Desa Wisata
Desa Balun, Kecamatan Turi Lamongan Dikenal dengan Desa Pancasila karena Toleransinya yang Kuat
Desa Balun Kecamatan Turi yang dikenal dengan Desa Pancasila karena kerukunan umat tiga agama yang langgeng berdampingan.
Penulis: Hanif Manshuri | Editor: Parmin
SURYA.co.id l LAMONGAN - Ada tiga persoalan besar Kebhinnekaan yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah.
Yakni kesombongan masing-masing etnis, suku bangsa atau agama. Kemduian mengambil sesuatu yang bukan hanya serta sikap iri antara satu suku, etnis, agama dengan yang lainnya.
Dan Balun tak menyimpan maupun memiliki bibit tiga persoalan itu.
Sampai - sampai Desa Balun dijadikan lokasi penelitian karena dinilai sebagai desa yang sudah sejak lama membangun kesadaran solidaritas bhineka yang terbuka, dan mampu mengurangi kesenjangan antarkelompok dalam masyarakat yang terus mengalami perubahan.
Desa Balun adalah salah satu desa tua yang masih memelihara budaya – budaya terdahulunya.
Keanekaragaman agama semakin memperkaya budaya desa Balun.
Dan yang menjadiu ciri khas adalah interaksi sosial dintara warganya yang multi agama, Islam, Kristen, Hindu.
Bahkan sejak masuknya agama Hindu dan Kristen sejak 1967 belum pernah ada konflik yang berkaitan
agama.
Uniknya lagi tidak ada pengelompokan tempat tinggal berdasarkan agama, mereka campur dan
merata.
Saat ini terdapat 3.780 pemeluk Agama Islam, warga yang beragama Kristen sebanyak 688 orang dan 282 beragama Hindu.
Meski terdiri dari tiga agama, toleransi antar warganya sangat tinggi. Bahkan tempat ibadahnyapun tidak berjauhan.
Masjid Miftahul Huda berada satu lokasi dengan Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatush Shibyan.
Tidak jauh dari masjid dan berdampingan hanya dibelah oleh jalan desa terdapat Pura Sweta
Maha Suci, tempat pemeluk Hindu beribadah.
Masih di sekitar area yang sama, berdiri dengan harmonis Gereja Kristen Jawi Wetan, di timur masjid.
Saat peringatan hari besar dari 3 agama yang tumbub di Balun para pemudanya melibatkan diri menjaga keamanan atau panitia desa, meski tidak harus nimbrung dalam acara ritual keagamaannya.
Hari Raya Idul Adha, misalnya, perbedaan penentuan Idul Adha itu hanya bisa dijadikan rahmad di tengah –
tengah umat.
Yang menarik untuk disimak adalah bagaimana toleransi tiga agama yang tumbuh subur dalam satu desa saat tiba Idul Adha ?
Di Desa Balun Kecamatan Turi yang dikenal dengan Desa Pancasila karena kerukunan umat tiga agama yang langgeng berdampingan. Bagaimana dengan toleransi kehidupan tiga agama yang selalu hidup rukun antara agama Islam, Hindu dan Kristen.
Mungkin ini jadi tauladan bagi semua pemeluk agama yang hidup di bumi Indonesia.
Masjid, gereja, dan pura dibangun berdampingan. Gereja dengan masjid hanya radius 50 meter, pura dan masjid
jaraknya pada raidus 7 meter selatan masjid.
Prosentase masyarakat yang jumlanhnya sebanyak 1.100 KK itu terbagi dalam beragam agama, Islam 70 persen, Kristen 20 persen dan Hindu 10 persen.
Mereka berkembang di sebuah desa kecil, 4 km dari jantung kota Lamongan.
Namun, perbedaan agama itu ternyata dijadikan bukti kerukunan mereka yang luar biasa.
Termasuk saat hari besar Hindu dan Kristen, Surya.co.id mencoba menemui sejumlah tokoh dari tiga
agama yang ada di Balun.
Toleransinya benar - benar sangat kuat. Ternyata itu bukan sekedar kabar burung.
Di saat umat Islam melaksanakan penyembelihan hewan kurban pada setiap Idul Adha, baik di halaman masjid, di lingkungan RT dan RW, pemeluk agama yang berbeda – beda itu hampir tak bisa dikenali perbedaan agama di antara mereka, karena begitu membaur dan menyatu.
Umat Hindu dan Kristen, utamanya anak – muda bersatu membantu umat muslim membersihkan
daging kurban, mencuci di kali atau di sumur. Memotong – motong daging dan tulang hewan kurban
(maaf bukan ikut menyembelih, red).
Bahkan sampai ikut membagikan daging ke semua kepala keluarga.
Bedanya, saat pemotongan hewan kurban, tetap dilakukan umat Islam sendiri.
” Disini biasa mas, Kristen dan Hindhu membantu kita menangani daging kurban,’’ujar ungkap Adi Wiyono, Sekretaris
Parisada Hindu saat ditemui Surya, co.id di Balun.
Namun, lanjut Adi Wiyono, untuk urusan penyembelihan dilakukan umat Ilsam.
Sementara saat pembaging daging kurban panitia kurban, yakni umat Islam membagi secara merata kepada
semua KK yang ada di Desa Balun. Artinya, warga yang beragaa Kristen dan Hindu tetap mendapat bagian
daging kurban dengan takaran yang sama.
“Yang beda paling hanya pada tokoh – tokoh agama. Yakni dilebihkan timbangannya,”ungkap
Adi Wiyono.
Adi Wiyono bahkan mempersilakan Surya untuk datang pada hari H Idul Adha membuktikan
kerukunan dan toleransi yang tercipta di masyarakat Balun dengan agama yang sangat majemuk ini.
Masing – masing pemeluk agama di Balun sangat faham betul bagaimana sikap toleransi itu diciptakan.
Yang penting, katanya, para penganut tiga agama tidak mencampur adukan dan mengikuti ritual agama
yang berbeda.
Pada Idul Adha, secara kasat mata seolah diantara umat beda agama di Balun itu tak memiliki
perbedaan keyakinan.
Mereka nimbrung di halaman masjid Balun untuk mebantu memasukkan daging ke
dalam plastik yang hendak ditimbang dan dibagikan.
Seperti Sukamto, Ketua RW 01, Sukamto yang juga termasuk tokoh kalangan umat Kristen, ia
selalu tampil dan rutin membantu saat Idul Adha.
Sampai – sampai dua penganut agama lain selain Islam, yakni Hindu dan Kristen saat punya hajatan dan menyembelih hewan, seperti sapi, kambing dan ayam, penyembelihannya pasti diserahkan orang Islam atau modin.
Pola ini sudah lama dikalukan karena pernah bercermin dengan adanya kejadian, saat umat Kristen dan Hindu punya hajatan, pernah suguhan makan yang lauk pauknya daging tidak dimakan, hingga mubadhir.
Nah, dari pengalaman pada 1979 itulah, kata Adi Wiyono, akhirnya dengan kesadaran umat Hindu danKristen setiap punya hajatan, penyembelihan hewannya diserahkan pada umat Islam.
“Akhirnya semua berjalan harmonis sampai sekarang, sing sak atik umati ngabdi sing akeh.
Yang penting hidup rukun,”tambah Adi Wiyono.
Tak beda dengan apa yang diungkapkan Sekretaris Parisada, Adi Wiyono. Sang tokoh Kristen,
Sutrisno juga mengungkapkan hal serupa.
Dua tokoh agama yang sama – sama bersatatus PNS dan guru ini melihat kerukunan umat dengan tiga agama yang dianut itu sebagai bentuk toleransi dengan pemahaman yang moderat.
Bagaimana dengan Suwito , Takmir Masjid Balun, dikatakan, kehidupan beragam di Balun bisa menjadi contoh satu – satunya di Indonesia.
Setiap umat muslim punya hajatan, semua warga berbeda agama diundang dan semuanya datang memakai songkok yang identik dengan pakaian muslim.
Namun sebaliknya jika umat non muslim mengadakan hajatan, umat mulsim sama memenuhi undangan
mereka.
”Kita hidup rukun dan dalam sejarah kita tidak pernah bersinggungan,”ujar Suwito.
Setiap Idul Adha tiba, kekompakan umat beragama di Balun bahkan semakin nampak.
Para pemuda Kristen, Hindu sama – sama ikut membantu. Yang jelas bukan turut menyembelih, tapu
membantu memotong kecil – kecil bagian daging dan tulang hewan kurban.
”Pembagian hewan kurban juga untuk umat non muslim yang ada di Balun,”katanya.
Sementara melihat jika tiga tempat ibadah, gereja, masjid dan pura dalam waktu yang sama mempunyai acara – acara keagamaan. Sepakat masing – masing panitia memakai sound system lantai atau sound for table.
Saat masyarakat Hindu sedang melakukan Catur Bhrata Penyepian, pemeluk agama lain di desa itu juga menghormati dengan tidak melakukan kegiatan yang menggunakan pengeras suara atau sound system, termasuk saat adzan di masjid.
Demikan juga komunikasi antara pemeluk agama, tokoh dan tokoh agama yang ada berjalan harmonis menciptakan kerukununan hidup beragama seperti yang ditauladankan masing – masing agamnya.
Saat Kades Balun, berangkat haji, semua warga non muslim turut serta mendoakan dan datang ke
rumah kades.
” Teman – teman dari Kristen, Hindu juga datang semua saat tasyakuran berangkatnya Pak
Kades," ungkapnya.