Berita Jember
Warga Miskin Jember Tak Tersentuh Bantuan Pemerintah, untuk Menyambung Hidup Makan Biji Kluwih
Dia tidak termasuk sebagai penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), juga bantuan sosial kesehatan melalui KIS.
Penulis: Sri Wahyunik | Editor: Anas Miftakhudin
SURYA.CO.ID I JEMBER -
Penggelontoran bantuan sosial secara besar-besaran oleh pemerintah serta kucuran bantuan kemanusiaan dari dermawan di tengah pandemi Virus Corona atau Covid-19 tak bisa menyentuh semua kalangan bawah.
Seperti yang dialami Ny Triyata (47) atau yang biasa disebut Bu Bambang di lingkungan rumahnya. Triyata adalah salah satu contoh kecil yang tinggal di kawasan perkotaan Jember yang tak tersentuh bantuan pemerintah.
Sebelum pandemi Virus Corona, perempuan yang tinggal di Jl Letjen Sutoyo RT 03/RW 33 Lingkungan Kebon Indah, Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Sumbersari tak tersentuh bantuan sosial dari pemerintah. Padahal, perempuan ini termasuk warga miskin.
Dia tidak termasuk sebagai penerima Bantuan Pangan Nont Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), juga bantuan sosial kesehatan melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Surya.co.id saat mendatangi rumah Triyata Kamis (23/4/2020), perempuan ini hidup bersama tiga orang anaknya di sebuah rumah kontrakan sederhana. Atap plafon rumahnya sudah terlihat jebol. Perempuan itu tidak lagi bisa bekerja karena terserang stroke setahun terakhir. Sebelumnya, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Tiga anaknya tidak bisa banyak membantu. Anak pertamanya difabel. Satu matanya buta setelah mengalami kecelakaan saat bekerja setahun lalu. Kini hanya satu matanya yang bisa melihat. Sedangkan anak keduanya, bekerja sebagai tukang tambal ban.
"Itu pun ikut orang, dan hanya bekerja jika dipanggil," kata Triyata.
Sementara anak bungsunya, perempuan masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
Suaminya bekerja di Pulau Kalimantan dan hanya mengirimkan uang Rp 500.000/bulan. Uang itu hanya dipakai untuk biaya sekolah anak bungsunya.
"Kalau untuk makan dan lain-lain, saya nyari sendiri. Waktu saya masih jadi pembantu, saya punya penghasilan. Ketika stroke, saya masih sempat kerja. Tapi berapa bulan ini sudah tidak bekerja," sambung Triyata.
Triyata masih bisa berjalan meski pelan, dengan cara berbicara yang tersendat karena serangan stroke.
Di sisi lain, dia harus melunasi utangnya kepada sejumlah 'bank tithil' atau koperasi simpan pinjam yang menerapkan pembayaran setiap minggu. Dia terpaksa pinjam utang di 'bank tithil' untuk kebutuhan hidup. Mulai biaya kontrol mata sang anak, juga melunasi cicilan kredit milik anaknya di sebuah bank.
Beberapa bulan terakhir hidupnya semakin susah. Dia tidak membayar iuran BPJS Kesehatan Mandiri.
"Tidak punya uang. Untuk makan saja susah. Tidak pernah dapat bantuan. KIS tidak ada. Dulu pernah didata di kelurahan, tetapi tidak dapat apa-apa sampai sekarang," lanjutnya.