Berita Madiun
Pemuda Madiun Bikin Sedotan Bambu Ramah Lingkungan, Kini Diekspor ke Australia dan Korea
Ia memberanikan diri untuk membuka usaha sedotan yang terbuat dari bambu, dengan modal Rp 90 juta, pinjaman dari keluarganya.
Penulis: Rahadian Bagus | Editor: Titis Jati Permata
SURYA.co.id | MADIUN - Fahmi Ali (25) tak menyangka, usahanya yang baru lima bulan dirintis kini telah menghasilkan omset hingga Rp 90 juta per bulan.
Ia memberi nama usahanya sedotan bambu Sapu Jagat.
Ditemui di rumahnya, Dusun Pacar, Desa Kebonsari, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun, Fahmi menceritakan awal mula usahanya.
Pada September 2019 lalu, lulusan Perbankan Syariah UIN Jogja ini memberanikan diri untuk membuka usaha sedotan yang terbuat dari bambu, dengan modal Rp 90 juta, pinjaman dari keluarganya.
"Awalnya saya mau bikin kerajinan dari bambu, tapi waktu itu nggak tahu mau buat apa," kata Fahmi, Senin (27/1/2020) siang.
Hingga akhirnya, muncul ide untuk membuat sedotan bambu yang ramah lingkungan.
Seperti diketahui, kini masyarakat di seluruh dunia mulai sadar lingkungan dengan tidak menggunakan sedotan plastik.
Selain itu, bahan baku utama yakni bambu jenis wuluh yang biasa dipakai untuk membuat suling, mudah ditemukan di lereng Gunung Wilis, wilayah Kabupaten Madiun.
Tanaman yang awalnya dianggap tidak memiliki nilai ekonomis ini, tumbuh subur di Desa Suluk, Kecamatan Dolopo, dan Desa Segulun, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun.
"Awalnya saya cari sendiri, ternyata bambu suling ini dianggap sebagai tanaman liar, tidak dipakai warga setempat. Akhirnya saya minta warga setempat untuk mencari, beli Rp 350 rupiah per batang, panjangnya dua hingga empat meter," katanya.
Saat ini, Fahmi sudah mempekerjakan lima orang warga desa setempat, serta sembilan santri dari Pondok Al Huda Desa Sitemon, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun.
Dalam sehari, ia bisa memproduksi 1.500 batang sedotan per hari.
Ia memasarkan sedotan bambu miliknya hingga ke luar negeri, di antaranya ke Korea dan Australia.
Setiap dua minggu sekali, ia mengirim 10 ribu hingga 15 ribu batang sedotan bambu ke luar negeri.
Fahmi mengatakan, butuh perjuangan dan kerja keras hingga akhirnya ia bisa menembus pasar ekspor.
Ia menceritakan, pernah ia membuat 4.000 batang sedotan bambu untuk diekspor, hanya lima batang yang memenuhi standar ekspor.
"Pada saat itu kami sudah buat 4.000 batang. Ternyata dari 4.000, yang masuk cuma kriteria (ekspor) cuma lima batang. Yang dipilih yang sesuai panjang dan teksturnya," katanya.
Dia mengatakan, di luar negeri, sedotan bambu miliknya dipasarkan dengan harga 1 dolar AS per batangnya.
Selain diekspor, Fahmi juga melayani pasar lokal.
Untuk harga retaik sepaket berisi tiga sedotan, wadah, sikat pembersih, dijual Rp 10 ribu.
Sedangkan jika ditambahi grafir nama, ditambah Rp 10 ribu.
"Kalau grosir kami jual per batangnya Rp 1.500, tapi minimal pembelian 2.000 batang," pungkasnya.
Proses pembuatan sedotan bambu tidaklah rumit.
Yang pertama, bahan baku disortir, dipilih bambu yang lurus dan tidak cacat, kemudian dijemur hingga kecoklatan.
Setelah itu, dipotong-potong dengan ukuran panjang sekitar 22 cm.
Selanjutnya, potongan bambu itu direbus dalam air mendidih yang sudah dicampur dengan daun sirih.
Fungsi daun sirih dalam hal ini adalah untuk menghilangkan bakteri dan kotoran yang menempel di bambu.
Setelah itu, potongan bambu dibilas menggunakan air bersih, lalu dijemur.
Setelah kering, pada kedua ujung dan lubang dihaluskan agar halus dan saat dipakai tidak melukai bibir pengguna.
Selain ramah lingkungan karena mudah terurai, sedotan bambu juga memiliki serat yang dapat menyaring kotoran air minum.
Sedotan bambu, juga bisa digunakan berkali-kali, hanya tinggal dicuci.
"Semakin lama dipakai, justru semakin kelihatan bagus. Bambunya akan menjadi keras dan kuat," katanya.
Mengenai ketersediaan bahan, Fahmi mengaku tidak khawatir. Sebab, bambu wuluh mudah untuk dibudidayakan.
Dalam satu hektar lahan, dibutuhkan 100 ribu benih, dengan biaya pengolahan dan perawatan per hektat Rp 150 juta.
Hasilnya, dalam waktu tujuh bulan bisa menghasilkan 1 juta pohon, yang bisa dijual Rp 350 per pohon.
"Nanamnya juga cuma sekali, ketika dipotong nanti otomatis dapat tumbuh lagi," imbuhnya.