Buntut Perseteruan Wiranto & Kivlan Zen Soal Dalang Kerusuhan 1998, 'Sudah Cukup,' Kata Wiranto

Perseteruan antara Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen dan Menko Polhukam, Wiranto berujung saling menantang. Begini akhirnya

Kolase Tribun Jabar (Tribunnews.com dan Kompas.com)
Buntut Perseteruan Wiranto & Kivlan Zen Soal Dalang Kerusuhan 1998 

SURYA.co.id - Perseteruan antara Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen dan Menko Polhukam, Wiranto berujung saling menantang.

Wiranto menantang Kivlan Zen dan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Panglima Kostrad untuk sumpah pocong

Tak lama kemudian, Kivlan Zen menolak tantangan itu. Kivlan justru menantang balik Wiranto untuk debat terbuka di televisi.

"Kalau memang Wiranto berani, kita berdebat saja di Kompas TV. Saya akan bawa data-data dan saksi yang menunjukkan Wiranto sebagai dalang kerusuhan," kata Kivlan, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (27/2/2019).

"Saya tidak mau sumpah pocong, itu kan sumpah setan. Tidak sesuai koridor hukum. Kalau mau kita berdebat saja di semua media TV di Indonesia," ujar dia.

Namun, Wiranto tidak mau lagi membahas soal tantangan sumpah pocong yang dia layangkan kepada Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen.

Hal itu disampaikan Wiranto ketika ditanya soal Kivlan yang menantang balik dirinya untuk berdebat di televisi.

"Sudah cukup saya komentari itu, kita pemilu gini. Semua sedang konsentrasi ke bangsa, bukan ke urusan-urusan seperti ini," ujar Wiranto seusai menghadiri Laporan Tahunan 2018 Mahkamah Agung, di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (27/2/2019).

Seperti diketahui, tantangan Wiranto itu berawal saat Kivlan Zen menuduhnya sebagai orang yang bertanggungjawab di balik kerusuhan Mei 1998.

Pernyataan Kivlan Zen tersebut diungkapkan dalam acara Para Tokoh Bicara 98 di Gedung Ad Premier, Jakarta Selatan, pada Senin (25/2/2019).

Dalam acara itu, Kivlan Zen juga mengatakan Wiranto memainkan peranan ganda dan isu propagandis saat masih menjabat sebagai Panglima ABRI.

Menanggapi tudingan itu, Wiranto menantang Kivlan Zen untuk sumpah pocong.

"Saya berani, katakanlah berani untuk sumpah pocong saja. Tahun 1998 itu yang menjadi bagian dari kerusuhan itu, saya, Prabowo, Kivlan Zen, sumpah pocong kita," kata Wiranto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/2/2019), dikutip dari Kompas.com

"Siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan itu. Supaya terdengar di masyarakat, biar jelas masalahnya. Jangan asal menuduh saja," sambung Wiranto.

Tudingan yang dilontarkan Kivlan Zen, dinilai Wiranto tak sesuai fakta.

"Kasihan saudara Kivlan Zen yang selalu menyampaikan pernyataan ngawur. Tidak ada fakta soal itu. Dan tidak lagi melihat kenyataan yang beredar di masyarakat," kata Wiranto.

Lebih lanjut Wiranto mengatakan, padahal saat ini sudah ada dokumen hasil kerja tim gabungan pencari fakta (TGPF) soal kerusuhan 1998.

TGPF diketuai oleh Marsuki Darusman dan sekretaris Rusita Nur.

Selain itu, Wiranto mengatakan melalui dokumen itu bisa dilihat dengan jelas institusi atau tokoh yang diduga menjadi dalang kerusuhan.

"Itu produknya ada. Dari sana sudah jelas 1998 sumber kerusuhan mengarah ke institusi mana, figur mana, ada disana," kata Wiranto.

Adapun Wiranto mengklaim, saat itu dia melakukan berbagai upaya untuk mencegah kerusuhan, lantaran posisinya adalah sebagai Menhankam/Panglima ABRI

Berbagai langkah, disebut Wiranto, telah dilakukannya, seperti langkah persuasif, edukatif kompromis, dan dialogis dengan para aktivis reformasi agar jangan sampai muncul kekacauan.

Saat kerusuhan sudah mulai pecah pada 13 Mei, Wiranto langsung mengirim pasukan dari Jawa Timur, tanggal 15 kerusuhan disebutnya sudah mereda.

"Bukan saya dalang kerusuhan. Saya mencegah kerusuhan terjadi. Tiga hari saya mampu amankan negeri ini," kata dia.

Berikut videonya:

Korban Penculikan Aktivis 98 Ungkap Kisahnya

Rangkaian peristiwa reformasi 1998 saat menjelang Soeharto mundur, tak bisa lepas dari kisah penculikan terhadap para aktivis saat itu.

Dua di antaranya, penculikan terhadap aktivis 1998 bernama Desmond Junaedi Mahesa dan Pius Lustrilanang pada Februari 1998.

Desmond kala itu merupakan aktivis 1998 yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN), sementara Pius adalah aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera).

Hilangnya Desmond dan Pius dilaporkan sejumlah aktivis ke kepolisian pada 10 Februari 1998.

Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 13 Mei 1998, Desmond mengungkapkan pengalaman penculikan yang dialaminya.

Kesaksian ini disampaikan Desmond pada 12 Mei 1998 didampingi Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir, anggota Komnas HAM Albert Hasibuan, Yusuf Pani, dan La Ode Baharsani (DPD Ikadin Banjarmasin).

Desmond mengisahkan, penculikannya berawal pada 3 Februari 1998 di kawasan Cililitan Besar, Jakarta Timur.

Menurut Desmond, pada 3 Februari 1998 pukul 02.30 WIB, kantornya di Jalan Cililitan Kecil didatangi 8-10 orang.

Pagi hari pukul 08.00 WIB, kembali datang orang tak dikenal.

Desmond mengaku tak curiga akan ada yang menimpanya.

"Kemudian, saya keluar kantor naik bus nomor 06 sampai di Kampung Melayu," kata dia.

"Antara LAI dan GMKI, saya dihadang dua orang yang menodong dengan senjata. Sesudah ditodong, saya bergerak, kacamata saya jatuh, saya sulit mengenali orang. Tetapi ada mobil Suzuki Vitara warna abu-abu di GMKI. Jatuhnya kacamata membuat saya tidak leluasa dapat bergerak karena mata saya minus dan silinder, jadi sulit untuk mengenal orang. Saya diringkus, dimasukkan mobil, kepala saya ditutup seperti tas hitam dan musik diputar keras-keras serta dihimpit dua orang. Sejak itu saya tidak tahu diputar-putar, setelah 50 menit saya sampai di suatu tempat," papar Desmond.

Desmond mengaku diborgol, matanya ditutup kain hitam.

Selama tiga jam, ia diinterogasi tentang aktivitasnya.

"Setelah itu saya dibawa ke bak air. Setelah sempat disuruh menyelam, saya ditanya lagi soal sikap saya. Setelah selesai, saya dibawa ke sebuah ruangan dengan enam sel. Di situ sudah ada Yani Afri dan Sony, keduanya anak DPD PDI Jakut yang ditangkap Kodim Jakarta Utara soal peledakan bom di Kelapa Gading," demikian kesaksian Desmond saat itu.

Setelah sehari Desmond ditahan, Pius Lustrilanang masuk dan disusul Haryanto Taslam.

Desmondmengaku mendapat tawaran dari para penculiknya. Ia diminta mengaku bersembunyi di Garut.

Desmond mengajukan skenario lainnya yaitu pergi ke Irian Jaya untuk melakukan penelitian.

Akhirnya, ia diketahui kembali ke rumah orangtuanya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 3 April 1998.

Kesaksian soal penculikan yang dialaminya ini untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi.

Menurut dia, dirinya dan Pius diculik oleh orang yang punya organisasi rapi.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa usai bertemu Kapolda Jatim, Irjen Pol Machfud Arifin, Kamis (19/4/2018)
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa usai bertemu Kapolda Jatim, Irjen Pol Machfud Arifin, Kamis (19/4/2018) (surabaya.tribunnews.com/fatkhul alami)

Selama diculik, Desmond mendapatkan dua buah selimut, celana pendek berwarna biru dan jingga, serta tas berwarna hijau muda.

"Setiap orang yang ditahan diberi celana pendek, ada berwarna biru dan jingga. Selain itu saya juga diberi tas berwarna hijau muda," kata Desmond.

Terkait siapa penculiknya, Desmond mengaku tak dapat mengidentifikasi karena penglihatannya yang terbatas.

Pada 23 April 1998, Desmond sempat menuturkan, saat diculik ia didatangi 4-5 orang yang mengenakan kacamata hitam.

Peristiwa itu terjadi di depan Kantor GMKI Jakarta.

"Di dalam kendaraan mereka langsung menutup mataku dengan kain hitam sehingga sulit mengenali, baik si penjemput, nomor polisi mobil, ke arah jalan mana dan ke tempat mana yang akan dituju," kata Desmond.

Ia tak bisa memastikan lokasi penculikannya selama dua bulan.

Demikian pula soal di mana ia ditempatkan, apakah di sebuah rumah, kantor, atau bangunan lainnya.

"Pokoknya sebuah bangunan besar permanen, namun sepi," kata dia.

Pada malam hari seusai makan malam, Desmond menjalani pemeriksaan secara bergantian.

Saat pemeriksaan, matanya ditutup kain hitam.

Menurut Desmond, pemeriksaan hanya dilakukan pada malam hari hingga dia dibebaskan pada 3 April 1998.

Saat dibebaskan, Desmond dibawa dengan menggunakan mobil. Salah seorang yang membawanya memberikan tiket pesawat Garuda menuju Banjarmasin dengan nama yang tertera pada tiket bukan namanya.

Ia diturunkan sekitar 100 meter sebelum Terminal F Bandara Soekarno Hatta.

Sesampainya di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, Desmond langsung melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Polresta Banjarmasin.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved