Dalil Tentang Rebo Wekasan, Rabu Terakhir di Bulan Safar yang Jatuh Besok 14 Oktober 2020
Rebo Wekasan dipercaya sebagai waktu turunnya bencana dan sumber musibah. Sehingga dilaksanakan ritual tolak bala, ini dalil Rebo Wekasan dalam Islam.
Penulis: Pipit Maulidiya | Editor: Musahadah
Penulis: Pipit | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Berikut dalil tentang Rebo Wekasan atau hari Rabu terakhir di Bulan Safar.
Bagi masyarakat Jawa, Rebo Wekasan dipercaya sebagai waktu turunnya bencana dan sumber musibah. Sehingga dilaksanakan berbagai ritual adat untuk tolak bala (menolak bencana).
Kepercayaan ini juga tersadapat bada bangsa Arab jaman jahiliyah. Mereka mempercayai jika Bulan Safar adalah bulan sial, seperti yang dijelaskan dalam Buku Risalah Ahlusunnah Wal Jama'ah An-Nahdliyah, Subaidi, Unisnu Pers 2019.
Baca juga: Doa dan Tata Cara Shalat Rebo Wekasan untuk Tolak Balak yang Jatuh Pada 14 Oktober 2020
Menurut Pandangan Islam
Melansir laman resmi Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Tebuireng Online, dijelaskan A. Muabrok Yasin, Pengasuh Rubrik Tanya Jawab Fiqh Tebuireng online, memang terdapat hadist dhaif atau hadist yang tidak memenuhi syarat sahih, tentang Bulan Safar.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..
“Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Namun hadist tersebut tidak bisa jadi pegangan.
Selain dla’if, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).
Sementara hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar, sudah dijelaskan dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi Saw terhadap tradisi yang brekembang di masa Jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Amalan Rebo Wekasan dalam Islam