Lipsus

Program Wajib Kerja Dokter Spesialis Bukan Momok: Dr Ayu Siap Mengabdi di Daerah Pelosok

Dwi Retno Puji Rahayu yang saat ini telah menyelesaikan studi dokter spesialis penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Editor: Parmin
Foto: doni/danen
Dwi Retno Puji Rahayu, dokter spesialis penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 

“Saya kira hal ini bukan kerja paksa, tapi demi Merah Putih, pemerataan layanan kesehatan, dan kemanusiaan,” kata Soetojo saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (7/10).

Soetojo juga telah membahas program PDS dengan para dokter spesialis beberapa hari yang lalu.

Sebagian besar dokter spesialis menyatakan kesiapannya untuk dikirim ke sejumlah daerah, walaupun tak diwajibkan lagi alias sukarela.

“Memang sudah seharusnya begitu. Dokter harus punya jiwa mengabdi. Hal itu juga sesuai dengan motto Unair Excellence with Morality dan lima nilai dasar HEBAT (Humble, Excellence, Brave, Agile, dan Transcendent),” ungkapnya.

Kurang setuju
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Dr dr Wisnu Barlianto MSi Med SpA (K) menyatakan kurang setuju jika program WKDS dihentikan. Semestinya program WKDS tetap ada, karena punya tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan pelayanan yang optimal.

“Dengan adanya dokter spesialis anak dan dokter kandungan itu angka kematian ibu melahirkan dan bayi khususnya di daerah menjadi menurun. Kalau dokter spesialis anak dan kandungan tidak ada di daerah terpencil, maka pastinya data itu akan naik lagi,” ungkapnya, Sabtu (9/11).

Dikatakannya, program WKDS atau penggantinya mengenai pemerataan dokter harus tetap dipertahankan. Dokter spesialis mempunyai dedikasi tinggi seharusnya hati nuraninya terpanggil untuk memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat.

“Saya pribadi tetap setuju karena dokter spesialis itu ada saatnya mengabdi pada masyarakat selama satu tahun untuk mencukupi kebutuhan dokter spesialis di daerah terpencil,” ujarnya.

Wisnu Barlianto menambahkan, kebutuhan dokter spesialis sudah dihitung oleh Kemenkes, khususnya di rumah sakit daerah terpencil. Peran dari institusi pendidikan adalah mencetak lulusan dokter spesialis yang akan diperdayakan oleh Kemenkes secara berkesinambungan.

“Kalau seperti itu dokter spesialis baru ikut program itu (PDGS) pastinya sudah mencukupi kebutuhan di daerah terpencil, tetapi dikhawatirkan ada yang tidak ikut pasti berkurang,” imbuhnya.

Sementara itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sejak Perpres 4/2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis dibatalkan Mahkamah Agung, pengiriman dokter spesialis ke daerah-daerah terpencil atau kepulauan menurun drastis hingga 50 persen.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah menerbitkan aturan baru berupa Perpres 31/ 2019 mengenai Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS).

Dalam aturan itu, dokter spesialis yang baru lulus diminta secara sukarela bekerja di daerah terpencil selama setahun. Hanya saja, hal itu tak mempan mendongkrak jumlah dokter ke daerah-daerah terpencil. (nen/don)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved