 2 Tahun Disiksa Majikan di Singapura hingga Buta dan Tuli

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Eks TKI Alami Gangguan Jiwa, Hidup dengan 4 Anaknya yang Kurang Gizi, Popok Sampai Berulat

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved