Kilas Balik
Sosok dan Biodata Pierre Tendean Perwira TNI Korban G30S/PKI, Berparas Tampan Tapi Kisah Cinta Miris
Berikut sosok dan biodata Pierre Tendean, salah satu perwira TNI yang menjadi korban G30S/PKI. Berparas tampan tapi kisah cintanya miris
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Berikut sosok dan biodata Pierre Tendean, salah satu perwira TNI yang menjadi korban gerakan pemberontakan PKI pada 30 September 1965 atau G30S/PKI.
Sosok dan biodata Pierre Tendean cukup menjadi sorotan karena memiliki wajah yang tampan, tapi kisah cintanya berakhir miris gara-gara G30S/PKI.
Pierre Tendean berencana menikahi Rukmini pada November 1965.
Namun pernikahan tersebut tidak pernah terjadi karena ia gugur saat G30S/PKI.
• Profil dan Biodata Jenderal TNI AH Nasution Korban Selamat dari G30S/PKI, Karier Militernya Moncer
Berikut biodata Pierre Tendean dilansir dari Tribunnews Wiki dalam artikel 'Kisah di Balik Gerakan 30 September: Pierre Tendean yang Tak Sempat Menikahi Rukmini'
Pierre Tendean lahir di Jakarta, pada 21 Februari 1939 dari pasangan AL Tendean dan Cornett ME.
Semasa kecil, Pierre Tendean memang sudah menaruh minat terhadap dunia militer.
Setelah menamatkan sekolah dasar di Magelang, Pierre melanjutkan jenjang sekolah menengahnya di Semarang.
Kala itu, sang ayah memang sedang bertugas di Semarang.
Setelah lulus SMA inilah ketertarikan Pierre Tendean terhadap militer mulai terwujud.
Pierre Tendean menempuh pendidikan taruna di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD), yang berada di Bandung, pada 1958.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Pierre mengawali kariersebagai Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan, Medan.
Setahun kemudian, Pierre Tendean melanjutkan pendidikan di Sekolah Intelijen Negara di Bogor.
Setelah tamat, ditugaskan oleh Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata di Malaysia.
Kala itu, memang sedang terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.
Pierre ditugaskan untuk memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah menyusup ke Malaysia.
Sejak saat itu, karier Pirre Tendean mulai menjanjikan.
Ada tiga jenderal yang menginginkan Pierre Tendean sebagai ajudannya, antara lain Jenderal A. H. Nasution, Jenderal Hartawan dan Jenderal Kadarsan.
Namun kala itu Jenderal Nasution bersikeras agar Pierre Tendean menjadi ajudannya.
Pada akhirnya, Pierre dipromosikan menjadi Letnan Satu pada 15 April 1965.
Pierre Tendean menjadi pengawal pribadi A. H. Nasution, menggantikan Kapten Manullang yang gugur saat menjaga perdamaian di Kongo.
Pada usia 26 tahun, Pierre menjadi satu di antara pengawal termuda A. H. Nasution.
Pierre Tendean memiliki seorang kekasih bernama Rukmini.
Lengkapnya, bernama Rukmini Chaimin, putri sulung keluarga Chaimin di Medan.
Pertemuan keduanya terjadi ketika Pierre Tendean bertugas sebagai Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan, Medan.
Pertemuan keduanya tidak terlalu lama, karena Pierre Tendean memang hanya sebentar bertugas di Medan.
Setahun setelah ditempatkan di Medan, Pierre Tendean menjalani pendidikan di Bogor.
Sebab itu, Pierre Tendean dan Rukmini yang sudah saling mengenal terpaksa menjalani hubungan jarak jauh.
Meski demikian, hati Pierre Tendean tetap tertambat pada Rukmini.
Menurut cerita, anak sulung A. H. Nasution kerap memergoki Pierre Tendean tersenyum membaca surat dari Rukmini.
Pada masa itu, satu-satunya cara berkomunikasi memang melalui surat.
Seiring berjalannya waktu, keduanya mulai merencanakan langkah yang lebih serius.
Ketika menyertai Jenderal A. H. Nasution ke Medan, Pierre Tendean memberanikan diri melamar Rukmini.
Pertemuan tersebut dilakukan pada 31 Juli 1965.
Namun siapa sangka, hari itu menjadi kali terakhir perjumpaan keduanya.
Renacananya, Pierre Tendean akan menikahi Rukmini pada November 1965.
Namun niat baik tersebut selamanya hanya tinggal rencana.
Pierre Tendean gugur pada 1 Oktober 1965 dini hari, menyisakan kisah cintanya yang tak sampai pada Rukmini.
Biodata Jenderal TNI AH Nasution
Pengorbanan Pierre Tendean telah menyelamatkan Jenderal TNI AH Nasution dari kejaran G30S/PKI.
Pada waktu itu ada tentara yang mengejar AH Nasution melepaskan tembakan, namun terpeleset.
Ia berhasil memanjat dinding dan terjatuh ke halaman Kedutaan irak untuk bersembunyi.
Namun, akibat kejadian ini ia mengalami patah pergelangan kaki.
Meski demikian, putrinya yang bernama Irma terkena tembakan dalam perstiwa ini.
Berikut profil dan biodata jenderal TNI AH Nasution dilansir dari Tribunnews Wiki dalam artikel '17 AGUSTUS - Serial Pahlawan Nasional: Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution'
Abdul Haris Nasution lahir di Huta Pungkut, Kecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan, pada 3 Desember 1918.
Abdul Haris Nasution merupakan putra kedua dari pasangan H Abdul Halim Nasution dan Zahara Lubis.
Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Hollandsche Inlande School (HIS) pada tahun 1932.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Raja Hoofden School, sekolah pamong praja di Bukit Tinggi.
Pada tahun 1935, Abdul Haris Nasution melanjutkan pendidikan di Hollandsche Inlandsche Kweekchool (HIK), sebuah sekolah guru menengah di Bandung.
Kemudian ia mengikuti ujian Algemene Middelbaare School B (AMS) di Jakarta.
Hal ini menyebabkan ia memperoleh dua ijazah sekaligus pada 1938.
Setelah berhasil menempuh pendidikan, ia kemudian menjadi guru di Bengkulu dan Palembang.
Pada masa ini Abdul Haris Nasution mulai dikenal dengan nama Pak Nas.
Namun, pekerjaan sebagai guru kurang cocok baginya.
Ia mulai tertarik dengan militer dan mengikuti Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) KNIL atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung, pada 1940-1942.
Karier
Setelah menyelesaikan pendidikan militer, Abdul Haris Nasution diangkat sebagai vaandrig (pembantu letnan calon perwira).
Ia ditempatkan di Batalyon 3 Surabaya yang berkedudukan di Kebalen.
Pelabuhan ini mendapat tugas untuk mempertahankan pelabuhan Tanjung Perak ketika perang dunia II terjadi.
Saat Jepang menduduki Indonesia, Abdul Haris Nasution kembali ke Bandung.
Selama masa ini ia menjadi pegawai kotapraja di Bandung.
Selain itu, ia juga menjadi pemimpin Seinendan hingga Jepang menyerah kepada Sekutu.
Selanjutnya, Abdul Haris Nasution aktif sebagai penasihat Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bandung setelah proklamasi kemerdekaan.
Pada 5 Oktober 1945, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk.
Inilah awal dimulainya karier Abdul Haris Nasution di bidang militer.
Ia menyandang pangkat kolonel pada 1945-1948.
Kala itu, ia menjabat sebagai Kepala Staf Komendemen TKR I/Jawa Barat.
Dalam jabatan tersebut, Abdul Haris Nasution ditugasi menyusun organisasi dan administrasi.
Pada 1948, ia diangkat menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan perang Republik Indonesia.
Oleh karena itu, pangktanya dinaikkan menjadi jenderal mayor dan menjbaat sebagai Panglima Divisi III/TKR Priangan.
Akibat pelaksanaan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) tahun 1948, pangkat Abdul Haris Nasution diturunkan setingkat lebih rendah menjadi kolonel, dan diberi jabatan Kepala Staf Operasi Markas Besar Tentara (MBT).
Kemudian ia ditugaskan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD).
Seusai Perang Kemerdekaan, pada tanggal 10 Desember 1949 Abdul Haris Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan Surat Penetapan Kementerian Pertahanan No. 126/MP/1949 tanggal 10 Desember 1949 dengan pangkat kolonel.
Pada 17 Oktober 1952, terjadi demonstrasi yang menuntut pembubaran parlemen di Jakarta.
Peristiwa ini merupakan puncak perbedaan pendapat antara Angkatan Darat dan DPR.
Kala itu Angkatan Darat memprotes DPR yang dianggap terlalu jauh mencampuri masalah intern.
Akibat peristiwa ini, Abdul Haris Nasution dan beberpaa perwira lain dibebaskan dari jabatan.
Selama masa ini, Abdul Haris Nasution aktif menulis buku.
Selain itu, ia juga mendirikan partai politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Sebagian besar anggota IPKI merupakan perwira non aktif akibat peristiwa 17 Oktober 1952.
Setelah rekonsiliasi, Abdul Haris Nasution dicalonkan kembali sebagai KSAD.
Ia terpilih dan dilantik pada 7 November 1955 dengan pangkat yang dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Negara dalam keadaan bahaya melalui Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB) bulan Juli 1957.
Kala itu, Abdul Haris Nasution merangkap jabatan sebagai Ketua Gabungan Kepala-kepala Staff Angkatan Perang (GKS).
Kemudian, ia juga menjabat sebagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu) yang membawahi penguasa Perang Daerah (Peperda).
Setelah reorganisasi Angkatan darat pada 1958, Abdul Haris Nasution diangkat sebagai menteri Keamanan Nasional/KSAD dengan pangkat Letnan Jenderal, hingga lahirnya demokrasi terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin sejak 1962 Abdul Haris Nasution diangkat sebagai Menteri Koordinator (Menko) Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata dengan pangkat jenderal penuh (bintang empat).
Pada masa awal Orde Baru, Abdul Haris Nasution terpilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Pada 1968, setelah berakhimya Sidang Umum V MPRS, Abdul Haris Nasution secara resmi berada di luar tugas-tugas resmi jabatan pemerintahan Republik Indonesia.
Ia pensiun dari dinas aktif TNI AD pada tahun 1972, dalam usia 53 tahun.
Selanjutnya, ia aktif menulis buku-buku perjuangan, seperti saat ia masih dinas aktif sebagai prajurit TNI.
Buku-buku Abdul Haris Nasution yang terkenal, antara lain Pokok-pokok Gerilya, Tentara Nasional Indonesia, Sekitar Perang Kemerdekaan dan Memenuhi Panggilan Tugas.(*)
