Lipsus
Program Wajib Kerja Dokter Spesialis Bukan Momok: Dr Ayu Siap Mengabdi di Daerah Pelosok
Dwi Retno Puji Rahayu yang saat ini telah menyelesaikan studi dokter spesialis penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
SURYA.co.id | SURABAYA - Dwi Retno Puji Rahayu yang saat ini telah menyelesaikan studi dokter spesialis penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, mengaku tidak keberatan jika dikirim ke daerah.
Bagi Ayu, sapaan akrabnya, penempatan dokter spesialis ke daerah bukanlah sebuah momok.
Justru, penempatan di daerah menjadi peluang untuk mendapatkan pengalaman berharga.
“Selain itu juga untuk mengasah keterampilan saya. Karena dokter itu makin banyak pasien yang ditangani, makin terasah pula kemampuannya. Bagi dokter pasien adalah guru,” kata Ayu, Jumat (8/11).
Pernyataan dokter Ayu itu menanggapi dibatalkannya Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis oleh Mahkamah Agung yang berdampak pengiriman dokter spesialis ke daerah-daerah terpencil atau kepulauan menurun drastis.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah menerbitkan aturan baru berupa Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 mengenai Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS) yang tidak bersifat wajib alias sukarela.
Ayu mengungkapkan, kewajiban seorang dokter adalah memberikan pelayanan kesehatan pada siapapun dan di manapun.
Meskipun Ayu menempuh program pendidikan dokter spesialis jalur mandiri, tetapi tak menggoyahkan keteguhannya untuk mengabdi.
“Saya dari awal sudah memilih profesi dokter, tentu harus siap dengan kewajiban-kewajiban yang harus diemban. Di lain sisi dokter merupakan suatu tugas yang bersifat kemanusiaan. Jadi, saya tak keberatan untuk ditempatkan di daerah,” ujarnya.
Di sisi lain, Ayu memberikan masukan. Menurutnya, dalam program pendayagunaan dokter spesialis sebaiknya pemerintah memberikan opsi tempat atau daerah penugasan.
Tujuannya agar para dokter spesialis bisa memilih dan mengevaluasi terlebih dahulu tempat yang akan dituju.
Selain itu, penempatan di daerah konflik juga perlu dipertimbangkan.
“Pemerintah harus memastikan ketersediaan obat. Karena dokter spesialis penyakit dalam erat kaitannya dengan obat. Jujur saja, saya pernah membuat resep, tetapi tak ada obatnya,” sebutnya.
Dekan FK Unair Prof Dr dr Soetojo SpU (K) menegaskan pihaknya mendukung penuh program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS) yang tertuang di Perpres 31/ 2019 sebagai pengganti Perpres 4/2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS).
Pertimbangannya, ketersediaan dokter spesialis di sejumlah tempat, utamanya di daerah pelosok, masih minim.
“Saya kira hal ini bukan kerja paksa, tapi demi Merah Putih, pemerataan layanan kesehatan, dan kemanusiaan,” kata Soetojo saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (7/10).
Soetojo juga telah membahas program PDS dengan para dokter spesialis beberapa hari yang lalu.
Sebagian besar dokter spesialis menyatakan kesiapannya untuk dikirim ke sejumlah daerah, walaupun tak diwajibkan lagi alias sukarela.
“Memang sudah seharusnya begitu. Dokter harus punya jiwa mengabdi. Hal itu juga sesuai dengan motto Unair Excellence with Morality dan lima nilai dasar HEBAT (Humble, Excellence, Brave, Agile, dan Transcendent),” ungkapnya.
Kurang setuju
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Dr dr Wisnu Barlianto MSi Med SpA (K) menyatakan kurang setuju jika program WKDS dihentikan. Semestinya program WKDS tetap ada, karena punya tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan pelayanan yang optimal.
“Dengan adanya dokter spesialis anak dan dokter kandungan itu angka kematian ibu melahirkan dan bayi khususnya di daerah menjadi menurun. Kalau dokter spesialis anak dan kandungan tidak ada di daerah terpencil, maka pastinya data itu akan naik lagi,” ungkapnya, Sabtu (9/11).
Dikatakannya, program WKDS atau penggantinya mengenai pemerataan dokter harus tetap dipertahankan. Dokter spesialis mempunyai dedikasi tinggi seharusnya hati nuraninya terpanggil untuk memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat.
“Saya pribadi tetap setuju karena dokter spesialis itu ada saatnya mengabdi pada masyarakat selama satu tahun untuk mencukupi kebutuhan dokter spesialis di daerah terpencil,” ujarnya.
Wisnu Barlianto menambahkan, kebutuhan dokter spesialis sudah dihitung oleh Kemenkes, khususnya di rumah sakit daerah terpencil. Peran dari institusi pendidikan adalah mencetak lulusan dokter spesialis yang akan diperdayakan oleh Kemenkes secara berkesinambungan.
“Kalau seperti itu dokter spesialis baru ikut program itu (PDGS) pastinya sudah mencukupi kebutuhan di daerah terpencil, tetapi dikhawatirkan ada yang tidak ikut pasti berkurang,” imbuhnya.
Sementara itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sejak Perpres 4/2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis dibatalkan Mahkamah Agung, pengiriman dokter spesialis ke daerah-daerah terpencil atau kepulauan menurun drastis hingga 50 persen.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah menerbitkan aturan baru berupa Perpres 31/ 2019 mengenai Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS).
Dalam aturan itu, dokter spesialis yang baru lulus diminta secara sukarela bekerja di daerah terpencil selama setahun. Hanya saja, hal itu tak mempan mendongkrak jumlah dokter ke daerah-daerah terpencil. (nen/don)